“Jin Islam” di Pesantren Keresek
Di masjid, kadang-kadang terdengar suara wanita mengaji Quran. Nyaring, dan merdu. Indah langgamnya. Tepat makhrajnya. Namun tetap saja menimbulkan rasa takut, karena yang mengaji tak tampak wujudnya.
Oleh : Usep Romli H.M.
Pesantren Keresek di Kampung Keresek, Kecamatan Cibatu, merupakan salah satu pesantren terkenal di Kabupaten Garut. Didirikan tahun 1887 oleh KH Ahmad Tobroni. Menjadi ukuran keilmuan santri dan ajengan masa itu, bersama dua pesantren lainnya : Pesantren Sumur (Wanaraja) dan Kudang (Limbangan).
Setiap santri dapat dianggap khatam mengaji jika sudah belajar di Keresek (fikih), Sumur (ilmu alat atau ilmu sharaf-nahwu) dan Kudang (ilmu qiraat). Setelah dari tiga pesantren itu, baru santri dapat belajar lagi ke pesantren-pesantren lain, baik di Garut sendiri, maupun di luar Garut. Terutama ke Banten atau ke Jombang, Jawa Timur. Baru dinobatkan sebagai Ajengan yang mumpuni.
Pesantren Keresek paling banyak menampung santri, karena berada dekat statsiun kereta-api Cibatu, yang dibuka pada awal abad 19. Jalur transportasi lintas selatan yang amat ramai.
Tapi pesantren itu menjadi lebih terkenal lagi, setelah Pesantren Keresek dihuni jin Islam asal Habsyi (Ethiopia), pada tahun 1939 hingga 1944.
Peristiwa berawal tanggal 12 Zulhijjah 1259. Seekor ular hitam sebesar pergelangan tangan orang dewasa, masuk ke kamar KH Busrol Karim, pengasuh pesantren. Tanpa ayal lagi, KH Busyrol, cucu pendiri pesantren, memukul kepala ular hitam itu dengan besi patahan kaki ranjang. Sekali pukul, tepat ke bagian kepalanya, langsung mati.
Kejadian itu dianggap remeh saja. Karena, membunuh ular bukan hal luar biasa. Sering terjadi tiap hari. Namun, malam harinya, anak bungsu Kyai Busrol menderita demam. Panas dingin dan sesak. Upaya dokter mengobati, tak menampakkan hasil.
Istri dan anak-anak Kiyai Busrol yang lain, bersama-sama menunggui yang sakit. Siang malam tak pernah henti. Suatu malam, istri dan dua anak Kyai Busrol bermimpi yang sama. Menyaksikan sepasang suami istri pengantin baru. Berjalan bermesraan. Mungkin sedang menikmati bulan madu. Tiba-tiba kepala pengantin lelaki, tertimpa suatu benda. Sehingga berlumuran darah. Bahkan pecah. Langsung mati seketika. Pengantin wanita menangis meraung-raung, sambil menyumpahi orang yang mencelakakan suaminya. Mengancam akan membalas dendam.
Setelah jasad suaminya dikubur, wanita itu menjelma menjadi ular hitam legam. Lalu menghilang. Istri dan anak Kiyai Busrol terbangun penuh ketakutan.
Pembalasan dendam dari jin, mulai terasa. Pelayan yang sedang memasak di dapur, ditarik bajunya hingga sobek. Lari ketakutan dengan badan telanjang. Atap rumah dilempari tanah merah. Alat-alat dapur beterbangan.
Di masjid, kadang-kadang terdengar suara wanita mengaji Quran. Nyaring, dan merdu. Indah langgamnya. Tepat makhrajnya. Namun tetap saja menimbulkan rasa takut, karena yang mengaji tak tampak wujudnya.
Macam-macam gangguan terus berlngsung. Sehari ada kotoran berserakan. Hari lain, tamu yang sedang berkunjung, disiram isi “tampolong” (penampung air ludah makan sirih).
Para santri tak luput menjadi bulan-bulanan. Ada yang sedang tidur dipindahkan ke atas genting kobong, dimasukkan ke lubang bedug, ditarik sarung selimutnya, dan banyak lagi. Kepada para santri Kyai Busrol hanya mewanti-wanti untuk selalu berhati-hati. Jangan bicara “sompral” (sembarangan) dan saling mengingatka, seraya terus berdoa memohon pertolongan Allah Swt.
“Di kalangan jin, termasuk jin Islam, yang berkelakuan paling baik, sama dengan manusia paling nakal. Bayangkan, bagaimana jin yang jahat dan penuh dendam,“ Ajengan Busyrol menerangkan.
Suatu hari, selesai salat berjamaah, Ajengan Busrol yang masih duduk di paimbaran, menerima selembar kertas yang melayang dari atas. Berisi tulisan “cakar ayam” tapi masih terbaca. Isinya menuntut ganti rugi. Kehilangan suami, harus diganti mendapat suami lagi orang yang membunuh suaminya itu. Surat itu ditandatangani oleh Siti Qolbuniyah.
“Saya jin Islam, Puteri raja jin Habsyi, “tulisnya. Lalu menjelaskan, mengenai sosok tubuhnya yang tinggi besar. Hidung mancung dihiasi bulu hidung, menjuntai sebesar tambang “dadung” (pengikat leher kerbau). Bulu ketiak sebesar bantal, dan macam-macam, yang dikatakannya sebagai tanda kecantikan seorang putri jin Habsyi.
Setelah lima tahun berbuat macam-macam kesusahan, keresahan dan ketakutan penghuni Pesantren Keresek, dan hanya diladeni kesabaran dan permohonan perlindungan Allah SWT, suatu malam terjadi kegaduhan. Hiruk pikuk. Terdengar suara musik dan tambur. Menjelang dinihari, baru mereda.
Pagi-pagi, orang-orang sekitar Keresek saling bertanya-tanya tentang kehebohan semalam. Apa jin Siti Qolbuniyah beraksi lagi ? Ternyata bukan. Suara dentuman musik itu, semacam upacara untuk mengiringi penjemputan dan pemulangan Siti Qolbuniyah ke negerinya. Rupanya, keluarga jin itu tak ingin anaknya terus-menerus berada di negeri orang. Apalagi berbuat keonaran tanpa henti.
Kisah “Jin Islam di Keresek” pernah dikisahkan kembali oleh KH Hasan Basri, putra KH Busrol Karim, dalam majalah Sunda “Mangle” tahun 1963. Tampaknya sangat digemari pembaca. Membuat majalah “Mangle” laku keras. Pernah pula diterbitkan berupa buku oleh Yayasan Pesantren Keresek (tanpa tahun).
Memang, selain mendalami ilmu agama, Hasan Basri yang sering dipanggil Buya, juga seorang penulis. Buku kecil tentang Jin Keresek itu ditulis Buya ketika ia aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) semasa kuliah di IAIN Sunan Gunung Jati Bandung. Menurutnya, ia menuliskan kisah itu untuk melawan paham PKI (Partai Komunis Indonesia) dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang berafiliasi pada PKI, karena keduanya sama-sama tidak mempercayai hal-hal gaib. Buya meyakinkan jika hal-hal gaib bukanlah isapan jempol, seperti yang pernah terjadi di Keresek. Terbukti, tulisannya banyak diminati dan disukai masyarakat.
Kini Pesantren Keresek masih menjadi tujuan banyak santri yang ingin mondok. Terutama santri-santri yang ingin memperdalam nahwu sorof dan balagoh (sastra Arab), karena kedua ilmu itu telah menjadi ciri khas pesantren yang berusia sudah lebih seabad itu. [ ]Sumber : “Folklore Kab. Garut”, Panitia Tahun Buku Internasional 1972 Indonesia