Johnson & Johnson Klaim Vaksinnya Efektif Melawan Varian Delta
Komite Vaksin Jerman (STIKO) pada Kamis (1/7) lalu merekomendasikan agar setiap orang yang menerima dosis pertama AstraZeneca beralih ke BioNTech-Pfizer atau Moderna untuk dosis kedua. Anjuran itu dinilai sebagai upaya perlindungan yang lebih baik terhadap virus corona, termasuk varian Delta.
JERNIH– Perusahaan farmasi asal Amerika Serikat (AS), Johnson & Johnson, mengklaim bahwa vaksin buatannya 85 persen efektif merespons kekebalan yang bertahan lama dan mampu mencegah penderita COVID-19 dari perawatan di rumah sakit.
“Selama delapan bulan, dosis tunggal vaksin Johnson & Johnson menghasilkan respons antibodi yang kuat. Kami mengamati peningkatan dari waktu ke waktu,”ujar Mathai Mammen, kepala Penelitian dan Pengembangan J&J.
Perusahaan mengklaim vaksin COVID-19 Johnson & Johnson menimbulkan antibodi terhadap varian Delta, yang pertama kali diidentifikasi di India. J&J telah mengirimkan data sebagai pracetak ke situs web bioRxiv sebelum peer review.
Jerman rekomendasikan campuran vaksin
Komite Vaksin Jerman (STIKO) pada Kamis (01/7) merekomendasikan agar setiap orang yang menerima dosis pertama AstraZeneca beralih ke BioNTech-Pfizer atau Moderna untuk dosis kedua. Anjuran itu dinilai sebagai upaya perlindungan yang lebih baik terhadap virus corona, termasuk varian Delta.
Studi menunjukkan bahwa respons kekebalan “jelas lebih unggul” ketika dosis AstraZeneca dikombinasikan dengan vaksin mRNA kedua, dibandingkan dengan suntikan AstraZeneca ganda, kata STIKO.
Oleh karena itu, komisi merekomendasikan campuran “tanpa memandang usia” dan dengan jarak minimal empat minggu antara dua suntikan.
Vaksin yang dikembangkan oleh BioNTech-Pfizer dan Moderna didasarkan pada teknologi RNA baru yang sama, yang melatih tubuh mereproduksi protein serupa dengan yang ditemukan pada virus corona. Sementara vaksin AstraZeneca dan Johnson & Johnson menggunakan versi rekayasa genetika dari adenovirus penyebab flu biasa sebagai “vektor” untuk mengirim instruksi genetik ke dalam sel manusia. [Reuters/AFP]