Haredim, Ancaman Terbesar Israel yang Justru Dari Dalam
Artinya, nasib Israel ada di tangan Palestina. Jika Israel dan Palestina menemukan cara untuk mencapai perdamaian (atau setidaknya mencegah konflik), isu kritis yang memberi makna pada sayap kanan di Israel akan hilang.
Oleh : Dan Perry
JERNIH–Kepemimpinan baru Israel menyebut dirinya “Change Government” seiring digulingkannya Benjamin Netanyahu yang sudah sekian lama menjabat. Tetapi disparitas ideologis yang ada berisiko menghalangi perubahan nyata yang diperlukan, termasuk pada ancaman utama yang dihadapi negara itu saat ini.
Ancaman itu datang bukan dari Palestina, atau dari dunia Arab yang lebih luas, atau bahkan Iran. Bahaya terbesar adalah dari dalam: Haredi, yang dengan gayanya yang ibarat negara dalam negara, berkembang sangat pesat.
Seperti yang kita ketahui, Haredim berpegang teguh pada interpretasi kaku Yudaisme yang hanya mentoleransi sedikit penyimpangan dari tradisi kuno. Mereka dapat ditemukan di AS, Belgia, Inggris dan di tempat lain, dan selalu membentuk komunitas yang erat. Tetapi hanya di Israel ada firewall beracun antara mereka dengan sesama warga Israel.
Semua itu dapat ditelusuri kepada keputusan sekitar 70 tahun lalu, yang dibuat oleh David Ben-Gurion untuk memberikan rancangan pengecualian kepada siswa di yeshivot. Saat itu hal tersebut berlaku untuk beberapa ratus kalangan Heridim berpendidikan.
Pengaturan ini mengubah studi Taurat menjadi obsesi yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana semua pria Haredi didorong untuk tugas seminari seumur hidup. Pertama untuk menghindari wajib militer, dan kemudian pada dasarnya sebagai sumber kesejahteraan. Sementara mahasiswa lain membayar uang kuliah, Haredim menerima tunjangan seberapa lama pun mereka belajar, jika mungkin seumur hidup. Saat ini lebih dari 150.000 pria di sekolah-sekolah mereka mendapatkan indoktrinasi bahwa ketegasan dan kerabian menggantikan hukum dan kepatuhan pada pejabat negara.
Untuk mempertahankan kepicikan, sebagian besar siswa sekolah menengah Haredi dikirim ke sekolah komunitas. Sekolah-sekolah itu hanya sedikit atau bahkan tidak mengajarkan matematika, sains, dan bahasa Inggris. Beberapa hari terakhir kita mendengar bahwa Kepala Rabi Israel, yang adalah seorang Haredi, menyebut studi subjek sekuler semacam itu sebagai “omong kosong.” Israel mendanai sekolah-sekolah ini, meskipun lulusan mereka yang malang pada dasarnya tidak dapat bekerja dalam ekonomi modern.
Akibatnya, kurang dari setengah laki-laki Haredi yang merupakan bagian dari angkatan kerja, alias tingkat partisipasi terendah dari setiap kelompok yang dapat diidentifikasi di Israel– dan jelas, jauh lebih sedikit daripada Haredim di negara lain. Minoritas yang bekerja pun cenderung mengisi posisi-posisi birokrasi keagamaan yang luas, mencakup pengawas pemandian ritual mikvaot, sertifikasi makanan kashrut, dan aparat sejenis lainnya.
Perempuan dalam komunitas tersebut dikeluarkan dari daftar kandidat partai Haredi dan didorong untuk berkembang biak dengan kekuatan sedemikian rupa sehingga mereka rata-rata menghasilkan 7,1 anak — jauh lebih banyak daripada kelompok mana pun di Israel. Mereka hidup dalam kemiskinan yang tidak dapat ditoleransi oleh subsidi negara untuk setiap anak, dengan mengorbankan pekerja Israel.
Dengan demikian, komunitas itu menggandakan dirinya setiap 16 tahun, empat kali lipat dari jumlah penduduk Israel lainnya. Haredim telah berkembang menjadi sekitar 12 persen dari 9,5 juta orang– hampir 20 persen orang Yahudi di negara itu. Kecuali ada perubahan– dan tingkat gesekan diperkirakan kurang dari 5 persen– mereka akan menjadi mayoritas Yahudi Israel dalam beberapa decade ke depan.
Jelas hal ini bisa meruntuhkan ekonomi, sehingga kaum Haredim harus bekerja. Para Haredim mungkin mengarahkan diri mereka sendiri untuk–entah bagaimana– mengubah cara hidup mereka. Tetapi sulit untuk melihat hal ini berjalan cepat, apalagi di negara yang kini bertahan hidup sebagai “Start-up Nation”, yang merupakan pemimpin dunia dalam teknologi siber, agroteknologi dan modal ventura; yang warganya sering mendapatkan hadiah Nobel dan pemimpin global hak-hak gay, yang dekriminalisasi ganja dan telah mengembangkan Iron Dome untuk menggagalkan serangan roket dari langit, seperti Israel.
Ketegangan yang terjadi sudah lama tinggi, titik nyala yang diperkuat oleh dukungan Haredi yang kuat untuk sayap kanan (ironis, mengingat oposisi Haredi awal terhadap Zionisme). Banyak yang melihat ini sebagai melanggengkan konflik di mana mereka menolak untuk berperang (mereka juga merupakan pemukim Tepi Barat yang tidak proporsional).
Krisis COVID-19 semakin meningkatkan suhu ketika sebagian besar populasi Haredi menolak untuk menutup sekolah dan mengakhiri pertemuan besar untuk berdoa, pernikahan atau pemakaman, berakhir dengan tingkat infeksi yang sangat tinggi (diperburuk oleh kondisi kehidupan yang padat) yang berkontribusi pada kebijakan Israel melakukan penguncian nasional pada 2020. (Netanyahu menolak desakan para ahli untuk penguncian yang ditargetkan karena takut mengganggu Haredim.) Laporan sesekali tentang Haredim yang menegakkan pemisahan gender atau mencegah wanita bernyanyi di depan umum di mana pun mereka mendapatkan pijakan menyebabkan kecemasan lebih lanjut, misalnya seperti gangguan kaum Haredi pada transportasi umum dan perdagangan pada hari Sabat.
Karena menghormati Haredim, Israel terus mengizinkan semua agama memonopoli pernikahan formal, memberi Yudaisme Ortodoks otoritas atas konversi. Jadi banyak imigran berbahasa Rusia yang tidak diakui sebagai orang Yahudi, dan umumnya pasangan campuran, didorong agar bepergian ke luar negeri untuk menikah, yang jelas absurd.
Seluruh pengaturan ini disetujui dan didanai oleh mayoritas warga Israel non-Haredi, yang cara hidupnya akan dihancurkan berdasarkan tingkat kelahiran. Sebagian karena takut dicap tidak toleran–masalah klasik kaum liberal dalam menghadapi iliberalisme.
Ada kemungkinan bahwa Israel akan menemukan cara untuk memulai kembali kesepakatannya dengan Haredim, menegakkan kurikulum inti, mengakhiri gaji yeshiva, mengurangi subsidi anak, membatalkan rancangan pengecualian, dan mengabaikan keinginan mereka tentang masalah pernikahan, konversi dan hari Sabat ( tentu saja di wilayah sekuler).
Bisa dibayangkan hal itu bisa terjadi dalam kerangka Change Government, yang tidak mengandalkan pihak Haredi dalam jalan kekuasaannya. Partai-partai yang berhaluan kanan dalam koalisi—termasuk Yamina-do pimpinan Perdana Menteri Naftali Bennett mengandung anggota keagamaan, tetapi ini adalah orang-orang religius yang lebih modern seperti Bennett sendiri, yang mungkin ingin menyelamatkan Yudaisme dari gaya Haredim.
Bagi partai-partai berhaluan Kanan yang hendak bergabung dengan Kiri-Tengah dalam membalikkan demo-demo ‘bunuh diri’ saat ini, mereka harus meninggalkan semua harapan untuk pemerintahan masa depan yang seragam sayap kanan, karena Kanan tidak akan dapat mengumpulkan lebih dari mungkin 40 kursi di Knesset tanpa mereka.
Artinya, nasib Israel ada di tangan Palestina. Jika Israel dan Palestina menemukan cara untuk mencapai perdamaian (atau setidaknya mencegah konflik), isu kritis yang memberi makna pada sayap kanan di Israel akan hilang.
Jika tidak, maka Kanan mungkin tidak akan pernah menemukan keberanian untuk mematahkan secara tegas hubungannya dengan sayap Haredi-nya itu. Siapa pun yang peduli dengan kelangsungan hidup Israel memiliki alasan kedua untuk mendambakan perdamaian. [The Jerusalem Post]
Penulis adalah mantan editor Timur Tengah yang berbasis di Kairo dan editor Associated Press Eropa/Afrika yang berbasis di London, dan mantan ketua Asosiasi Pers Asing di Yerusalem. Dia adalah mitra pengelola perusahaan komunikasi Thunder11 yang berbasis di New York.