Untuk Sahabat Kami, Lukmanul Hakim, yang Meninggal Dasa Warsa Lalu
JAKARTA—Pada 11 November 2009, sahabat kami sesama jurnalis Harian Umum Republika, Lukmanul Hakim, meninggal. Dia berpulang dengan gagah, saat mencari nafkah dengan melaksanakan tugas peliputan di negeri orang. Republika mengenang segala yang ia tinggalkan–keteladanan terutama, dengan melaksanakan pemilihan wartawan terbaik mereka setiap tahun dan mengganjarnya dengan Lukmanul Hakim Award.
Sehari setelah kepulangan almarhum, di hari kedatangannya kembali ke Indonesia, tulisan di bawah ini dimuat. Kami mengunggahnya ulang, sebagai penghormatan kami kepada Lukman. Allahumaghfirlahu warhamhu waafihi wafuanhu….
Selamat Jalan Lukman
Sahabat kami, Lukman, Allah selalu punya cara sendiri untuk menunjukkan kasih sayang-Nya. Dia memilih hari terbaik dalam sepekan. Dia juga meminta malaikat-Nya menunggu sebelum menyapa dan membimbing ruhmu terbang. Dan manakala kau mulai bekerja, dengan cara sederhana kita untuk menafkahi keluarga, Sang Izrail pun datang. Kami tahu, kau mungkin menyapanya dengan senyum khasmu sebelum terbaring tenang.
Ah, Lukman, cara manis kematian apa lagi yang bisa wartawan dapatkan? Kita tak terbiasa berjuang di medan perang. Jihad kita begitu sederhana: menghidupi anak-anak kita. Dan pada Jumat (11/12) petang, di pertengahan jemarimu mengetikkan kata-kata, dengan penuh rahim Dia memanggilmu pulang.
Bagaimana mungkin Allah tak menyayangimu, Lukman? Bahkan, kami yang tak punya kasih sayang seluas Dia pun, tak pernah merasakan keberatan. Dalam banyak hal, kaulah maskot kami, Kak Luki–ah, betapa sapaan canda ini kini begitu membuat perih. Tak ada yang tak menyenangkan darimu.
Tinggi besarmu, gemukmu, hitam kulitmu, serta rambut keritingmu, di awal perjumpaan pun tak pernah memunculkan kesan garang. Barangkali karena mulutmu pun selalu terbuka untuk tawa. Bahkan saat salah seorang dari kami melontarkan banyolan tak lucu, kau masih saja akan guyu.
Maafkan kalau kami tak jarang menggodamu. Masih kuat tertanam di benak saat kita menggelar rapat kerja di Puncak, 2007 dulu. Waktu selingan acara, kami mendaulatmu sebagai ‘Pegawai Berpakaian Terbaik Republika’. Semua orang tahu bagaimana caramu berpakaian, Kawan. Begitu sederhana, bahkan lebih dekat kepada seadanya. Dan kau tak marah. Kau naik panggung, menerima ‘piala’ dan berpidato yang membuat kami semua tertawa.
Soal setia kawan, siapa yang tak tahu sifatmu, Man? Masih ingatkah waktu mudik bersama salah seorang kawan kita? Kantor kebetulan memberimu mobil yang gampang batuk-batuk itu. Di jalanan Brebes, tepat tengah malam buta, mobil itu tak hendak lagi bergerak. “Dia mencegat bus antarkota, memaksa saya pulang. Sementara dia dan seorang kawan nongkrong sampai pagi memperbaiki,” kata teman kita itu.
Tetapi, bukan hanya lucu dan sifat ceria yang menjadikanmu disukai semua. Soal komitmen akan kerja, siapa yang akan menunjukmu pada cela? Kau wartawan yang bekerja 24 jam dengan kesanggupan untuk berangkat kapan pun kasus mencuat.
Kami akan mengulang-ulang cerita ini kepada para junior kami. Tentang kau yang pernah menunggui Jaksa Agung Abdurrahman Saleh tiga hari berturut-turut untuk meminta wawancara khusus. Di depan rumah itu kau seolah berkemah, disengat matahari, disembur angin malam. Di hari ketiga, tuan rumah pun kau kalahkah, Kawan. Dia berkenan menemui dan diwawancarai.
Atau ingatkah saat masuk kantor dengan basah kuyup, hingga seorang kawan meminjamimu baju? Di tengah musim hujan, meliput ke sana-kemari dengan bersepeda motor memang meniscayakan heroisme tersendiri. Kau sedikit dari kami yang masih memiliki.
Setahun terakhir, kami mendapati bahasa Inggrismu lebih fasih. Ternyata, di saat usia membuat orang lain jenuh, kau memutar gas dan belajar penuh. “Gua nggak mau lagi diketawai gara-gara Bahasa Inggris,”katamu. Kami tertawa, tetapi jujur saja, saat itu sempat terselip bangga. Di sempitnya waktu dan tanggung jawab seiring usia, kau masih bisa meluangkan waktu untuk belajar bahasa.
Lalu, kemarin sore datanglah berita itu. Mengejutkan kami semua. Sekitar dua jam sebelumnya, laporanmu hari itu datang ke ruang berita. “Menembak Bikin Kejutan”, tulismu di awal halaman. Di atasnya tertera waktu masuk berita itu: 15.51.24. Itu berita terakhirmu, Man. Benar, sebagaimana Kau tuliskan, memang mengagetkan.
Jika benar 40 adalah fase baru kehidupan seseorang, Man, kau laksana pergi di babak baru kehidupan. Di awal, saat semangat dan gairah begitu membaranya. Kalau bukan asa, apalagi yang membuatmu menuliskan pesan singkat ini sebelum berangkat ke Laos? “Bos, nanti sore aku berangkat ke SEA Games. Terus terang tak paksain banget. Aku sebenarnya harus opname karena jantung. Mohon doa restu saja.”
Kesadaranmu untuk ‘pulang’ itu juga seolah muncul tiga bulan terakhir ini. Tentu, tetap dalam canda sebagaimana biasa. Kepada seorang teman kau katakan keinginan untuk dimakamkan di kotamu, Semarang. “Diantar pakai apa?” teman kita tahu kau bercanda. “Bagaimana kalau pakai motormu saja?” Dan ah, selalu, setelah itu kau tertawa.
Hingga kemarin malam, usai Magrib, sebuah telepon membuat rekan kita Nasihin Masha kaget. “Ini Nasihin?” suara orang yang tertulis sebagai private number itu. “Ya betul.” “Ini Andi Mallarangeng. Saya di Laos. Wartawan Republika, Saudara Lukman meninggal terkena serangan jantung. Sekarang saya dalam perjalanan ke rumah sakit. Insya Allah, semua kami urus.”
Man, Andi menyebut namamu dengan gemetar, “Almarhum gugur dalam menjalankan tugas.” Benar, Man. Dan tak hanya tugas kantor, itu tugas hidupmu.
Kini, tugasmu itu usai sudah. Telah tunai semua dengan cara begitu indahnya. Malaikat itu dengan manis menyentuh jantungmu. Sekejap tak ada lagi detak. Kau tersungkur ke deretan huruf-huruf di keyboard komputer. Setelah berguling, dalam rekaman CCTV, kami melihat kau menyungkur. Seolah dengan cara itu kau berkata kepada Dia, “Tuhan, lihatlah bukankah kutinggalkan jasad amanat-Mu ini dengan bersujud kepada-Mu?” [ ]