Sebagai seorang pemegang prinsip yang teguh, dan pemberani, Imam tidak mengacuhkan larangan gubernur itu. Akibatnya, ia dijatuhi hukuman 70 dera yang dilibaskan ke punggungnya yang telanjang. Dengan baju berlumur darah ia diarak di atas unta di sepanjang jalan Madinah.
JERNIH– Dalam kunjungannya ke Madinah, Khalifah Abbasiyah Harun ar-Rasyid yang ternama itu berhasrat mengikuti ceramah “Muwatta” (himpunan Hadis) Imam Malik.
Ia mengutus orang memanggil Imam, dan sang Imam memberi nasihat: “Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi pelajaran Hadis. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tidak seorang pun yang akan menaruh hormat lagi. Manusialah yang mencari ilmu, sedangkan ilmu tidak akan mencari manusia.”
Akhirnya, Khalifah datang mendengarkan ceramah Imam Malik, yang dihadiri oleh seluruh lapisan masyarakat itu.
Harun menghendaki agar orang banyak itu meninggalkan ruangan, tetapi Imam Malik menentang: “Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.” Maka terpaksalah Khalifah yang agung itu beserta kedua putranya duduk berdampingan dengan rakyat biasa, dan dengan sabar mendengarkan uraian hadits Imam yang cemerlang itu.
Madinah, pusat pendidikan Islam pada masa itu, mengharumkan sejumlah nama cendekiawan agung. Satu di antara mereka ialah Imam Malik, ahli Hadis yang besar, yang mewariskan jejak yang tidak terhapus dari khazanah pengetahuan Arab. “Muwatta”-nya mendapat tempat yang terhormat di antara himpunan Hadis yang langka.
Sebagai guru yang dinilai luar biasa dan pendiri Madzhab Fiqh Maliki, ia menempati kedudukan yang khas dalam sejarah Islam, dan mempengaruhi generasi Islam waktu itu, sampai kepada generasi-generasi berikutnya, terutama di Afrika dan Spanyol.
Dengan kemauannya yang keras, berjiwa gagah berani, pantang mundur, dan tidak mengenal takut walaupun terhadap penguasa tertinggi, Imam Malik termasuk kelompok Islam awal yang hidupnya selalu laksana mercu suar bagi mereka yang berjuang mewujudkan kebajikan yang lebih mulia dan lebih tinggi di dunia.
Malik ibn Anas datang dari keluarga Arab yang terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah kedatangan Islam. Tanah leluhurnya ialah Yaman, tetapi setelah nenek moyangnya menganut agama Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir adalah anggota keluarga pertama mereka yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H.
Para ahli tarikh berbeda pendapat mengenai tahun kelahiran Imam tersebut. Ibn Khalikan menyebut 95 H, tetapi yang umum diterima adalah 93 H, dan ia 13 tahun lebih muda dari rekannya yang termasyhur, Imam Abu Hanifa. Imam Malik berguru di Madinah, pusat pendidikan Kerajaan Islam dan tempat bermukim sebagian besar sahabat Nabi. Karena itu ia tidak perlu meninggalkan Madinah untuk menimba ilmu. Kakeknya, serta ayah dan pamannya semua ahli hadits, dan mereka melatih Imam muda itu dalam ilmu hadis dan cabang ilmu lainnya. Cendekiawan ternama dan termasyhur lain yang mendidik dia adalah Imam Jafar Sadiq, Muhammad bin Syahab az-Zahri, Yahya bin Saeeb, dan Rabi Rayi.
Tanpa putus-putusnya Imam Malik mengabdi di bidang pendidikan selama 62 tahun. Ia wafat pada 11 Rabiulawal 179 H pada usia 86. Mengajar, tugas-tugas yang mulia itu, ditekuni oleh beberapa cendekiawan agung dunia termasuk Plato, Ghazali, Ibn Khaldun, Imam Abu Hanifa, dan Imam Malik. Reputasi tinggi Imam Malik sebagai ilmuwan dan guru menarik rakyat dari keempat penjuru kerajaan Islam yang luas itu.
Agaknya, tidak ada guru lain yang pernah menghasilkan ilmuwan berbakat yang sampai ke puncak sukses berbagai bidang tugas. Mereka yang beruntung pernah mendapat pelajaran dari dia, antara lain, ialah para khalifah seperti Mansur, Mahdi, Hadi Harun, dan Ma’mun. Ahli hukum seperti Imam Abu Hanifa, Imam Syafi’i, Sufyan Suri, dan Qadi Muhammad Yusuf, ilmuwan seperti Ibn Syahab Zahri dan Yahya bin Saeed Ansari, serta sufi seperti Ibrahim bin Adham, Dhun-Nun, dan Muhammad bin Fazil bin Abbas.
Menurut sumber tarikh yang dapat dipercaya, jumlah muridnya yang ternama berjumlah lebih dari 1.300 orang. Ciri ajarannya ialah ketenteraman, disiplin, dan rasa hormat yang tinggi dari murid terhadap guru. Tidak pernah disiplin mengendur bila ia sedang memberi kuliah hadis.
Pernah Khalifah Abbasiah, Mansur, membahas hadits Nabi dengan nada agak keras. Sang Imam marah: “Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi,” katanya. Ia juga menolak mengajar hadis di kediaman Khalifah.
Imam itu mewariskan lebih dari selusin karya tulis, termasuk “Muwatta” yang termasyhur itu, kitab yang dianggap terpenting setelah Quran. Risalahnya menelaah bidang agama, etika, dan fiqh Islam. Dunia mengakui “Muwatta” sebagai kitab penting perpustakaan Islam setelah Quran. Menutut Syah Waliullah, kitab Imam itu merupakan himpunan hadis Nabi yang paling sahih, dipilih dengan penelitian sumber yang amat cermat. Ia menyusun kitab itu setelah mengadakan pembuktian kebenaran dan penyaringan yang saksama. Perhatian utamanya ialah rawi,dan perawi yang tahan uji, dan ia sungguh-sungguh berusaha memastikan tidak memuat rawi palsu.
Semula “Muwatta” memuat 10.000 hadis, tetapi dalam edisi pembetulannya Imam Malik mengurangi jumlah itu sampai hanya 1.720. Kitab itu telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan.
Sebagai ulama hadis, ia menempati kedudukan yang khas di antara bintang-bintang ilmuwan berbakat seperti penghimpun hadis terkenal Imam Bukhari dan Muslim. Diriwayatkan bahwa ia selalu menjauhi pergaulan dengan bukan cendekiawan. Menurut Imam Hanbal, dialah penghimpun satu-satunya yang mendapat gelar kehormatan tidak pernah menyiarkan hadis sebelum ia sendiri yakin dan puas. Ia begitu dihargai para ilmuwan lainnya, sehingga ketika pada suatu kali orang bertanya pada Iman Hanbal mengenai seorang perawi, Imam Hanbal menjawab, perawi itu pastilah dapat dipercaya, karena Imam Malik telah menyiarkan rawinya.
Imam Malik amat menderita ketika menuntut ilmu. Seperti Imam Bukhari, yang pernah harus hidup selama tiga hari dari daun-daunan dan akar, ia pun terpaksa menjual tiang rumahnya untuk melunasi ongkos pendidikan.
Ia sering mengatakan, seseorang tidak akan mencapai puncak kemenangan intelektual kecuali sesudah menghadapi kemiskinan. Kemiskinan ialah ujian hakiki manusia. Ia membaktikan kekuatan tersembunyi dalam dirinya, kekuatan yang dapat mengatasi semua kesulitan.
Para ahli hadis, ilmuwan sezaman dan sesudahnya amat memuji hasil intelektual yang dicapainya. Abdur Rahman ibn Mahdi, umpamanya, mengatakan tak ada ahli hadis yang lebih besar daripada Imam Malik di dunia ini. Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Syafi’i menyanjungnya sebagai ahli hadis. Ia juga seorang ahli hukum. Lebih dari enam puluh tahun ia memberi fatwa di Madinah.
Imam Malik masyhur oleh ketulusan dan kesalehannya. Ia selalu bertindak sesuai dengan keyakinannya. Ancaman atau kemurahan hati tidak akan dapat membelokkan dia dari jalan yang lurus. Sebagai anggota kelompok yang gemilang pada masa awal Islam, ia tak dapat dibeli, dan dengan semangat keberaniannya selalu membuktikan bahwa ia adalah bintang pembimbing bagi para pejuang kemerdekaan.
Ketika ia berumur 25 tahun, kekhalifan berada di tangan Khalifah Abbasiyah, Mansur, seorang teman yang memandang tinggi kecendekiawanannya. Tetapi, Imam Malik sendiri lebih senang bila Fatimiyyin Nafs Zakiya yang menjadi khalifah. Sumpah setia rakyat kepada Mansur dinyatakannya tidak mengikat, karena dilakukan dengan paksaan. Ia mengutip hadis Nabi yang menyatakan ketidakabsahan perceraian paksa.
Ketika Jafar, kemenakan Mansur, diangkat menjadi gubernur baru Madinah, ia membujuk penduduk kota suci itu mengulang sumpah setia mereka kepada Mansur. Ia melarang Imam Malik menyiarkan fatwanya tentang ketidakabsahan perceraian paksa.
Sebagai seorang pemegang prinsip yang teguh, dan pemberani, Imam tidak mengacuhkan larangan gubernur itu. Akibatnya, ia dijatuhi hukuman 70 dera yang dilibaskan ke punggungnya yang telanjang. Dengan baju berlumur darah ia diarak di atas unta di sepanjang jalan Madinah.
Namun, kebuasan gubernur ini tetap gagal menggetarkan hati dan melemahkan hati Imam muda itu. Mendengar kejadian ini, Khalifah Mansyur segera menghukum gubernur Madinah itu, dan menyuruh ia meminta maaf kepada Imam Malik.
Khalifah Mansur pernah mengirim uang tiga ribu dinar untuk biaya perjalanan Imam Malik ke Baghdad, tetapi ja mengembalikan uang itu dan menolak meninggalkan Madinah, kota makam Nabi.
Pada 174 H, khalifah Harun ar-Rasyid tiba di Madinah dengan kedua putranya, Amin dan Ma’mun. Ia memanggil Imam menghadap ke balairung untuk menceramahkan “Muwatta”. Imam datang di balairung, tetapi menolak memberikan ceramah.
Ia berkata: “Rasyid, hadis ialah pelajaran yang dihormati dan dijunjung tinggi leluhur Anda. Bila Anda tidak menghormatinya, orang lain pun demikian juga.” Alasan penolakan itu diterima Khalifah, dan baginda bersama kedua putranya bersedia datang ke tempat Imam Malik untuk mengikuti kuliah Imam tersebut.
Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia Islam. Pernah semua orang panik lari lintang-pukang ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang memasuki Masjid Kufa. Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak dari tempatnya.
Mencium tangan Khalifah apabila menghadap di balairung sudah menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifa yang mengunjunginya. Kaum Muslimin di Arab Barat hanya menganut Madzhab Maliki. [ ]
Dari “Hundred Great Muslims”, Jamil Ahmad, Ferozsons Ltd, Lahore, Pakistan, 1984