5 PUISI MUHAMMAD ASQALANI ENESTE

Sambal Terasi
sambal terasi ini untuk paman. terbuat dari otak udang dan kotoran sungai. paman buaya buntung bukan? aha, ada juga belulang dan bangkai ikan buntal.
ini pakis liar tempat tidur segala ular, tiwul, coro, dan astaga, babi gendut yang rabun dan tua itu.
silakan makan paman, buka sisikmu, copot gigimu, bukankah gerahammu adalah surga yang baru di aspal?
jalan menuju usus tak mungkin buntu. tak mungkin buntu.
Kubang Raya, April MMXXV
*
CATATAN REDAKTURIAL
Puisi Sambal, Buaya Buntung, dan Surga Geraham
Oleh IRZI
Jika biasanya puisi disajikan seperti anggur merah dalam kristal kaca, Muhammad Asqalani Eneste memilih menyajikannya dalam cobek batu berisi sambal terasi panas dengan aroma yang tak bisa kamu abaikan. Judul puisinya, “Sambal Terasi,” bukan sekadar strategi clickbait dalam dunia sastra—ini benar-benar tentang sambal, tapi juga tentang sesuatu yang lebih jero: kritik sosial, sindiran tajam, dan, tentu saja, satire sepedas cabai rawit tiga hari dipendam. Sebagai penyair yang lahir di Paringgonan pada 25 Mei 1988, dan punya rekam jejak dari Residensi Seniman Riau sampai membaca puisi di National University of Singapore, Asqalani jelas tahu cara membuat metafora lokal menjadi alat retoris global. Oh, dan ya—jangan lupakan, ia pernah liburan gratis ke Singapura cuma karena satu puisi. Itu baru sambal yang efektif.
Bait pertama langsung menampar lidah. “Sambal terasi ini untuk paman. Terbuat dari otak udang dan kotoran sungai…”—nah, ini bukan resep dari ibu di dapur, melainkan jamuan simbolis untuk “paman” yang entah siapa, tapi bisa siapa saja: pemangku kuasa, oportunis tua, atau bahkan kita yang membiarkan sungai jadi tempat buang hajat. Dan ketika muncul “paman buaya buntung,” kita tahu ini bukan dongeng anak-anak. Ini buaya yang tak bisa berenang lagi, mungkin karena terjebak dalam banjir moralitas, atau karena buntungnya integritas.
Lanjut ke bait kedua, puisi ini makin centil—dengan lelucon yang tampak liar, tapi bukan tanpa makna. Ada pakis, ada coro (kecoak), dan tentu saja: “babi gendut yang rabun dan tua itu.” Ini bukan sekadar parade fauna. Ini adalah parade kegagalan. Semua makhluk yang digambarkan seperti hiasan absurd dari dunia yang carut-marut. Tapi Asqalani tidak menyajikannya dengan nada keras kepala. Ia menulis seperti stand-up comedian dengan latar belakang studi sastra: cerdas, usil, dan tetap sopan dalam menggigit.
Puisi ini kemudian menjadi semacam jamuan makan metaforis—paman diminta “buka sisikmu, copot gigimu,” seolah tamu kehormatan dalam pesta kanibalisme moral. Tapi kita tahu ini bukan pesta perayaan. Ini semacam ritual penghakiman halus terhadap kemunafikan, ketamakan, dan kelicikan yang dikemas dalam sapaan lembut. Dan di antara semua kalimat itu, ada satu baris pamungkas yang berdentum tenang tapi bikin merinding: “jalan menuju usus tak mungkin buntu.” Ah, betapa brilian! Kritik sosial dengan analogi pencernaan: semua omong kosong dan kerakusan pasti akan dicerna. Tidak ada yang lolos dari akibat.
Asqalani Eneste tidak sedang menulis puisi tentang makanan. Ia sedang menyusun menu kritik dalam bentuk pesta kata. Ia memasukkan babi rabun, coro kos-kosan, dan bangkai ikan buntal bukan untuk lucu-lucuan, tapi untuk membangun teater satir yang mencerminkan dunia kita yang absurd. Maka, sambal terasi ini bukan untuk dinikmati—tapi untuk dirasakan pedasnya sampai ke dalam perut pikiran. Dan kalau setelah membaca ini kamu merasa sedikit mual atau malah lapar, itu tandanya kamu masih bisa merasakan getirnya kebenaran. Mau tambah sambal? Atau sudah kepedasan?
2025
*
Perjalanan Ibu
perjalanan ibu menuju abu, dimulai dari amarah tanpa arah.
ayah mati di bawah kakinya, adik mati dalam perutnya, aku nyaris mati di antara kedua pahanya.
astaga, mimpi macam apa ini? apa benar doaku telah menjuluk buah busuk neraka?
seperti buah dada Hawa, ketika dibelah keluar khuldi.
Kubang Raya, April MMXXV
*
Patungosa
ayah diperkosa malaikat kematian. ibu bangkit sebagai kesurupan. kakakku terjaga sebagai amnesia. aku tidur jaga sebagai ada-ada saja.
kelak ketika ayah hidup lagi, pergi tamasya ke padang sunyi, aku akan merayu jibril untuk bernyanyi, tentang burung yang gigil di luar udara.
di luar kepala dokter dan fasien yang lupa mereka gila.
Kubang Raya, April MMXXV
Biru Adikku
biru adikku, adalah warna semesta di perut naga. kuning adikku, lampu peri jerit di suatu masa. merah adikku, mungkin saja dajjal trauma.
tapi sebagai malaikat, kudoakan kau buta warna. surga yang polos, hambar, dan agama yang tidak lolos ujian.
Tuhan tertidur dalam kelas menjahit langit yang robek.
Kubang Raya, April MMXXV
*
Shambala
di kebun cabe, kau membaca buku merah, bukan karena marah, tapi karena kau sedang memerah Tuhan seperti sapi?
Tuhan tak ada di Shambala. ia tak sembunyi di sebuah tempat yang tidak tepat. keningku kuning karena pening, apakah Tuhan telah jadi manusia?
kubuka telapak tangan, kulepas genggam agama, Tuhan seperti kelereng menggelinding, entah akan jatuh ke tebing mana.
kepalamu Manna dan Salwa?
Kubang Raya, Maret MMXXV
Muhammad Asqalani eNeSTe. Kelahiran Paringgonan, 25 Mei 1988. Merupakan alumnus Pendidikan Bahasa Inggris – Universitas Islam Riau (UIR). Mengajar English Acquisition di TK Islam Annur Bastari. Menulis puisi sejak 2006. Puisi-puisinya terangkum di berbagai media dan memenangkan sejumlah lomba. Ia merupakan Pemenang II Duta Baca Riau 2018. Pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Cahaya Rumah. Pendiri Community Pena Terbang (COMPETER). Ia mengikuti Residensi Seniman Riau 2023 & 2024. Salah satu Emerging di Balige Writers Festival (BWF) 2023. Adalah Laskar Rempah RI melalui Muhibbah Budaya Jalur Rempah 2024. Buku puisinya Ikan-ikan Kebaikan Terbang dari Sungai ke Langit Lengang, memenangkan lomba buku internasional melalui Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (FSIGB) 2024. Ia pernah liburan gratis ke Singapura karena satu puisi dan membacakan puisinya di Nasional University of Singapore 2019. Kini ia menjadi pembicara atau motivator yang diundang ke berbagai sekolah dan helat sastra, baik di Riau maupun nasional. IG: @muhammadasqalanie