4 Desember 1484: Dimulainya Era Pembantaian ‘Para Penyihir’
JAKARTA— Pada suatu masa beberapa ratus tahun lalu, warga Eropa, khususnya di wilayah Italia Utara, Jerman, Prancis, Swiss, serta kawasan yang saat ini menjadi wilayah Belanda, Belgia dan Luksemburg, pernah dicekam ketakutan akan sihir. Ketakutan itu berbalik menjadi histeria para ‘penyihir’ atau orang yang dituding sebagai penyihir dan keluarganya, sejak 5 Desember 1484.
Ketakutan massal tersebut sebenarnya teklah merebak seiring munculnya Dewan Pengadilan Katolik (Inkuisisi) yang dibentuk Gereja Katolik Roma pada abad ke-13. Persoalannya, ‘Dewan Teror’ itu seolah mendapatkan keabsahannya untuk menyiksa, memeriksa, menginterogasi orang yang dituding penyihir setelah munculnya surat resmi kepausan (Papal Bull) yang dikeluarkan Paus Inosensius VIII pada 5 Desember 1484. Selain mengutuk sihir, Papal Bull itu juga memberi wewenang kepada dua anggota dewan—Jakob Sprenger dan Heinrich Kramer, untuk ‘membereskan’ masalah.
Sprenger dan Kramer kemudian menulis buku, entah untuk alasan pembenar atau apa. Pada buku berjudul ‘Malleus Maleficarum’, atau ‘The Hammer of Witches’ tersebut, keduanya mereka-reka berbagai hal semacam apa-siapa dan bagaimana ciri seorang penyihir berdasarkan cerita rakyat, alasan-alasan penentangan sihir, serta panduan untuk menumpas para penyihir. ‘The Hammer of Witches’ digambarkan sebagai ”..buku yang paling keji dan paling jahat dalam dunia sastra”.
Menurut buku berbahasa Jerman ‘Der Hexenwahn’ tujuan Dewan Inkuisisi itu tak lain adalah ”menobatkan orang murtad dan mencegah agar yang lain tidak terpengaruh”. Dewan Inkuisisi, segera menjadi polisi, hakim, sekaligus eksekutor di lapangan bagi gereja.
Untuk menuding seseorang terlibat sihir, Dewan tak memerlukan bukti. Buku ‘Hexen und Hexenprozesse’ (Penyihir dan Pengadilan Sihir) menulis, pengadilan ‘hanyalah bertujuan membuat si tertuduh mengaku, dengan dibujuk, ditekan, atau dipaksa’. Siksaan, kemudian lazim bila menjadi hal biasa. Bahkan tak jarang pengadilan menyediakan timbangan besar, untuk menimbang ‘dosa sihir’ seseorang di ruag pengadilan!
Segera perburuan penyihir pun merebak, meletupkan ketakutan di seluruh Eropa. Berbarengan dengan munculnya penemuan mesin cetak dari Johan Guttenberg, perburuan itu segera melintasi Samudra Atlantik, hingga sampai ke Amerika Serikat. Kita bisa mengetahui hal itu dengan bercermin dari pengadilan penyihir di Salem, yang hingga kini terus mengilhami industri film Hollywood.
Asal tahu saja, lebih dari 70 persen tertuduh penyihir adalah kaum wanita, terutama para janda—mereka yang sering kali tidak punya pembela. Korbannya mencakup orang miskin, para lanjut usia, tabib wanita—apalagi bila gagal mengobati. Siapa pun bisa jadi tertuduh, laiknya demam McCarthyism untuk memburu orang-orang AS yang dituding komunis di era 1950-an.
Para ‘penyihir’ pun selalu menjadi mangsa pengkambinghitaman untuk semua musibah. Mereka dituduh sebagai ”penyebab udara dingin yang membeku’, atau ‘wabah siput dan ulat yang menghancurkan tanaman’ sebagaimana majalah Jerman, ‘Damals’. Kalau tanaman rusak akibat hujan es, susu sapi kering tak berisi, keluarga mandul tak punya anak, itu pasti gara-gara penyihir!
”Puluhan ribu orang tewas di Eropa dan daerah jajahannya. Jutaan orang lagi disiksa, ditangkap, diinterogasi, dibenci, dituduh, atau ketakutan,” demikian buku ‘Witch Hunts in the Western World’ menulis.
Oh ya, bagaimana seorang penyihir dikenali? Beberapa tertuduh diikat dan ditaruh dalam air dingin yang ”suci”. Kalau dia tenggelam, artinya dia tidak bersalah dan akan diangkat ke luar. Kalau dia terapung, artinya dia penyihir dan dihukum mati saat itu juga. Tersangka lain ditimbang di penadilan, karena dipercaya bahwa tubuh penyihir itu ringan tidak punya bobot.
Tes lain adalah mencari ”tanda Iblis”, yang diyakini sebagai ”tanda nyata dari perjanjian Iblis dengan si penyihir”. Para petugas akan mencari tanda itu ”dengan menggunduli si tertuduh dan memeriksa seluruh badannya dengan teliti” di depan umum! Lalu, mereka menusukkan jarum ke tanda apa pun yang mereka temukan, seperti tanda lahir, benjolan kecil, dan bekas luka. Kalau tidak terasa sakit atau tidak berdarah, tanda itu dianggap sebagai tanda Setan.
Gereja, baik Katolik maupun Protestan, mendukung perburuan penyihir. Di bberapa daerah konon para pejabat Gereja Protestan lebih kejam daripada pejabat Katolik.
Untunglah, belakangan orang-orang Eropa mulai memakai kembali otak yang sempat mereka taruh di peturasan. Misalnya pada 1631, imam kaum Yesuit Friedrich Spee, yang mendampingi banyak ‘penyihir’ yang akan dibakar hidup-hidup, menulis bahwa menurutnya tak satu pun dari tersangka yang benar-benar bersalah. Dia memperingatkan, bila perburuan penyihir terus dibiarkan, Jerman akan kosong ditinggalkan penghuninya.
Dunia kedokteran pun kemudian membuka mata bahwa kejang-kejang lebih disebabkan masalah kesehatan dibanding datangnya lelembut dan ampuhnya mantera. Pada abad ke-17, jumlah persidangan penyihir menurun tajam, dan akhir abad itu pun tiada sama sekali secara resmi. [ ]