Solilokui

Catatan Harian Covid-19 (9) : It’s Not Over Yet

Saya masih beruntung, tidak sampai harus dibawa ke ruang ICU. Perjuangan mereka ‘mengayuh getek’ mengarungi lautan virus adalah soal hidup dan mati. Butuh bantuan ventilator hanya untuk sebuah tarikan nafas menawar ajal.

Oleh  :  Dian Islamiati Fatwa

JERNIH– Pagi tadi, mata saya masih setengah terpejam ketika suster masuk ke kamar melakukan ritual pagi. Periksa tensi, saturasi oksigen dan memasukkan bermacam obat suntik cair melalui infus mulai dari antibiotik, pencair darah, vitamin C sampai batuk.

Saya menjawab setengah-tengah pertanyaan suster, rasanya tidur belum cukup walaupun saya sudah tidur 12 jam. Masih pengen merem lagi, tubuh saya benar-benar butuh istirahat.

Masih perlu beberapa waktu untuk penyembuhan total

“Keluhan apa pagi ini? Sakit kepala, batuk, mual, sesak?”

“Bagaimana tidur, apakah nyenyak, BAB, pipis?”

Saya membiarkan saja suster menarik tangan untuk diperiksa tensi. Biasanya saya menawar, apakah tangan kanan atau tangan kiri yang dibalut alat tensi. Ia menempelkan oximeter– pengukur prosentasi oksigen.

“Wah Bu, saturasi oksigennya 100, bagus!”

Langsung saya terbangun, hampir meloncat dari tempat tidur. Rasanya tidak percaya sebagai pasien covid yang baru saja dinyatakan negatif, kadar oksigen bisa mencapai 100 persen. Impressive! I am proud of myself!

Bila melihat ke belakang, awal-awal ketika virus mulai menusuk-nusuk tubuh, it’s painful. I wasn’t sure whether I was able to make it. Rasanya seperti harus mengarungi Laut Cina Selatan menggunakan perahu getek dengan nafas yang hanya sepotong-potong.

Seperti kata Nelson Mandela, it always seems impossible until it’s done.

Paru-paru saya sebetulnya sudah terluka. Ada fibrosis–semacam bekas luka. Awalnya dokter mengira, fibrosis ini adalah bekas radiasi ketika saya menjalani treatment kanker payudara beberapa waktu yang lalu. Namun ketika dilihat kembali oleh spesialis paru, dokter Ahmad Muhlis, luka ini karena covid sebelumnya. Waduh.

Ketika saya meriang-meriang bulan lalu, sejatinya covid sudah bersarang di tubuh, berpesta-pora menikmati paru-paru. Mungkin rasanya tender ‘kali ya. Duh, paru di warung Padang saja enak, apalagi paru-paruku yang banyak menghirup udara Australia yang bersih tanpa polusi. Pasti super-duber moist dan juicy.

Namun saya tidak menganggap serius meriang dan gejala flu itu. Covid semakin pintar menyamar masuk dalam tubuh sehingga kita menganggap remeh. Menyesal rasanya. I wish I could rewind time.

Sayangnya hidup tidak seperti jam tangan. Jarum tidak berfungsi dan telat, kita  reparasi atau diganti batere. Paru-paru saya telah terluka.

Saya masih beruntung, tidak sampai harus dibawa ke ruang ICU. Perjuangan mereka ‘mengayuh getek’ mengarungi lautan virus adalah soal hidup dan mati. Butuh bantuan ventilator hanya untuk sebuah tarikan nafas menawar ajal.

Banyak yang kuat bertahan, namun ada pula yang menyerah. Tidak ada lagi kekuatan menarik otot dada untuk menghela nafas. Paru seperti lupa fungsinya menukar oksigen di dalam darah. Mungkin sedang kongkow-kongkow dengan covid.

Meskipun saya telah negatif, perjuangan menuju kesembuhan masihlah panjang. Butuh kesabaran tingkat dewa untuk kembali bernafas normal, tanpa tersengal-sengal dan kehabisan nafas.

Dalam banyak jurnal kesehatan dituliskan, tidak seperti penyakit lainnya, pasien covid dengan gejala yang paling ringan pun akan menderita nyeri yang cukup lama dan cepat mengalami kelelahan. Ini terjadi karena fungsi paru terganggu sehingga menyebabkan ketidakseimbangan oksigen.

Sejumlah dokter mencermati mulai banyak pasien covid mengalami fibrosis di paru. Pronogsisnya semakin buruk, mengganggu kualitas hidup karena kesulitan bernafas secara normal. Dokter spesialis yang visit selalu menenangkan, namun saya mengenal tubuh saya.

Sebelum lunch, ngilu di tulang hari ini terasa intense. Batuk kering memanggil-manggil kembali. Kembali seluruh tubuh serasa ditusuk-tusuk jarum dan menggigil. Padahal cairan antibiotik baru saja dimasukkan.

It’s not over yet.

Tidak ada kamus menyerah dalam hidup saya. Meskipun saya terjatuh 10 kali, saya yakin bisa kembali berdiri 11 kali. [  ]

Cipayung, 24 Oct’ 20

Check Also
Close
Back to top button