“Percikan Agama Cinta”: Mari Belajar Menunduk
Perawinya, tak tanggung-tanggung, Snouck Hurgronje. Ilmuwan Belanda, yang ngetop penuh kontroversi itu. Dipuji setinggi langit. Dikutuk serendah iblis.
JERNIH– Saudaraku,
Menjadi penggali agama di era digital tentu jauh berbeda dengan masa kita dulu. Namun benang-merah dari para pencari ilmu itu tak berubah ditelan sangkala.
Ya, sikap rendah hati dan tawadu selalu mengairi sawah-sawah kehidupan. Istiqamah dalam menebarkan kebaikan dengan penuh sukacita. Menyejukkan ladang-ladang. Menyirami kebakaran yang dihembuskan para pecundang.
Simaklah. Ada kisah menarik: tentang sosok Syaikh Nawawi. Ketika ulama Nusantara ini muqim di Makkah untuk mengajar pada akhir abad-19.
Perawinya, tak tanggung-tanggung, Snouck Hurgronje. Ilmuwan Belanda, yang ngetop penuh kontroversi itu. Dipuji setinggi langit. Dikutuk serendah iblis.
Dia menulis indah: “Kesederhanaan pakaian dan penampilan luarnya tidak setara dengan guru besar-guru besar bangsa Arab.”
Cuma yang bikin dia makin geleng-geleng kepala ketika mendengar pengakuan langsung dari Syaikh Nawawi. “Aku hanya debu di kaki para pencari ilmu”, ujar Sang Syaikh seperti diutarakan Snouck dengan penuh decak kagum.
Luar biasa. Dari ulama sekaliber Syaikh Nawawi kita bisa belajar menunduk. Bukan hanya soal penampilan atau cara berpakaian. Namun yang lebih subtil: keluasan ilmu itu mesti melahirkan keluhuran akhlak.
Kita berharap, spirit debu dari kaki para pencari ilmu itu terus melekat di hati para santri kiwari. Menjadi pengkhutbah itu mesti mengademkan. Segala pikiran dan tindakannya memantul dari lubuk hati terdalam.
Maka, teruslah engkau selami nilai-nilai agama itu tanpa henti. Semakin menjelajahi kedalaman samudra, engkau akan menemukan kearifan tanpa batas.
Mencari inspirasi nilai-nilai agama dalam menapak jalan bijak, bagaikan mandi di hulu sungai. Ketika pencarian itu mengalami kekeliruan, tak akan mengotori aliran kali keseluruhan. Orang-orang tetap asyik berenang.
Sementara menggunakan simbol-simbol agama dalam menjelajah kuasa-hidup, ibarat berenang di hilir sungai. Tatkala terjadi kesalahan dalam merumuskan langkah, akan mengotori tangkai sungai kesemestaan. Orang-orang tak bisa lagi menikmati batang air. [Deden Ridwan]