Adu Balap Vaksin Covid-19 dan Kesempatan Menjadi Penindas Dunia
Balapan menemukan vaksin tak lebih dari perebutan kekuasaan di antara negara-negara besar, dam kesempatan luas untuk menjadi penindas yang lebih besar.
JERNIH—Kita, secara keseluruhan, lebih siap daripada generasi sebelumnya untuk menghadapi wabah seperti Covid-19. Umat manusia telah membuat kemajuan medis dan teknologi yang luar biasa, membuatnya lebih mudah untuk menguji, melacak, dan mengisolasi mereka yang terinfeksi.
Jadi, sebenarnya sangat masuk akal untuk mengharapkan dunia memahami bahwa solidaritas akan membawa kita semua melalui krisis global terbesar dalam satu abad ini. Namun, ternyata tidak demikian.
Seolah-olah seluruh pesan bijak tentang “lebih kuat bila bersama”,”bersatu teguh, bercerai runtuh” telah diabaikan. Atau busa jadi, telinga orang-orang yang membuat keputusan telah pekak dan sembrono. Alih-alih menangani pandemi dan memerangi Covid-19 bersama-sama, banyak pihak yang berkuasa melihat ini sebagai kesempatan untuk melakukan kisah-kisah selfis egosentris di hidup mereka.
Ternyata, pulih dari Covid-19 tidak memberi Anda kekebalan terhadap Covidiocy. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menjanjikan negaranya sistem lacak dan jejak yang “mengalahkan dunia”. Ternyata, ada antrean besar di luar beberapa pusat pengujian, sementara yang lain kosong. Beberapa orang harus berkendara ratusan mil untuk diuji. Pada dasarnya, sistem ini “beberapa tahun cahaya lagi dari sistem yang dijanjikan”, seperti yang dikatakan oleh Dr Layla McCay, dari Konfederasi NHS.
Sadar akan kurangnya keberhasilan sistem lacak jejak ini, Johnson sekarang mendorong “Operasi Moonshot”– rencana pengujian massal lain yang diharapkan akan memberikan 10 juta pengujian sehari dan juga memungkinkan Inggris untuk dibuka kembali sebelum Natal mendatang. Ini semua dilakukan tanpa berkonsultasi atau melibatkan penasihat pemeriksaan kesehatan pemerintah Inggris. Semoga berhasil dengan itu.
Tentu saja, perlombaan pengujian tidak dapat dibandingkan dengan perlombaan vaksin, yang telah memicu ketegangan geopolitik yang sudah tinggi, yang hasilnya akan berdampak pada seluruh umat manusia. Ini adalah perlombaan melawan waktu, dan siapa pun yang berhasil menemukan vaksin untuk pertama kali, mungkin memanfaatkan keuntungan itu.
Kekuatan super dunia sedang berlomba untuk mendapatkan vaksin bukan untuk dunia, tapi untuk diri mereka sendiri. Dengan begitu banyak hubungan buruk antara Amerika Serikat dan Cina saat ini, vaksin pertama adalah permainan untuk adu kekuatan di sesi berikutnya.
Siapa pun yang menciptakannya harus menginokulasi populasinya terlebih dahulu, kemudian berada dalam posisi untuk memutuskan kepada siapa vaksin akan mereka jual, dan–dalam prosesnya, menyelesaikan beberapa masalah lama dan membeli teman-teman baru. Ini adalah perebutan kekuasaan–kesempatan untuk menjadi penindas yang lebih besar.
Dan itu adalah mimpi buruk bagi seluruh dunia. Persaingan semacam itu dapat dengan mudah lepas kendali, dan yang tertatih-tatih di tepi kehancuran adalah fakta kesehatan masyarakat global. Alih-alih menempa kesatuan tujuan dan bertindak dalam solidaritas, dunia berada pada belas kasihan akibat sampar–dan wabah kebodohan arogan.
Mengerikan bahwa negara-negara terkemuka telah menolak untuk mendaftar kepada fasilitas Covid-19 Vaccine Global Access (Covax) Facility, sebuah program global yang bertujuan untuk mengumpulkan sumber daya guna mendukung pengembangan vaksin dan berbagi akses, sehingga negara-negara kaya tidak menimbun vaksin laiknya massa bodoh yang menimbun kertas toilet.
Ada cukup jika kita berbagi, dan fasilitas Covax, yang didukung WHO, adalah yang dibutuhkan dunia, sebagai tanggapan kolaboratif yang terfokus. Seperti yang dengan tepat dikatakan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres: “Merupakan kepentingan terbaik semua negara untuk memastikan akses yang adil ke vaksin baru. Tidak seorang pun, tidak ada negara yang akan aman sampai semua orang aman.”
Mengembangkan vaksin sendiri dan melacaknya dengan cepat akan merugikan diri sendiri. Perlombaan ke garis finis tidak akan membantu membuka kembali perekonomian di seluruh dunia. Jalan pintas akan merugikan; mengubah opini publik terhadap vaksin karena kekhawatiran atas keamanan atau efektivitasnya akan menjadi bencana.
Saya berharap kita bisa setuju dengan Albert Camus, yang dalam “The Plague” berkata,”Ada lebih banyak hal yang dikagumi pada pria, daripada dibenci.”
Sayangnya, hanya ada sedikit yang bisa dikagumi pada para covidiots berkuasa di dunia. Karena, coba tebak: kekuasaan memang membuat orang lebih bodoh. Sebuah studi pada tahun 2012 menemukan bahwa orang-orang yang terbiasa menganggap diri mereka lebih kuat memiliki lebih percaya diri pada jawaban yang mereka tawarkan untuk pertanyaan faktual. Namun “Keyakinan seseorang sering berbanding terbalik dengan akurasi fakta”. [Alice Wu/South China Morning Post]
Alice Wu adalah konsultan politik dan mantan direktur asosiasi Asia Pacific Media Network di UCLA