Crispy

Loa Po Seng, Gang Po Seng, dan Kisah Seutas Jalan di Pasar Baru

  • Jelang akhir yahatnya Loa Po Seng masih agresif berinvestasi di sektor properti.
  • Setelah meninggal, keturunannya berebut warisan berilai satu juga gulden selama 40 tahun.

JERNIH — Jika ke kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, sempatkan menyusuri Jl Poseng I, II, dan III. Letaknya di belakang gedung Lembaga Kantor Berita Antara. Akses lebih mudahnya, masuk dari Jl Pos Utara II yang terletak di samping Hotel Antara.

Di era Hindia-Belanda, jalan ini bernama Gang Po Seng, mengacu pada sosok Loa Po Seng — pemilik Loa Po Seng & Co, perusahaan penjualan barang-barang impor. Kantor Loa Po Seng & Co menjulang dua lantai, berarsitektur Tionghoa dengan sentuhan modern.

Loa Po Seng & Co menjual semua produk impor saat itu; mulai dari anggur buatan Prancis, Champagne, pakaian Denmark merk Peignoirs, gaun, kemeja linen parrures, dan semua peralatan rumah tangga berkualitas terbaik. Loa Po Seng & Co mengimpor cerutu dari Havana, mentega dapur, dan keju.

Loa Po Seng & Co kerap hadir di lembar iklan koran-koran terbitan Batavia saat itu, untuk menjajakan semua yang dijual ke masyarakat elite Batavia. Linen Drill Putih mungkin produk paling laris, karena penduduk Belanda saat itu kerap menggunakan pakaian berwarna putih dalam berbagai aktivitas. Namun, Loa Po Seng & Co juga menjual piato dan aksesoris alat musik lainnya, yang diimpor dari Eropa.

Situs geni.com tak menyebut di mana Loa Po Seng lahir. Yang disebut hanya tahun kelahiran,yaitu 1824, tapi tak ada tahun kematian. Loa Po Seng menikah dua kali. Nama istri pertama tak diketahui. Istri kedua bernama Tjia An Nio, kelahiran 1830, tapi tempat kelahiran tak diketahui.

Pers Belanda tak menarasikan perjalanan bisnis Loa Po Seng. Informasi dari akun @potretlawas menyebutkan Loa Po Seng lekat dengan Pasar Baru. Ia adalah anak miskin yang menjadi orang terkaya di Batavia pada tahun 1870-an. Loa Po Seng meninggal tahun 1899, mewarisan sedemikian banyak properti dan uang tunai yang menjadi rebutan anak-anaknya selama 30 tahun.

Kekayaan Loa Po Seng tidak hanya dari usaha penjualan barang-barang impor. Ia juga pachter opium, alias bandar candu. Tahun 1897, seperti ditulis Het vaderland edisi 10 November, Loa Po Seng & Co — saat itu dipimpin Loa Tiang Hoei — menjadi penawar tertinggi hak penjualan opium skala kecil untuk wilayah Batavia, Karawang, dan Lampong. Loa Po Seng menjadi penjaminnya.

Loa Tiang Hoei saat itu melepas posisinya sebagai kapitein der Chinezen Pasar Baru untuk fokus mengelola Loa Po Seng & Co. Setahun kemudian, seperti dilaporkan Insulinde 18 Januari 1898, Loa Po Seng & Co menjadi pemenang lelang sewa guna usaha penjualan eceran opium di Distrik Batavia, Krawang, dan Lampong untuk tahun 1898, 1899, dan 1900. Untuk semua itu Loa Tiang Hoei mengeluarkan 2.638.800 gulden dan Loa Po Seng menggandeng Jo Tiang Soei sebagai penjamin.

Tahun 1899, jelang akhir hayatnya, Loa Po Seng masih agresif membelanjakan uangnya untuk mendapatkan properti produktif. Ia membeli tanah partikelir Antjol Victoria of Daroe di Tangerang dari Ong Kioe Poen dengan nilai transaksi tak diketahui. Tahun 1900, Regeerings Almanak voor Nederlandsche Indie mencatatnya sebagai eigenaar, alias pemilik, tanah partikelir Antjol Victoria of Daroe seluas 1.990 bouw atau 1.412 hektar dengan 1.835 penduduk di dalamnya. Tanah ditanami padi, kacang, dan singkong.

Dua tahun kemudian Regeerings Almanak voor Nederlandsche Indie tak lagi mencatat Loa Po Seng sebagai pemilik tanah partikelir Antjol Victoria of Daroe. Sebagai gantinya tertera Erven (ahli waris) Loa Po Seng di kolom eigenaar, dengan Oeij Teng Pong sebagai penyewa. Tahun yang sama, pertarungan hukum memperebutkan harta warisan Loa Po Seng dimulai.

Ada dua kelompok yang bertikai berebut warisan Loa Po Seng. Pertama, kelompok yang dipimpin Loa Tiang Hoat. Kedua, Loa Tiang Hoei. Loa Tiang Hoat adalah anak sah Loa Po Seng dari istri kedua. Ia memimpin tiga saudaranya; Loa Soan Nio — putri Loa Po Seng dari istri pertama — Loa Tiang Hin dan Loa Gwat Nio, putra dan putri Loa Po Seng dari istri kedua. Loa Tiang Hoey, menurut pengadilan Hndia-Belanda, adalah anak angkat Loa Po Seng.

Pertarungan hukum ini memakan waktu hampir 30 tahun. Tahun 1931, De Indische verlofganger edisi 6 Maret dalam tulisan berjudul Millioenen-Erfenis atau Warisan Uang Sejuta Gulden, menulis Mahkamah Agung memutuskan sengketa warisan almarhum Loa Po Seng — berupa properti dan uang tunai satu juga gulden — dibagi secara merata.

Saat putusan dibacakan, Loa Tiang Hoat dan Loa Tiang Hoei telah tiada. Yang hadir dalam pembacaan putusan adalah anak-anak Loa Tiang Hoey, yaitu Loa Sek Hie dan Loa Sek Tjoei, serta anak-anak Loa Tiang Hoat yang tidak disebutkan namanya. Anak-anak Loa Tiang Hoat keberatan atas putusan itu. Anak-anak Loa Tiang Hoey mengajukan gugatan lagi, tapi diselesaikan lewat mediasi.

Mahkaman Agung, menurut artikel itu, mendasarkan putusannya pada hukum adat Tionghoa yang menyebut anak angkat memiliki hak yang sama dengan anak sah. Anak-anak Loa Tiang Hoat akhirnya menerima keputusan Mahkamah Agung. Loa Sek Hie dan Loa Sek Tjoe dapat menikmati jumlah warisan yang sama seperti yang diterima anak-anal Loa Tiang Hoat, Loa Tiang Hin, Loa Soan Nio, dan Loa Gwat Nio.

Cerita Keluarga Loa berlanjut dengan kiprah Loa Sek Hie di bidang politik. Ia menjadi anggota Volksraad, membentuk dan mengetuai Pao An Tui — pasukan beladiri komunitas Tionghoa, sebelum memutuskan melanjutkan hidup di Den Haag, Belanda.

Back to top button