Veritas

Bersekolah di Masa Pandemi Flu Spanyol

  • Sebagian besar kota di AS menutup sekolah, kecuali New York, New Haven, dan Chicago.
  • Chicago membuka sekolah agar anak-anak terhindar dari orang dewasa yang mengidap fluphobia, bukan terjangkit flu.
  • New York membuka sekolah agar 75 persen dari satu juga anak sekolah dari keluarga miskin tidak melulu berdesak-desak di rumah.

Di seluruh dunia para pemimpin berdebat apakah membuka sekolah di tengah pandemi atau tidak. Khusus di AS, perdebatan menjadi menarik karena sejarawan menyajikan fakta pandemi flu Spanyol 1918 dan penutupan sekolah.

Flu Spanyol menewaskan 50 juta orang di seluruh dunia. Di AS, flu yang dibawa dari medan Perang Dunia I itu merengut nyawa 675 orang.

Sejarawan mengatakan sebagian besar kota di AS menutup sekolah, kecuali New York, New Haven, dan Chicago.

Pemimpin tiga kota itu mendasarkan keputusan pada hipotesis pejabat kesehatan masyarakat, bahwa siswa lebih aman dan lebih baik di sekolah. Namun, sekolah harus bersih, dengan lebih banyak perawat untuk setiap siswa.

Saat itu, New York memiliki satu juta siswa. Public Health Report, jurnal resmi US Surgeon General dan US Public Health Service, menyebutkan 75 persen dari siswa tinggal di rumah petak, berdesak-desak, dan tidak sehat.

Menurut jurnal itu, siswa miskin — atau mereka yang berasal dari rumah petak — ditempatkan di lingkungan bersih, dan berventilasi baik. Guru dan perawat dilatih khusus untuk melayani anak-anak.

Ada pemeriksaan medis rutin dan menyeluruh, yang semuanya terdokumentasi.

“New York adalah salah satu kota paling parah dan paling awal terkena flu Spanyol,” kata Dr Howard Markel, sejarawan medis dan direktur Center for the History of Medicine di University of Michigan.

Dr Royal S Copeland, komisaris kesehatan New York pada saat itu, melaporkan; “Anak-anak meninggalkan rumah yang kumuh dan tidak sehat menuju gedung sekolah yang besar, bersih, dan lapang. Mereka selalu menghadapi sistem pemeriksaan yang ketat.”

New York saat itu, masih menurut Dr Royal S Copeland dalam catatannya, berada pada puncak pandemi. Banyak orang tewas, dan orang-orang sibuk mengubur jenasah.

Siswa tiak diijinkan berkumpul di luar sekolah, dan harus melapor ke guru. Guru memeriksa siswa apakah ada tanda-tanda terkena flu Spanyol. Siswa yang memiliki gejala harus masuk ruang isolasi.

Jika siswa mengalami demam, petugas Departemen Kesehatan akan datang dan membawa siswa pulang. Petugas kesehatan akan menilai apakah kondisi siswa harus masuk ruang isolasi, atau menjalani perawatan.

“Departemen Kesehatan mewajibkan keluarga siswa yang pulih dari flu memiliki dokter keluarga, atau menggunakan layanan dokter kesehatan masyarakat, tanpa dipungut biaya,” demikian artikel Public Health Report.

Di Chicago, 500 ribu siswa tetap sekolah. Alasan pemerintah kota, menjaga sekolah tetap buka akan menjauhkan anak-anak dari jalanan serta jauh dari orang dewasa yang terinfeksi.

Jarak sosial yang diterapkan saat itu memang membantu, namun penutupan sekolah menyebabkan lonjakan kasus selama pandemi. Lonjakan disebabkan fluphobia yang menjangkiti orang dewasa.

Pemerintah kota Chicago berargumen anak-anak harus dijauhkan dari orang dewasa yang mengidap fluphobia. Jadi, sekolah harus dibuka.

“Tingkat ketidak-hadiran sangat inggi tidak masalah, yang penting sekolah buka,” kata Markel.

Chicago punya strategi lain, yaitu memastikan sirkulasi udara segar di sekolah. Sebuah makalah tahun 1918 di arsip Departemen Kesehatan Chicago menyebutkan selama msuim dingin jendela kelas dibuka, agar ruangan tidak terlalu panas.

Makalah itu menyimpulkan analisis data menunjukan keputusan tetap membuka sekolah selama pandemi flu Spanyol dapat dibenarkan.

Dr Royal S Copeland mengatakan kepada New York Times, betapa jauh lebih baik anak-anak di bawah pengawasan orang yang memenuhi syarat, dibanding menutup sekolah.

Markel, yang bersama peneliti lain membaca catatan sejarah, tidak begitu yakin. Menurutnya, New York tidak melakukan yang terburuk, tapi juga tidak yang terbaik. Chicago, katanya, melakukan yang jauh lebih baik.

Penelitian menunjukan kota-kota yang menerapkan karantina, isolasi, penutupan sekolah, dan larangan pertemuan umum, juga mendapatkan hasil yang baik.

“Penutupan sekolah berkontribusi positif menghentikan penularan flu,” kata Markel.

Namun, Covid-19 bukan flu Spanyol. Masih banyak yang harus dipelajari tentang virus korona. Jadi, penutupan sekolah adalah keputusan yang tepat.

Back to top button