Catatan Akhir Tahun:Tantangan Indonesia 2023: Ketimpangan Sosial dan Kemiskinan [Seri-2]
Berbagai UU, seperti Omnibus Law Ciptaker, dan kebijakan lainnya, seperti kontrol atas upah buruh murah, pemberian lahan-lahan secara obral terhadap investor asing, dan lainnya terus berlangsung. Dalam sistem ini, tugas negara atau penyelenggara negara harus memastikan kemanjaan pemilik modal itu secara maksimal. Jika ada yang menghalangi kemanjaan itu, maka mereka harus ditumpas.
Oleh : Syahganda Nainggolan
JERNIH– Saya lanjutkan pembahasan kita tentang tujuh tantangan ke depan. Sebelumnya sudah saya paparkan tantangan pertama, soal demokrasi. Hari ini soal ketimpangan sosial baik antar daerah maupun lapisan sosial kita.
Jokowi baru saja membanggakan perekonomian Maluku Utara yang tumbuh 27 persen pada kuartal ke-3/2022 dan inflasi rendah 3,3 persen di hadapan peserta Rakornas Investasi di Jakarta, 30 November lalu. Menurut Jokowi ini adalah potret pertumbuhan terhebat di dunia. Indonesia harus mempertahankan postur ekonomi Maluku Utara seperti itu. Pertanyaannya, apakah kebanggaan Jokowi itu mewakili kebanggaan rakyat Indonesia? Khususnya rakyat Maluku Utara? Apakah benar pertumbuhan itu bermanfaat buat rakyat di sana?
Bossman Mardigu, dalam Channel You Tube-nya, 27 Oktober 2022, maupun dalam kutipan yang diberitakan Inilah.com, 9 Desember dengan judul “Jor-joran Tam-bang Nikel di Maluku Utara, Cina Untung Rp50 Triliun Setahun”, menunjukkan omongan Jokowi itu hanya isapan jempol belaka. Bossman yang mengunjungi Desa Lelilef, Halmahera Tengah, tempat beroperasinya tambang nikel milik Tsingshan Industry, pada awal Oktober lalu, menghitung setiap tahunnya kekayaan Maluku Utara itu di bawa ke Cina sebesar Rp35 Triliun–Rp 50 Triliun. Dan itu sudah berlangsung setidaknya tiga tahun belakangan ini.
Sebaliknya, Bossman tidak melihat adanya kemajuan Desa Lelilef tersebut dibandingkan ketika dia ke sana sepuluh tahun lalu. Bahkan, menurutnya lingkungan di sana akan rusak setelah kekayaan alamnya dikeruk habis nanti. Dr. Mochtar Adam, cendikiawan setempat, dalam Porostimur.com, 5 Desember lalu, di bawah judul “Jokowi Banggakan Ekonomi Malut 27 Persen, Tapi China Untung Besar”, juga membantah klaim Jokowi yang mengaitkan pertumbuhan dengan kesejahteraan rakyat di sana. Menurutnya rakyat di sana tetap saja miskin. Terakhir sekali, kemarin, Gubernur Maluku Utara sendiri yang memberikan pernyataan bahwa pertumbuhan ekonomi Maluku Utara yang dibanggakan Jokowi itu tidak dinikmati rakyat. Bahkan pemerintah di sana tidak mampu memperbaiki lingkungan yang rusak (CNN Indonesia.com, 22 Desember 2022).
Kekayaan alam yang dikeruk perusahaan Cina, Tsingshan, dan mitranya secara besar-besaran ini memang tidak menjadi bagian Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menghitung koefisien gini dan inflasi yang berbasis pengeluaran. Karena BPS tidak menghitung Gini ratio berbasis penghasilan dan juga BPS tidak menghitung uang yang dibawa keluar. Coba kita lihat situs BPS Halmahera Barat, Maluku Utara membuat uraian sebagai berikut “Distribusi pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terbawah di Provinsi Maluku Utara pada Maret 2022 yaitu sebesar 23,04 persen dan termasuk pada kategori ketimpangan rendah.”
Benarkah ketimpangan rendah? Bisakah ketimpangan itu diukur dari potensi kekayaan rakyat Malut jika uang hasil tambang itu dibagikan kepada mereka versus fakta saat ini? Jika kita memotret Index Pembangunan Manusia, sejak tahun 2020 sampai 2022, semua kabupaten di Maluku Utara, kecuali Ternate, jauh di bawah IPM rata-rata nasional. Halmahera Tengah yang dipotret Mardigu IPM-nya 66, sedangkan IPM nasional 72,9. Rata-rata lama pendidikan/sekolah masyarakat Malut juga rendah, yakni sembilan tahun, alias hanya tamat SMP, kecuali di Ternate mencapai 12, atau tamat SMA, bahkan selebihnya banyak yang hanya tamat SD.
Pengeluaran per kapita yang dirilis BPS juga tidak menunjukkan kesejahteraan, yakni sebesar Rp 8.212.000 per kapita per tahun untuk Halmahera Tengah, begitu juga kabupaten lainnya di luar Ternate. Bahkan, mayoritas hanya di kisaran Rp 6,5 juta–Rp 7,5 juta saja. Bukankah akan sangat timpang jika kita melihat puluhan triliun uang dibawa dari Maluku Utara sedangkan rakyatnya tidak bertambah kekayaannya?
Lalu bagaimana kita melihat ketimpangan di wilayah lainnya? Fenomena kekayaan alam Indonesia yang dikeruk segelintir elit oligarki yang bersekongkol dengan penguasa, atau bahkan oligarki itu sendiri menjadi penguasa, telah menjadi pembicaraan umum hampir delapan tahun belakangan ini. Penguasa tambang batubara, emas, bauksit dan tambang-tambang lainnya, lalu penguasa kebun sawit, tebu dan perkebunan-perkebunan berskala raksasa lainnya, serta oil dan gas, hutan dan perikanan, di luar bahasan Nikel di atas, juga merupakan pengekploitasi kekayaan alam nasional yang menguntungkan sebagian kecil orang, sehingga membuat ketimpangan ekonomi di Indonesia semakin lama semakin menjulang tinggi. Potret ini mirip dengan potret perekonomian nasional ketika VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) dan pemerintahan kolonial Belanda menjajah Indonesia dahulu, rakyat cuma menjadi penonton.
Keluhan lainnya, selain dari Maluku Utara, baru-baru ini, telah kita saksikan dari Bupati Meranti, Riau, yang merasa bagi hasil eksplotasi minyak bumi tidak menguntungkan mereka. Menurutnya, Kementerian Keuangan adalah sarang iblis dan setan, yang memiskinkan rakyat di sana. Begitu juga dari Wakil Ketua DPRD Sintang, Kalbar, terkait penggunaan lahan sawit yang tidak menguntungkan rakyat di sana.
Ketika krisis minyak goreng terjadi awal tahun ini, perusahaan-perusahaan sawit yang mengontrol kebutuhan pokok minyak goreng terbukti menjual hampir semua produknya ke luar negeri, sehingga rakyat Indonesia menderita kesulitan mendapatkan minyak goreng. Ini sebuah ironi ketika Indonesia merupakan produsen terbesar di dunia. Pengusaha-pengusaha itu hanya bermotif keuntungan pribadi semata, tidak ada idelisme maupun nasionalisme.
Pemerintah memang marah dan berjanji akan melakukan audit. Namun, ketika Kejaksaan Agung menangkapi mafia minyak goreng tersebut, semua terkaget-kaget, karena persoalan ini terhubung dengan petinggi negara. Setidaknya seorang pejabat tinggi selevel direktur jenderal, ikut ditangkap.
Ketika pemerintah berusaha melacak keberadaan perusahaan-perusahaan sawit, pemerintah menyatakan kaget karena banyak sekali perusahaan itu berkantor pusat di luar negeri. Dalam berita RMOL, 28/5/22, dengan judul “Luhut Kaget Banyak Perusahaan Sawit Berkantor di Luar Negeri, Anthony Budiawan; Koq Baru Tahu?”, pemerintah menyatakan bahwa perusahaan ini mengambil keuntungan dari bumi Indonesia, tapi membayar pajak di negara lain.
Namun, sampai saat ini perkembangan audit itu belum jelas hasilnya. Pada berita bpkb.go.id, 31/10/22, dengan judul “Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Timur Hadiri Rapat Pansus Plasma di DPRD Kab Kutai Barat”, isu audit itu masih berlangsung. Jika pemerintah gagal mengendalikan kelompok-kelompok pengusaha sawit yang selalu mementingkan bisnisnya ketimbang kesejahteraan rakyat, maka ini merupakan cermin bagi kelompok usaha atau oligarki lainnya, di mana pemerintah tidak mungkin mampu mengendalikan mereka untuk kepentingan nasional. Pertanyaan lalu muncul, mengapa mereka gagal mengendalikan kelompok pengusaha yang mengkhianati rakyat?
Tantangan nasional berupa ketimpangan dan kemiskinan ini berakar pada sistem kapitalisme yang terus berkembang pesat di Indonesia. Sistem ini berpusat pada penggandaan uang alias riba. Pembangunan atau projek hanya bisa berkembang dalam pertimbangan hitungan “return to capital” atau di mana uang bisa diputar dengan untung yang lebih banyak. Sistem kapitalisme ini membuat negara menjadi “kuda troya” bagi keuntungan segelintir orang.
Berbagai UU, seperti Omnibus Law Ciptaker, dan kebijakan lainnya, seperti kontrol atas upah buruh murah, pemberian lahan-lahan secara obral terhadap investor asing, dan lainnya terus berlangsung. Dalam sistem ini, tugas negara atau penyelenggara negara harus memastikan kemanjaan pemilik modal itu secara maksimal. Jika ada yang menghalangi kemanjaan itu, maka mereka harus ditumpas.
Bedanya kapitalis barat di masa lalu versus kapitalis Peking saat ini, yang pertama menyandera bangsa-bangsa miskin lebih pada bunga uang yang tinggi, sedangkan kapitalis Cina membawa buruhnya dari RRC menjadi pekerja kasar ke Indonesia, yang menyisakan sedikit kerjaan bagi pekerja pribumi lokal.
Ketimpangan dan kemiskinan yang terus melebar semakin parah dengan adanya pandemi COVID-19 selama dua tahun ini. Akibat pandemi, jutaan orang kehilangan pekerjaan dan jutaan usaha mengalami kebangkrutan. Namun, pandemi ini juga dapat menjadi refleksi jika pandemi itu sebuah keharusan bagi kita untuk belajar mencintai kehidupan dan solidaritas. Belajar mencintai alam dan Tuhan YME.
Refleksi pertama yang harus dilakukan adalah apakah bangsa ini bisa menghargai pasal 33 UUD 1945, yakni seluruh kekayaan alam adalah milik negara? Refleksi kedua adalah apakah sila ke-5 Pancasila itu, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dapat kita mulai canangkan?
Refleksi pertama ini misalnya penting saya uraikan sebagai berikut. Beberapa waktu lalu saya ketemu dengan pimpinan perusahaan Batubara terbesar di Indonesia. Kebetulan teman kuliah di ITB. Dengan santainya dia mengatakan telah mensubsidi perusahan listrik negara (PLN), karena memberikan harga batubara murah ke perusahaan itu. Dia menghitung subsidi yang dia berikan itu triliunan rupiah.
Tapi, menurut saya jika pasal 33 UUD 45 diberlakukan, maka semua tambang yang dia miliki adalah milik negara. Kepemilikan perusahaan dia di tambang itu hanya bersifat derivatif. Sehingga konsep DMO (Domestic Market Obligation) dengan harga pemerintah itu adalah hak rakyat yang memang begitu adanya, bukan kebaikan hati pengusaha. Seandainya negara benar-benar menguasai tambang batubara, misalnya, maka perusahaan pemilik tambang yang ada selama ini, dapat difungsikan hanya sebatas kontraktor saja, dan itu pun untuk bisnis UMKM dan skala menengah.
Konsep penguasaan negara ini harus tegas. Belakangan ini “windfall” yang dibanggakan Sri Mulayani dari ekspor batubara tidaklah banyak diperoleh negara sebagai inkom. Padahal Faisal Basri sudah menghitung penjualan batubara itu mencapai seribuan triliun rupiah. Refleksi ini berlaku juga untuk semua bisnis ekstraktif, yang tidak memerlukan sentuhan teknologi.
Refleksi kedua adalah konsep pembangunan ke depan. Professor Stiglitz, Amartya Sen dan Fittousi, bersama puluhan profesor lainnya di Prancis, pada tahun 2008 telah mengkritik konsep pembangunan yang hanya berpusat pada ukuran GDP. Mereka menekankan pentingnya ukuran kualitas hidup, yakni yang menekankan keseimbangan kesejahteraan (share prosperity) dan keberlanjutan (menyisakan kekayaan alam untuk generasi anak cucu). Mereka juga mengkritik BPS (Biro Pusat Statistik) negara-negara di dunia yang kurang memasukkan unsur kualitatif dalam memotret kesejahteraan.
Jika kita ingin kembali ke sila ke-5 Pancasila, maka kita harus meninggalkan praktek-praktek kapitalisme itu. Namun, jika mampu. Jalan tengahnya adalah melakukan anjuran Sitglitz dkk. Itu bisa dilakukan dengan memilih dan memilih konsep pertumbuhan yang dibangga-banggakan Jokowi di atas. Pertama pertumbuhan, lalu pemeratan (Growth than equity); kedua, pertumbuhan dan pemerataan (Growth with equity); dan ketiga, pertumbuhan melalui pemerataan (Growth through equity).
Untuk pembangunan berbasis ekstraktif, seperti batubara, bauksit, emas, kebun sawit, dll, dapat dilakukan dengan Growth through equity. Faham sosialisme ataupun socialistic Islamisme mulai diberlakukan. Atau seperti anjuran Bung Hatta, mengutamakan koperasi. Jadi ke depan pemilik tambang emas, batubara, bauksit, nikel dll, diserahkan kepada koperasi saja. Maka, kemiskinan dan ketimpangan akan segera menurun.
Untuk bisnis atau pembangunan berbasis teknologi tinggi, bisa dilakukan dengan konsep “Growth than Equity”. Konsep mobil listrik, misalkan, pemerintah dapat menyerahkan hal itu murni pada swasta. Di antara ekstrem ini dapat dipilih jalan Growth with equity.
Namun refleksi ini susah dilakukan jika segelintir manusia rakus ingin mempertahankan kontrol kekayaannya di Indonesia. Oleh karenanya, tugas rakyat adalah menjadikan orang-orang rakus sebagai musuh bersama rakyat Indonesia. Semua kekuatan rakyat harus bersatu padu mengatur ulang kepentingan rakyat Indonesia, keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Bernegara, sekali lagi, seharusnya memberi kesejahteraan bersama (share properity) bukan semakin memperlebar kesenjangan sosial. [ ]
* Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle