Crispy

Emrus Sihombing: WP KPK Baiknya Mundur

JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu telah melantik pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru untuk periode 2019-2023, dengan Ketua yakni Firli Bahuri.

Meski Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) sempat melakukan manuver politik dengan mewacanakan menolak Calon Pimpinan (Capim) baru, maka suka atau tidak kini harus menerima kenyataan usai Jokowi melantik lima Pimpinan KPK tersebut.

“Suka tidak suka, pegawai tersebut harus menerimanya dengan manajemen wajah yang dipaksakan, sebagai pertanda gejala ‘kehilangan muka’,” ujar Pengamat Komunikasi Politik, Emrus Sihombing di Jakarta, Senin (23/12/2019).

Dalam keterangan tertulisnya, Emrus mengatakan, realitas hukum mewajibkan semua pegawai atau karyawan KPK harus tunduk tanpa kecuali. Walau tindakan itu sebenarnya, di luar kewenangan WPK KPK sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang harusnya berada pada posisi netral.

“Mereka harus mempunyai tanggung jawab moral atas tindakan komunikasi mewacanakan penolakan tersebut. Sekalipun boleh jadi dengan minta maaf,” katanya.

Sebagai ksatria, lanjut Emrus, ada dua pilihan yakni move on atau mundur dari pegawai KPK. “Mundur jauh lebih produktif, baik dari aspek karyawan itu sendiri dan buat KPK sebagai institusi pemberantasan korupsi di negeri,” kata dia.

Dengan mundur, para karyawan bisa bersuara lantang di ruang publik seperti yang diwacanakan menolak capim KPK yang baru. Bahkan dapat membentuk organisasi atau wadah baru. Sehingga bisa mengawasi program dan kinerja pimpinan KPK serta Dewan Pengawas KPK (Dewas KPK) yang baru.

” Tindakan ini, menurut hemat saya, jauh lebih elegan daripada tindakan move on,” katanya.

Akan tetapi jika para karyawan dan pegawai memilih move on, maka bakal ‘kehilangan muka’. “Mereka amat sulit menegakkan kepalanya ketika berinteraksi dengan sesama karyawan, apalagi berhadapan lima pimpinan KPK yang baru,” ujar Emrus.

Tak hanya itu, para ‘penentang’ tersebut sudah tak bisa tegak dan lantang lagi berbicara di ruang publik secara terbuka, seperti yang dilakukan ketika mewacanakan penolakan terhadap capim KPK.

“Derita kedua. Ibarat masuk ke kandang harimau, lanjut ke kandang buaya. Menjadi ‘pekerja patuh’. Mereka seperti ayam jago kehilangan taji atau ibarat singa ompong. Sudah sulit bagi mereka bersuara nyaring,” katanya.

Dengan kondisi ini, posisi tawar mereka di ruang publik dan di internal KPK sudah “terjun bebas” ke paling dasar. Karena itu, bakal selalu tertunduk dalam sebuah pertarungan gagasan, ide, dan argumentasi di KPK.

“Jika tetap bertahan di KPK, meraka tampaknya tidak lebih hanya sebagai pelaksana semata dari si pemberi “tugas”. Oleh karena itu, menurut saya, lebih baik mundur dari KPK,” ujar dia. [Fan]

Back to top button