SolilokuiVeritas

Mengapa Pejabat dan Tokoh Masyarakat Kita Mudah Ditipu “Angin Surga”?

Pelajaran lain apa dari kasus ini, yang lebih besar lagi?  Kita masih hidup dalam kultur yang terlalu mencintai dongeng dan kurang mencintai kultur sains. Kultur sains adalah kultur di mana sebelum kita meyakini sesuatu, ia harus lewat dulu pada suatu proses sistematik: sikap skeptis.

Oleh  : Denny JA

JERNIH—Sahabat, marilah kita memuji sekaligus mengkritik diri kita sendiri. Kita memuji diri kita karena mengembangkan prasangka baik. Karena kita begitu mencintai moral story. Begitu kita suka minta ampun pada kisah-kisah kebajikan.

Denny JA

Tapi marilah juga kita mengkritik diri sendiri karena kurang mengembangkan check & recheck. Kurang mengembangkan akal sehat, akibatnya kita mudah tertipu. Jadi tertipulah kita.

Ini mungkin a lesson to learn, wisdom yang kita renungkan setelah seminggu kita demam berita Akidi Tio. Setelah seminggu kita dipenuhi kisah-kisah kedermawanan Akidi Tio.  Kita mulai dulu dari berita-berita mutakhir yang kita baca. Ini dari media yang kita percaya reputasinya.

Pertama dari Kompas. Ini beritanya di tanggal 2 Agustus 2021. Anak Akidi Tio ditangkap karena hoaks sumbangan Rp 2 Triliun.

Kedua, berita dari Tempo, juga kita percaya reputasi media ini. Beritanya juga terbit di tanggal 2 Agustus 2021 jam 16.49. Isi beritanya: polisi sudah melacak dana Rp 2 triliun itu tak ada.

Lalu satu lagi dari Tribun News di tanggal yang sama, di jam 17.53. Berita ini menjelaskan bahwa ternyata Polda Sumsel mengatakan ini bukan kali pertama putri Akidi Tio menyebarkan hoaks. Sudah ada record sebelumnya, putri yang sama menyebarkan hoaks.

Inilah berita yang berbalik mulai kemarin sore pada tanggal 2 Agustus 2021.

Baru minggu lalu kita mendengar begitu banyak puja dan puji mengenai tokoh ini. Tokoh Akidi Tio yang tiba-tiba muncul, tidak dikenal, dan menjadi berita yang heboh sekali.

Ia menyumbangkan Rp 2 triliun. Dan apa yang terjadi? Semua kita bahkan para pejabat negara, para akademisi, intelektual, dan senior-senior jurnalis mengatakan. “Lihatlah Indonesia memiliki kembang Akidi Tio. Ia menyumbangkan Rp 2 triliun sekali sumbangan. Ia lebih hebat dari Bill Gates, ia lebih hebat dari Jeff Bezos.”

“Dan lihatlah ia begitu tidak menonjolkan diri, rendah hati. Lihatlah rumahnya begitu sederhana. Ia menyimpan Rp 2 triliun rupiah tapi rumahnya begitu-begitu saja karena ia orangnya sangat simpel hidupnya.”

Itu yang kita katakan minggu lalu penuh bunga di sana-sini, semerbak harumnya.

Tapi sejak sore hari tanggal 2 Agustus 2021, berbaliklah itu kisah. Dari pujian menjadi kecaman. From hero to zero. Dari pahlawan menjadi terperiksa dan sangat mungkin tersangka.

Yang sekarang terjadi adalah umpatan di mana-mana dengan berbagai bahasa. Bahkan sampai ada yang mengatakan ‘makdikipe, jancuk‘. Bermacam-macam itu komentar.

Termasuk juga komentar yang sangat serius. Ada yang mengatakan  “Saudara-saudara, sangat mungkin ini anak Akidi Tio melanggar UU no. 1 tahun 1946 pasal 15 dan 16.”

“Pasal 15: Ia  menerbitkan keonaran dan kegaduhan di kalangan rakyat banyak. “

“Pasal 16: penghinaan terhadap kebangsaan dan negara.”

Jadi kita lihat, dari pahlawan menjadi mungkin terpidana hanya seminggu saja.

Alangkah cepatnya public mood kita berubah. Ini yang kalau kita ingat lagu Bimbo, ‘Cinta Kilat, Cinta Seminggu’. Seminggu saja cinta kita kepada keluarga Akidi Tio.

Pertanyaannya bukan saja apa yang salah pada keluarga Akidi Tio? Tapi juga apa yang salah pada KITA?

***

Mengapa cepat sekali kita percaya dan mengapa cepat sekali pula kita tidak percaya?  Hanya seminggu kita perlakukan satu keluarga dari pahlawan menjadi kemungkinan tersangka. Apa yang terjadi?

Kita urai dulu peristiwa ini menjadi tiga pokok bahasan.

Pertama, kisah-kisah kebaikan karena memang kita menyukai genre ini.  Dalam kisah keluarga Akidi Tio ada kisah kedermawanan. Ada seseorang memberikan sumbangan dari dana yang dipunya. Tak tanggung-tanggung pula Rp 2 triliun nilainya untuk membantu penyelesaian Covid-19.

Kita sedih hati di Indonesia ini, mereka yang terpapar Covid-19 per hari pernah mencapai 50.000 dan itu terbesar di dunia.

Alhamdulilah di era ini ada yang mau menyumbangkan Rp 2 triliun. Itu adalah kisah yang baik.

Juga kisah yang baik adalah orang yang menyumbang Rp 2 triliun ini bahkan tidak dikenal oleh para pejabat dan tokoh di tempat ia tinggal. Kesimpulannya karena tokoh ini begitu tak ingin menonjolkan diri.

Ia sudah banyak membantu namun tak ingin disebut namanya. Bantuannya anonim. Ia tak dikenal. Inilah contoh orang yang punya kapasitas tapi ia rendah hati, tidak mau menonjolkan diri.  Ini juga hal yang baik. Orang yang punya resources besar tapi rendah hati.

Yang baik lagi ketiga adalah ia punya dana Rp 2 triliun tapi lihatlah rumahnya. Rumahnya tak menggambarkan orang yang punya dana sebanyak itu. Rumahnya kelas menengah biasa saja.

Tapi kesimpulan kita saat itu adalah orang ini begitu sederhana. Ia kaya raya. Jika Rp  2 triliun saja bisa ia sumbangkan pastilah ia menyimpan dana lebih dari itu. Tapi Ia orang yang sederhana.

Tiga hal itu adalah kisah-kisah baik dan tidak mustahil terjadi.  Dalam sejarah, keajaiban itu selalu mungkin terjadi. Orang-orang yang berhati mulia itu selalu datang dan pergi.

***

Lalu sekarang mengenai hal-hal janggal yang kurang kita eksplor. Hal yang seharusnya menjadi bahan check & recheck agar kita tak mudah tertipu. Apa datanya?

Data pertama. Jika benar orang ini punya dana lebih dari Rp 2 triliun dan ia orang baik, pastilah orang baik membayar pajak.

Dengan sendirinya, orang yang punya dana di atas Rp 2 triliun akan menjadi berita dan masuk dalam list minimal 200 orang-orang pembayar pajak terbesar karena dananya lebih dari Rp 2 triliun.

Tapi namanya tak ada dalam daftar pajak terbesar. Dan kita menutup mata pada data ini.

Data kedua yang juga seharusnya kita eksplor. Mereka yang punya bisnis dan penghasilan serta kekayaan sehingga bisa menyumbang Rp 2 triliun pastilah juga mereka mengembangkan bisnis dalam skala yang besar.

Tak ada bisnis skala ecek-ecek bisa menghasilkan 2T. Dengan sendirinya, jejak bisnis besar seharusnya ada, hidup. 

Ia pasti juga punya karyawan yang minta ampun banyaknya. Apalagi jika ini terjadi pada orang-orang masa silam yang belum padat teknologi, sudah pasti padat karya.

Tapi di mana bisnisnya itu? Tak ada yang tahu. Kita mengembangkan isu pernah ada pabrik di sana atau di sini, tapi semua itu tidaklah menjadi bagian bisnis yang sangat kuat gaungnya. Apa yang  bisa membuat kita percaya bahwa orang ini memang punya dana besar?

Itulah data kedua yang seharusnya juga kita kembangkan.

Apalagi ada data ketiga yang kita dapatkan dari Polda Sumsel sendiri. Ia mengatakan bahwa ini putri yang sama pernah juga menyampaikan hoaks serupa.

Pernah juga melakukan satu tindakan yang tercatat juga diklasifikasi sebagai hoaks.

Tiga data ini tidak begitu kita eksplor mungkin karena niat baik kita pada kebajikan.

Akibatnya kita pun mudah tertipu dan mudah sekali kita membuat orang menjadi pahlawan dan seminggu kemudian menjadi pesakitan. Terlalu mudah kita kerjakan itu.

***

Hal penting lain yang harus kita eksplor adalah tokoh-tokoh masyarakat.  Kita mencintai dan harus menjaga Gubernur kita, Kapolda kita. Kita juga menginginkan akademisi kita juga dihormati. Tapi mereka pun harus mengembangkan filter untuk tidak mudah percaya.

Gubernur harus punya tim yang jangan dulu bertindak sebelum tim ini mengatakan “Pak Gubernur aman, sudah kita cek, ini benar beritanya, ini benar peristiwanya, ini mungkin benar tindakannya.”

Jadi Pak Gubernur tidak menjadi saksi atas penyerahan dana Rp 2T yang kemudian diketahui hoaks belaka.

Perlu saya katakan di sini Prof. Dr. dr. Hadi Darmawan yang kita hormati. Ini orang tua yang kita tahu jasanya, kita hormati. Tapi kali ini ia pun kurang mengembangkan kultur check & recheck.

Terlalu cepat ia percaya pada orang yang ingin memberikan dana 2T itu tanpa dulu ia check. Dan terlalu cepat juga ia menyakinkan pejabat publik untuk menerima dana itu.

Profesor ini terlalu cepat meyakinkan publik luas.Bahkan  dalam wawancaranya dengan Helmi Yahya yang sempat juga saya tonton, Helmi bertanya, “Profesor apakah dana ini sudah diberikan?” Dan ia menjawab “Ya sudah. Sudah diberikan.”

Terlalu cepat ia katakan itu. Masalahnya banyak orang percaya padanya. Informasinya pun menyebar dan dipercayai. Ternyata itu salah.

Kini ada berita yang mengatakan bahwa sang Prof. Dr. dr Hadi Darmawan mengakui ia sendiri tak tahu persis apakah yang bersangkutan punya dana sebanyak Rp 2T.

Inilah a lesson to learn yang kita pelajari pada masyarakat kita. Betapa kita kurang mengembangkan prinsip check & recheck. Betapa kita terlalu mengandalkan prasangka baik.

Prasangka baik adalah hal luhur tapi prasangka baik harus juga disertai kultur check & recheck.

                                                          ***

Pelajaran lain apa dari kasus ini, yang lebih besar lagi?  Kita masih hidup dalam kultur yang terlalu mencintai dongeng dan kurang mencintai kultur sains.

Dengan dongeng, kita begitu mudah percaya pada kisah kebajikan.  Memang ada  moral story yang asyik di balik dongeng. Tapi kita tahu itu dongeng, tak masuk akal.

Kultur sains adalah kultur di mana sebelum kita meyakini sesuatu, ia harus lewat dulu pada suatu proses sistematik: sikap skeptis.

Ini sikap yang ingin menguji dulu seberapa benar informasi ini. Maka disiapkan langkah-langkah sistematis sebagai filter.

Kasus Akidi Tio ini adalah gambaran dari kultur kita yang terlalu mencintai dongeng-dongeng tapi kurang mencintai kultur sains. [ ]

Sumber : orasi Youtube Denny JA

Back to top button