SolilokuiVeritas

Obsesi yang Hegemonik : Catatan untuk Prof. Thomas Jamaluddin

Memaksakan penyatuan Islam dari keragaman itu hanya akan cenderung memunculkan pertanyaan: satu Islam menurut siapa. Di situlah, obsesi pada persatuan sering terjatuh pada penindasan; yang kuat dan besar menghegemoni yang kecil dan minoritas. Kelompok yang masih ingin berbeda karena keyakinannya akan dianggap menyempal, sesat, tidak taat atau “tidak suka persatuan”. Obsesi pada persatuan akan melestarikan hegemoni dan bahkan memicu penindasan.

Oleh   :  Farid Gaban*

JERNIH–Menurut saya, yang problematik dari pandangan Prof. Thomas Djamaluddin bukanlah pada penilaiannya (yang negatif) terhadap metode hilal Muhammadiyah, yang belakangan memicu ujaran kebencian mau membunuh warga Muhammadiyah.

Yang paling problematik adalah obsesinya pada “persatuan Islam” dan memanfaatkan kekuasaan negara untuk menyamakan paham/keyakinan masyarakat.

Farid Gaban

Dalam permintaan maafnya berkaitan dengan kontroversi belakangan ini, Prof. Thomas masih terus membuat dalih bahwa motifnya mengkritik Muhammadiyah adalah demi “menyatukan umat” lewat penyamaan penentuan kalender Islam yang difasilitasi pemerintah. Dalam pandangan Prof. Thomas, Muhammadiyah sudah menjadi kelompok mufaraqah (memisahkan diri dari umat) karena egonya untuk tetap memakai metode wujudul hilal yang sudah usang.

Kita sudah sering mendengar klaim “Islam itu satu” atau juga mendengar ajakan “umat Islam harus bersatu”. Tapi, menurut saya, ini harus dimaknai sebagai “satu dalam kebhinnekaan” — sama halnya dengan “Bhinneka Tunggal Ika” dalam konsep kebangsaan.

Persatuan itu bukan peleburan. Bukan menghilangkan identitas atau ideologi/paham/keyakinan masing-masing. Menurut Bung Hatta, salah satu founding fathers kita, persatuan hanya mungkin diwujudkan dalam taktis. Bukan di level ideologis/keyakinan. Jika dipaksakan, upaya menyamakan ideologi/paham/keyakinan, justru sangat mungkin memicu konflik dan perpecahan.

Dalam sejarah Islam, kita tahu ada beragam mazhab dan aliran pemikiran; belum lagi ratusan ormas dan kelompok tarekat di seluruh dunia. Mereka punya justifiksi masing-masing untuk berbeda. Perbedaan itu bukan untuk disamakan, tapi ditoleransi.

Memaksakan penyatuan Islam dari keragaman itu hanya akan cenderung memunculkan pertanyaan: satu Islam menurut siapa.

Di situlah, obsesi pada persatuan sering terjatuh pada penindasan; yang kuat dan besar menghegemoni yang kecil dan minoritas. Kelompok yang masih ingin berbeda karena keyakinannya akan dianggap menyempal, sesat, tidak taat atau “tidak suka persatuan”. Obsesi pada persatuan akan melestarikan hegemoni dan bahkan memicu penindasan.

Saya tidak menafikan kemungkinan bahwa umat Islam bisa bersatu. Tapi, persatuan itu, seperti kata Bung Hatta, diwujudkan dalam kerja sama taktis.

Yang dimaksud taktis adalah bahwa orang-orang yang berbeda ideologi, paham atau keyakinan tetap bisa bekerjasama untuk tujuan tertentu tanpa menghilangkan masing-masing identitas.

Di level internasional, kita sudah lama mendengar ada Organisasi Konferensi Islam atau Rabithah Alam Al Islami (Liga Muslim Sedunia). Keduanya berisi negara-negara Islam yang warganya menganut beragam mazhab. Di Indonesia kita juga mengenal Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang berisikan ulama dari berbagai ormas seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan Al Iryad.

Sebagai semacam federasi, MUI bisa menyatukan umat Islam dari berbagai ormas (meski minus Ahmadiyah dan Syiah) untuk memperjuangkan kepentingan bersama.

Problem pada MUI adalah bahwa dia bukan lembaga genuine yang muncul dari bawah secara sukarela. MUI dibentuk oleh Orde Baru untuk “menjinakkan” umat Islam dalam konteks politik. Dan MUI justru menjadi makin problematik ketika mencoba menjadi lembaga fatwa. Sebagian besar fatwa cenderung hanya untuk menjustifikasi keinginan pemerintah. Atau cenderung memenuhi hasrat kelompok mayoritas untuk menilai sesat minoritas (Ahmadiyah dan Syiah) serta memakai tangan pemerintah, cq Kejaksaan Agung, untuk menindas mereka.

Setiap ormas, baik NU maupun Muhammadiyah, telah memiliki majelis fatwa sendiri-sendiri, yang fatwanya bisa berbeda-beda. Dan akan terus berbeda.

Sidang isbat (penentuan kalender hari raya) adalah salah satu produk model berpikir MUI, penyamaan kalender yang difasilitasi pemerintah. Dan toh Muhammadiyah tetap beberapa kali berbeda tanpa menimbulkan masalah.

Kasus MUI tadi menunjukkan bahwa model penyatuan yang dipaksakan justru akan memicu perpecahan. Persatuan hanya bisa dilakukan secara sukarela dengan masing-masing pihak dihormati hak dan identitasnya.

Prof. Thomas ingin melestarikan model hegemoni pemerintah dalam urusan umat Islam.

Saya tidak menolak sama sekali kajian kritis ilmiah terhadap paham/keyakinan tertentu. Tapi, itu hanya bisa dilakukan dalam atmosfir yang setara. Prof. Thomas menduduki jabatan di pemerintahan. Dan itu jelas tidak setara. Itu artinya hegemonik.

Penyamaan paham di tingkat mazhab juga tetap bisa dilakukan. Ulama-ulama yang berbeda mazhab/aliran sepakat pada urusan-urusan tertentu. Tapi, itu hanya bisa diwujudkan secara sukarela. Bukan paksaan.

Mengajak beragam ormas Islam untuk bersatu dan bekerja sama tentu suatu hal yang bagus. Tapi, hanya bisa diwujudkan dalam hal-hal taktis dan bersifat sukarela.

Dan alangkah baiknya jika yang disebut persatuan taktis tadi menyangkut soal kebangsaan lain yang lebih urgen dari hanya penyamaan kalender shalat Ied: menghapus kemiskinan, memajukan keadilan sosial, mencegah korupsi, atau melawan penindasan dan diskriminasi. [  ]

*Farid Gaban, wartawan senior. Pernah bekerja di Majalah TEMPO, Majalah Editor, Republika, Majalah Ummat, dan sebagainya.

Check Also
Close
Back to top button