Cacat Nyata yang Selalu Ada
Tiba-tiba muncul seorang darwisy (sufi pengembara). Ia menginterupsi : “Saya melihat dua cacat besar pada istana ini,”serunya.
Oleh : Usep Romli H.M.
Seorang raja membangun sebuah istana. Indah dan megah. Pada waktu peresmian, diselenggarakan pesta mewah. Semua pembesar negara, para tokoh agama, para tokoh cerdik cendekia, diundang hadir. Raja mengumumkan sayembara. Barangsiapa menemukan cacat kelemahan pada bangunan itu, akan mendapat hadiah ribuan dinar dan piagam kehormatan.
Tapi siapa yang berani? Walaupun ada kecacatan, tak akan ada seorang pun yang akan mengungkap. Mereka takut raja tidak senang. Mengingat biaya untuk membangun istana itu sangat besar, menghabiskan tak kurang dari 5 juta dinar.
Maka semua sepakat untuk menjawab tak ada cacat sedikitpun. Untuk menyatakan hal itu, ditunjuklah juru bicara. Seorang akademisi terkenal berpangkat guru besar. Ia pun menyampaikan keputusan itu, tanpa ragu :
“Kami semua sepakat, tak ada cacat sedikit pun pada istana Paduka!”
Semua hadirin bertepuk tangan. Raja bangkit dari tahta. Mengucapkan terimakasih, dan mempersilakan para hadirin makan minum, diiringi tabuhan musik.
Tiba-tiba muncul seorang darwisy (sufi pengembara). Ia menginterupsi : “Saya melihat dua cacat besar pada istana ini,”serunya.
“Mana bisa!” bentak Raja. “Semua cerdik pandai sudah sepakat, istana ini sempurna. Mau apa kau?”
“Mau menunjukkan cacat istana ini. Ada dua macam. Pertama, suatu saat pemilik istana ini akan mati. Kedua, suatu ketika bangunan itu akan runtuh. Tak ada yang abadi di muka bumi,”sang Darwisy menatap Raja dan para pembesar serta para cendekiawan yang berwatak “yesmen” dan “Asal Raja Senang” (ASR). Lalu menyelinap ke luar. Meninggalkan area pesta yang mendadak sunyi senyap.
Raja terkulai di atas singgasana, Bergumam lemah : “Kematian dan kehancuran. Tak ada yang abadi di muka bumi ini”. [ ]
Adaptasi dari “Tanwirul Adhan”, Ash Shabuni