Puisi

5 PUISI IRZI JAZZPOETRY

VONIS, BISNIS, DAN ANGIN TOTORO

  1.  

Di ruang sidang penuh udara berat dan kaku,
jaksa muda berdasi hitam membacakan tuntutan.
Lex talionis, pasal-pasal, mengikat tanpa ragu,
tapi hatinya tersesat di hutan dengan roh hutan.

  1.  

Di belakang toga, ia bukan mesin logika ketat,
melainkan bocah yang pernah menulis di buku harian:
“Suatu hari, aku ingin membuat dunia berbentuk awan kapas”,
di mana Calcifer menari di dapur tanpa aturan.

  1.  

SPDP, BAP, dan KUHP tergeletak di meja kusam,
di samping figurin kecil Jiji si kucing pengantar.
Berita korupsi bertebaran di layar tanpa diam,
sementara pikirannya terbang pada Laputa yang gentar.

  1.  

“Pasal 2 ayat 1,” katanya, “kerugian negara nyata.”
Tapi suaranya hampa, tanpa nyala di mata.
Di kepala, Haku melesat di langit tanpa suara,
meninggalkan sidang dan segala naskah pidana.

  1.  

Malam itu, di kos kecil dekat Pasar Senen,
ia menonton Spirited Away di layar ponselnya.
Chihiro menyeberangi jembatan roh dalam geram,
sementara ia memikirkan jembatan hidupnya.

  1.  

“Jaksa Adhyaksa, masa depan cerah,” bisik senior dengan bangga,
“SK pengangkatan di Gedung Bundar menunggumu.”
Tapi ia teringat wajah-wajah di balik sidang yang hampa,
dan bisikan Totoro di hutan: “Pergilah, temukan mimpimu.”

  1.  

Maka, surat pengunduran diri ditandatangani pagi itu,
dengan pena hadiah dari pelantikan dua tahun lalu.
“Demi alasan pribadi,” katanya, tak ada yang tahu,
betapa di hatinya, ia sudah terbang bersama awan dan angin malu.

  1.  

Sebulan kemudian, ia duduk di toko kecil di Kemang,
menyusun katalog mug Totoro dan kaos Howl berpendar.
Nama tokonya: “Yubaba’s Trinkets”—unik dan terang,
dengan logo Noface memegang semangkuk nasi sebentar.

  1.  

Supplier resin dari Bandung bertanya heran,
“Masa jaksa jadi pedagang barang anime?”
Tapi ia hanya tersenyum, mata menatap awan berputar pelan:
“Kadang hukum hidup lebih lembut dari pasal yang tertera di resume.”

  1.  

Kini setiap hari ia berbicara dengan pelanggan gembira,
tentang figure Totoro edisi terbatas dan jam dinding Ghibli.
Anak-anak tertawa, orang tua terpesona,
melihat mug berdesain hutan dan cahaya Kodama yang mistis dan liris.

  1.  

Kadang ia rindu ketukan palu hakim di persidangan,
tapi lalu angin masuk membawa aroma cat baru.
Poster The Wind Rises bergoyang di dinding etalase ringan,
seolah menyapa: “Le vent se lève, il faut tenter de vivre.”

  1.  

Ia tersenyum dan berpikir: hukum selalu bicara tentang sebab dan akibat.
Tapi hidup? Ah, itu justru dimulai saat logika dikesampingkan.
Di luar sana, jaksa-jaksa terus menuntut dengan suara lantang,
sementara ia, dengan damai, menghitung profit mug Totoro edisi terbatas.

2025

*

TOKO BUKU DI TENGAH MALAM

Kau mendorong pintu yang tak terkunci,
lonceng tua berdenting pelan, memecah kesunyian.
Di dalam, bau kertas tua dan debu bercampur
dengan kehangatan lampu kuning kusam.

Kau berjalan di lorong-lorong sempit,
mata menjelajahi judul-judul yang tertidur di rak.
Para pemilik toko selalu lupa mengunci pintu ini.
Atau mungkin mereka tahu kau akan datang.

Jemarimu menyusuri punggung buku,
merasakan serat kertas yang haus sentuhan.
Di sudut, sebuah buku terbuka:
Paradise Lost. Halaman terakhir ternoda merah.

Kau tersenyum. Ini adalah malam ketiga belas.
Kau tahu di sini bukan tempatmu,
tapi mereka selalu meninggalkan jejak-jejak samar
seolah mengundangmu kembali.

Di balik rak klasik, suara berdesis muncul.
Buku-buku bergetar di tempatnya.
Kau ingin memanggil nama mereka,
tapi kau tahu, nama memberi kuasa.

Di kantong mantelmu, ada sesuatu untuk mereka.
Kelopak mawar kering, seutas benang emas,
dan kunci kecil tanpa lubang.
Malam ini kau akan memberikannya.

Andai saja mereka tahu
betapa kau ingin membaca bersama mereka
tanpa peringatan di kaca etalase:
“Toko Tutup. Tidak Melayani Tamu dari Dunia Lain.”

2025

*

TUAN SEHARUSNYA

Tuan Seharusnya duduk dan menghela napas,
“Aku bisa membuatnya bertahan, seharusnya aku mencoba.”
“Seharusnya aku menatap matanya lebih lama,”
“Seharusnya aku mendengar, bukan hanya berbicara.”

Ia membayangkan malam-malam yang telah berlalu,
ruangan yang dulu hangat oleh suara seseorang,
kini hanya dipenuhi gema langkahnya sendiri.
Jendela terbuka, angin masuk tanpa izin,
seperti kenangan yang tak tahu diri.

Tuan Seharusnya duduk dan menangis:
“Aku bisa membuatnya tetap tinggal, seharusnya aku lebih peka.”
“Sekarang, apartemen ini hanya suara jam yang berdetak,”
“waktu terus berjalan, tapi aku tetap di sini, diam.”

Di rak, buku-buku yang pernah dibacanya perlahan berdebu,
cangkir di meja tetap sendiri, kopi mendingin tanpa bibir yang menyesap.
Hujan turun di luar, tapi tak ada tangan lain yang bisa digenggam.
Ia membiarkan televisi menyala tanpa benar-benar menonton,
hanya agar kesunyian tak terdengar terlalu lantang.

Namun hari ini, bertahun-tahun kemudian,
ia masih mengenakan kemeja yang sama seperti kemarin,
dan kemarin yang lain, dan kemarin sebelum itu.
Dunia terus bergerak, tetapi ia tetap duduk di kursi yang sama,
memikirkan hal-hal yang seharusnya ia lakukan.

2025

*

SEBUAH PIDATO UNTUK AYAH CALON MERTUA

Terima kasih, Pak. Saya senang bisa duduk di sini,
di hadapan Bapak yang wajahnya lebih tegas dari dosen hukum pidana.
Saya tahu ini bukan perkara sederhana:
meminjam waktu anak Bapak, permata keluarga.

Tapi izinkan saya, sebelum Bapak meruncingkan alis,
mengaku bahwa niat saya bersih—seterang langit sore di bulan Juni,
tak ada tipuan, tak ada sandiwara,
hanya satu rencana sederhana:
mengajaknya menikmati malam Minggu di Taman Ismail Marzuki,
di bawah bintang-bintang, dalam pagelaran puisi dan musik indie.

Saya paham, Bapak mungkin menduga saya datang
dengan niat setipis seribu alasan pemuda Jakarta;
tapi percayalah, Pak, saya lebih takut
pada kehilangan kepercayaannya daripada kehilangan dompet saya.

Bukan ke bioskop gelap kami hendak bersembunyi,
bukan ke restoran mahal yang menawarkan lebih banyak status
daripada rasa.
Tapi ke ruang terbuka di TIM,
di mana kata-kata mengalir seperti sungai kecil,
di mana tawa lepas seperti burung yang baru belajar terbang.

Kami akan duduk di bangku kayu yang berderit,
menonton seniman jalanan membaca sajak tentang rindu dan revolusi,
dan mungkin, kalau Bapak berkenan percaya,
setelah itu kami akan pulang
sebelum jam malam berubah jadi kecurigaan.

Saya tahu, Pak, dunia ini lebih licin daripada dulu,
dan remaja sering lebih cepat berjanji daripada berpikir,
tapi saya, hari ini, datang tidak hanya membawa jaket denim saya,
tapi juga itikad yang utuh,
dan dompet penuh cukup untuk tiket masuk dan dua gelas kopi kecil.

Jadi, izinkan saya, Pak,
meminjam kepercayaan Bapak,
sebesar satu malam di taman,
di bawah lampu-lampu yang berkedip tenang,
dan janji untuk mengantar pulang anak Bapak
dengan cerita, bukan dengan alasan.

2025

*

SURAT YANG DITULIS DI BALIK JENDELA RUANG TUNGGU ISTANA

Aku terkejut melihat
bahwa jam di dinding masih terus berdetak.
Sekarang aku sedang duduk,
dan aku telah melepaskan sumpahku
dari tangan rakyat seperti yang kukatakan akan kulakukan,
dan aku telah bertahan sejauh ini
seperti yang kukatakan akan bertahan,
dan aku ada di kursi kulit tua ini sekarang,
menggenggam pena tanpa tinta,
catatan pidato yang belum sempat kubacakan,
dan kunci mobil dinas
pada pukul empat sore
di bulan Oktober yang memar.

Terkasih,
meski segalanya telah terjadi,
tak ada yang sungguh-sungguh berubah.
Negara ini sangat tua.
Negara ini adalah wajah seorang ibu
yang terlalu letih untuk bermimpi,
tanpa keajaiban, tanpa kemarahan,
tanpa harapan luar biasa,
hanya kerut-kerut kelelahan
di peta-peta usang.

Namun,
aku masih punya mata.
Ini mataku:
bendera yang robek di sudut tiang,
kursi-kursi kosong di ruang rapat,
nota berdebu bertuliskan
“perlindungan dan pelayanan.”
Oh, baiklah, aku berkata,
aku akan menyelamatkan mukaku sendiri.

Di ujung lorong
kulihat sepuluh jenderal pensiunan,
berdiri kaku seperti tiang besi,
wajah-wajah mereka mencuat
dari balik seragam nostalgia,
seperti para dewa kecil
yang lupa bagaimana caranya membungkuk.
Tanpa pandang bulu,
angin musim gugur meniup
medali-medali lama di dada mereka.

Hampir runtuh,
kulihat yang tersisa:
sisi dingin kehormatan,
kilau kepatuhan,
rantai kecurigaan.

Oh, Tuhan,
meski aku sangat muda,
bisakah Kau
biarkan mereka menggulung surat keputusan itu,
meletakkan pistol-pistol perunggu mereka,
dan membiarkanku melangkah keluar
melewati pilar-pilar marmer ini,
tanpa parade,
tanpa pidato,
hanya suara sepatu hak yang bergaung
di lorong kosong,
seperti renungan terakhir yang tak jadi dikatakan.

Terkasih,
lihatlah bagaimana janji-janji kecilku
terbang menjauh
melewati taman istana yang kering,
melewati patung-patung
yang lebih retak dari kepercayaan rakyat.

Di sanalah cita-cita kecilku pergi;
berkibar di angin lemah,
lebih ringan daripada dokumen yang ditinggalkan
di laci-laci berdebu,
lebih rapuh daripada bisikan seorang reformis muda
di tengah padang ranjau birokrasi.

Mereka bernyanyi untuk ini:
Mereka sedang pergi.
Inilah janji-janji kecilku.
Lihat mereka memudar
dengan sayap patah, meminum
langit sore, tanpa selempang
tanpa tepuk tangan
tanpa perlindungan.

Mereka memanggilku kembali
dari pinggir surga yang kabur,
kabar baik, kabar buruk.

2025

*

IRZI ialah nom de plume Ikhsan Risfandi yang lahir di Jakarta 1985. IRZI sempat menjajal peruntungan sebagai gitaris Jazz kemudian banting gitar untuk fokus menempuh kepenulisan puisi Jess & Beatawi, sesekali cerpen. Buku puisi pertamanya Ruang Bicara terbit pada 2019. Trivia Kampung Sawah terbit pada November 2024 ini di Velodrom sebagai bukunya yang kedua.

Back to top button