SolilokuiVeritas

Lawatan Presiden Prabowo ke Tiongkok dan Balance of Power

Benar, kesulitan ekonomi di satu satu sisi diperkirakan bakal memangkas sejumlah insentif ekonomi AS kepada negara-negara sekutu maupun mitra strategisnya di Indo-Pasifik. Namun perlu diingat, Donald Trump adalah pengusung gagasan Free and Open Indo Pacific sewaktu dirinya menjabat sebagai Presiden ke-45 Amerika Serikat. Dialah pula pengusung gagasan perluasan “Area of Responsibility” dari Pacific Command di Hawaii menjadi Indo-Pacific Command (Indo Pacom). Jadi, besar kemungkinan rivalitas Tiongkok–Amerika Serikat ke depan tidak akan terbatas pada perang dagang belaka.

Oleh : Rizal Darma Putra*

JERNIH—Dipilihnya Republik Rakyat Tiongkok sebagai negara pertama dalam lawatan luar negeri perdana Presiden Prabowo Subianto, menunjukkan bahwa negara tersebut memiliki posisi yang istimewa di mata Presiden. Tidak hanya dalam upayanya untuk mencitrakan dirinya sebagai pemimpin “kekuatan ketiga” yang berupaya untuk berdiri ditengah rivalitas antara Amerika Serikat dengan Tiongkok di belahan Asia-Pasifik. Melainkan dapat juga dikatakan sebagai bentuk pengakuan atas keberlanjutan dari eratnya kerja sama Republik Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok dari era Presiden Joko Widodo.

Menariknya dalam kunjungan yang kemudian dilanjutkan dengan lawatan ke Amerika Serikat itu adalah pada saat terpilihnya kembali Donald J Trump sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat. Menjadi menarik karena masih segar dalam ingatan bagaimana Trump membatalkan program Trans Pacific Partnership (TPP), suatu kemitraan berupa perjanjian perdagangan yang awalnya dinegosiasikan antara 12 negara di sepanjang Pacific Rim. Tujuan kerja sama tersebut adalah mempromosikan integrasi ekonomi, mengurangi hambatan perdagangan, dan meningkatkan perdagangan serta investasi di antara negara-negara anggota. Dengan demikian program TPP yang digagas Presiden Obama untuk membendung serbuan pengaruh ekonomi Tiongkok di negara-negara Pacific Rim menjadi berantakan.

Saat itu Trump beralasan perlunya melindungi pekerjaan dan industri Amerika. Dia percaya bahwa TPP akan menyebabkan kehilangan pekerjaan dan upah yang lebih rendah di AS, karena akan mendorong perusahaan untuk memindahkan manufaktur ke luar negeri guna mengambil keuntungan dari tenaga kerja yang lebih murah.

Berawal dari bubarnya TPP, kebijakan luar negeri Tiongkok untuk merangkul negara-negara di kawasan Indo-Pasifik menjadi lebih efektif. Melalui agenda Belt and Road Initiatives (BRI atau sering disebut program OBOR) berbagai negara di kawasan Indo-Pasifik menjadi lebih erat dalam kerja sama ekonomi, perdagangan dan investasi. Sementara terjadinya pergantian pemerintahan di Amerika Serikat pada saat Presiden Biden mengalahkan Trump diluncurkanlah Kerangka Kerja Ekonomi Indo-Pasifik untuk Kemakmuran (IPEF) yang pada intinya adalah membendung kembali pengaruh Tiongkok dalam bidang ekonomi di wilayah tersebut.

Akan tetapi bandul politik kembali berayun selepas Pemilihan Presiden 5 November lalu yang mencatatkan kemenangan kembali Donald J Trump. Diperkirakan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam bidang ekonomi, yang pada era Biden memberikan sejumlah insentif antara lain melalui Kerangka Kerja Ekonomi Indo-Pasifik untuk Kemakmuran (IPEF), besar kemungkinan akan dianulasi guna memprioritaskan penguatan ekonomi dalam negeri Amerika Serikat. Dengan demikian Tiongkok akan semakin leluasa dalam menjangkau pengaruhnya di wilayah Indo-Pasifik melalui instrumen ekonomi, yang sebelumnya sempat terganggu dengan isu “debt trap” atau jebakan utang terhadap negara-negara penerima bantuan atau investasi.

Disebut “jebakan” karena ada tendensi untuk memunculkan situasi ketergantungan terhadap Tiongkok, karena ketidakmampuan dalam melajutkan pembayaran utang. Dengan demikian, tidak hanya secara ekonomi akan tergantung, namun dari sisi politik, rezim dari negara penerima bantuan akan berada di bawah pengaruh kuat Tiongkok.

Missi ke Tiongkok
Di tengah prediksi International Monetary Fund (IMF) atas pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang akan melambat secara bertahap menjadi sekitar 3,5 persen pada 2028, yang diakibatkan hambatan produktivitas yang lemah dan penuaan populasi. Bahkan utang pemerintah daerah telah meningkat signifikan, mencapai 92 triliun yuan (sekitar 12,6 triliun dolar AS) pada tahun 2022, yang merupakan 76 persen dari output perekonomian Tiongkok.

Namun dengan kontribusi Tiongkok sekitar 16,88 persen pada ekonomi global, serta pendapatan GDP sejumlah US$ 17.794,78 miliar pada 2023, masih menempatkan Tiongkok sebagai negara yang sangat menarik sebagai mitra dagang maupun investor bagi negara-negara di kawasan Indo-Pasifik. Tentunya termasuk bagi Indonesia. Itu sudah mempertimbangkan isu jebakan utang serta persoalan territorial dispute di perairan yang diklaim sepihak seara unilateral dari Tiongkok. Belum lagi tentang kebijakan luar negerinya yang dipandang assertive, terutama bagi sejumlah negara di kawasan Asia serta Amerika Serikat dan sekutunya, yang menjunjung prinsip Free and Open Indo-Pacific dalam mengakses perairan dan jalur pelayaran internasional.

Sebagai seorang Presiden dengan latar belakang militer, Prabowo tentu juga memandang Tiongkok dari aspek militer dan geostrategis. Apalagi pada 2024 ini anggaran pertahanan Tiongkok akan mencapai US$ 227 miliar, menempati peringkat kedua dunia setelah Amerika Serikat. Menariknya, proses modernisasi pertahanan nasional dan militer RRT itu kompatibel dengan proses modernisasi nasional. Mereka secara komprehensif meningkatkan kemampuan strategis dalam mempertahankan kedaulatan nasional, keamanan, dan kepentingan pembangunan, dalam kerangka Seratus Tahun Tentara Pembebasan Rakyat pada 2027, seperti dikatakan Kolonel Senior Wu Qian, juru bicara Kementerian Pertahanan Tiongkok, mengenai modernisasi Tentara Pembebasan Rakyat ke depan.

Melihat ambisi Tiongkok dalam mengembangkan militernya sebagai militer kelas dunia pada 2027–bertepatan dengan ulang tahun ke-100 Tentara Pembebasan Rakyat—meski mengalami perlambatan ekonomi, masa depan rivalitasnya dengan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald J Trump, tampaknya akan menguat.

Benar, kesulitan ekonomi di satu satu sisi diperkirakan bakal memangkas sejumlah insentif ekonomi AS kepada negara-negara sekutu maupun mitra strategisnya di Indo-Pasifik. Namun perlu diingat, Donald Trump adalah pengusung gagasan Free and Open Indo Pacific sewaktu dirinya menjabat sebagai Presiden ke-45 Amerika Serikat. Dialah pula pengusung gagasan perluasan “Area of Responsibility” dari Pacific Command di Hawaii menjadi Indo-Pacific Command (Indo Pacom). Jadi, besar kemungkinan rivalitas Tiongkok–Amerika Serikat ke depan tidak akan terbatas pada perang dagang belaka.

Posisi Indonesia yang secara geografis berada di jantung kawasan Indo-Pasifik menjadi sangat strategis, baik dalam arsitektur keamanan regional maupun perdagangan internasional. Kompetisi dalam memperebutkan dan menjaga pengaruh rantai pasokan (supply chain), baik terhadap Tiongkok maupun Amerika Serikat, dalam perdagangan internasional menjadi salah satu kunci bagi kesinambungan atau terhambatnya ekonomi suatu negara. Sebagaimana kerja sama perdagangan Indonesia–Tiongkok terkait kesinambungan rantai suplai, antara lain, sumber daya alam seperti kelapa sawit, karet, kopi, dan mineral nikel dan bauksit, yang sangat penting untuk berbagai industri di China, termasuk di dalamnya produksi makanan, manufaktur, dan elektronika.

Kepentingan nasional
Dengan dinamika politik internasional, terutama pasca-terpilihnya Donald J Trump sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat, yang akan melanjutkan rivalitasnya dengan Tiongkok, kunjungan Presiden Prabowo ke Tiongkok akan meningkatkan nilai Indonesia di hadapan Xi Jinping. Dengan demikian, apa yang akan menjadi pilihan Prabowo dalam meletakan kepentingan bersama dengan Tiongkok, akan menjadi titik tolak dalam memaksimalkan national interest Indonesia ke depan.

Di tengah rivalitas yang ketat antara Amerika Serikat dengan Tiongkok, walaupun Indonesia memiliki modal geografis sebagai salah satu komponen instrumen kebijakan luar negeri, namun komponen lainnya, seperti kekuatan militer, ekonomi, dan persatuan nasional, masih jauh untuk dikatakan sebagai komponen strategis yang dapat mempengaruhi, apalagi mendikte, proses diplomasi.

Gestur politik internasional Prabowo yang mencoba untuk mencitrakan sebagai “kekuatan ketiga” melalui beberapa retorikanya akhir-akhir ini– yang mencoba memberikan kesan sebagai pemimpin populis dan tidak bisa disetir “asing”– akan mendapat ujian berat di tengah rivalitas ketat yang boleh juga dikatakan sebagai pengulangan Perang Dingin. Dalam hal ini, pola perimbangan kekuatan atau balanceof power–bila merujuk pada kategori Thazha Varkey Paul dalam “Balance of Power Theory and Practice– termasuk hard balancing. Sifat hard balancing ini persaingannya intens, terbuka, mengarah pada zero sum game. Demikian pula dalam strategi kuncinya, yakni pembangunan kekuatan bersenjata secara terbuka dalam aliansi formal.

Sekarang apakah dalam tour of duty ini Prabowo akan membawakan lakon sebagai pemimpin kekuatan ketiga, atau terseret menjadi bidak dari great powers yang tengah berivalitas? Jika yang menjadi rujukannya adalah Professor John Mearsheimer yang merupakan salah satu nara sumber pembekalan calon menteri di Hambalang, maka teori besarnya adalah balance of power yang di-breakdown lagi menjadi offshore balancing, yakni mengimplementasikan keseimbangan kekuatan dengan menjadi bagian dari kekuatan hegemon untuk mengimbangi kekuatan lainnya.

Sekarang yang kembali menjadi pertanyaan, kekuatan besar mana yang dipilih sebagai mitra strategis yang memiliki irisan kepentingan nasional yang sama? Ataukah tetap bertahan dengan “politik bebas aktif”? [ ]
Puri Bintaro, 8 November 2024

  • Doktor Ilmu Hubungan Internasional; Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSSI)

Back to top button