Tuna Etika
Kita sudah menyaksikan bagaimana konstitusi diubah ditambah pasal-pasalnya dan berbilang undang-undang terus diproduksi, namun sekadar untuk dilanggar. Konstitusi dan hukum tak dapat berdiri tegak tanpa basis moral yang kuat.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Dalam demokrasi beradab, hukum berenang di lautan etika. Defisit institusi dan undang-undang selalu bisa ditutupi oleh kecukupan moralitas. Dalam demokrasi lemah adab, hukum berenang di lautan tuna-etika. Surplus undang-undang tak membuat tertib hukum, malah makin membuka celah bagi kejahatan manipulatif.
Berbagai ekspresi ketidakpatutan etis dalam ruang publik kita mengindikasikan meluasnya fenomena “rabun moral” yang menyesatkan bangsa.
Rendahnya literasi moral inilah yang membuat orang menghalalkan segala cara untuk meraih kedudukan. Sumpah dan keimanan disalahgunakan. Orang-orang berlomba mengkhianati sesama dan negaranya.
Dalam kehidupan publik beradab, ada banyak hal yang tak bisa dibeli dengan uang. Dengan menipisnya rasa malu dan rasa kepantasan, cuma sedikit yang masih tersisa.
Memberi harga pada pranata publik mengandung daya korosif dan koruptif bagi perkembangan bangsa. Karena uang (pasar) bukan saja mengalokasikan barang, tetapi juga memengaruhi sikap manusia dan nilai barang yang diperjualbelikan.
“Menjual” bangku sekolah dan gelar akademik kepada pembayar tertinggi memang bisa mendatangkan keuntungan, namun juga melunturkan integritas dunia pendidikan, seraya merusak prinsip kesetaraan meritokratis.
Pilihan politik dan lembaga politik bukan untuk diperjualbelikan, karena hal itu menyangkut hak dan kewajiban warga negara. Instrumen kewargaan tidak sepatutnya dianggap sebagai properti perseorangan yang bisa dijual, tetapi harus dipandang sebagai pertanggungjawaban publik. Menjual hak pilih dan lembaga politik menjadikan urusan publik dikendalikan oleh kekuatan privat.
Kita sudah menyaksikan bagaimana konstitusi diubah ditambah pasal-pasalnya dan berbilang undang-undang terus diproduksi, namun sekadar untuk dilanggar. Konstitusi dan hukum tak dapat berdiri tegak tanpa basis moral yang kuat.
Pada akar tunjang krisis kehidupan bernegara saat ini terletak krisis etika. Pemulihan krisis harus dimulai dari gerakan “keutamaan budi” (budi utomo), dalam “persekutuan kebajikan” (jami’at khair). Itulah khitah sejarah kebangkitan kita. [ ]