SolilokuiVeritas

Jangan Mengaburkan Ingatan Masyarakat

Dari sisi pemerintahan, klaim LBP di atas menunjukkan keangkuhan pejabat. LBP menerapkan manajemen komando dan kontrol (command and control). Lewat klaim itu LBP memberi komando, operasionalisasi Whoosh baik-baik saja. Tidak perlu dikhawatirkan. LBP juga ingin mengontrol informasi tentang Whoosh. Hanya yang baik-baik saja yang boleh diketahui masyarakat.

Oleh     :  Ana Nadhya Abrar*

JERNIH– Salah satu ciri khas Luhut Binsar Panjahitan (LBP) adalah kemampuannya berbicara dengan penuh percaya diri. Tidak jarang kemampuan itu membuat lawan bicaranya merasa ciut. Tidak berani membantah.

Belum lama ini, persisnya 30 Oktober 2025, LBP berbicara soal kereta api cepat Whoosh. Informasi itu disampaikannya lewat akun Instagram pribadinya: Whoosh kini sudah mampu menutup biaya operasionalnya sendiri dan melayani lebih dari 12 juta penumpang sejak beroperasi pada Oktober 2023 sampai Februari 2025.

Kontan saja informasi ini dikutip oleh berbagai media. Tidak berhenti sampai di situ. Informasi ikutannya juga dikutip media, yakni:  Whoosh menjadi bukti bahwa keberanian mengambil keputusan strategis adalah awal menuju kemandirian bangsa.

Bagaimana respons masyarakat? Masyarakat jadi bingung mengingat selama ini mereka memperoleh informasi yang berbeda. Kompas.com, 22 Oktober 2025, menyebut: Kereta Cepat Jakarta–Bandung atau Whoosh dikabarkan masih mencatatkan kerugian operasional akibat rendahnya jumlah penumpang. CNN Indonesia, 30 Oktober 2025, menyampaikan analisisnya: Whoosh mencatat kerugian Rp 1 triliun pada semester I 2025.

Betapa tidak, mereka memperoleh informasi yang berbeda dalam sepuluh hari terakhir. Mereka galau. Wajar bila munucul pertanyaan, mana yang benar? Dari sisi jurnalisme, tentu saja yang benar adalah yang disiarkan media. Soalnya media memproses fakta menggunakan logika jurnalisme. Ada cek dan ricek. Ada nilai berita. Ada pula  visi dan misi media.

Sedangkan informasi yang diperoleh dari Instagram hanya informasi sepihak. Dari penulisnya. Sudah di-framing. Sesuai dengan keinginan penulisnya. Sudah dibayangkan akan menguntungkan satu pihak dan merugikan masyarakat.

Dari sisi pemerintahan, klaim LBP di atas menunjukkan keangkuhan pejabat. LBP menerapkan manajemen komando dan kontrol (command and control). Lewat klaim itu LBP memberi komando, operasionalisasi Whoosh baik-baik saja. Tidak perlu dikhawatirkan. LBP juga ingin mengontrol informasi tentang Whoosh. Hanya yang baik-baik saja yang boleh diketahui masyarakat.

Sesungguhnya manajemen komando dan kontrol ini sudah ketinggalan zaman. Ia tidak pas lagi untuk menjalankan manajemen pemerintahan yang demokratis. Ia hanya pas dipakai oleh negara yang otoriter (Ketika menyaksikan pemusnahan barang bukti narkoba di Mabes Poliri, 29 Oktober 2015, Presiden Prabowo mengaku jengkel disebut otoriter. Artinya, dia tidak mau pemerintahannya disebut pemerintahan otoriter. Kalau dia memang tidak mau, tentu klaim LBP di atas jangan terulang lagi. Manajemen pemerintahan komando dan kontrol mesti dilupakan).

Sayang, kini banyak pejabat yang latah. Melakukan klaim seperti klaim LBP. Mereka menganggap kalau sudah melakukan klaim di media sosial tentang keberhasilannya, masyarakat senang. Diam dan bahagia.

Padahal, kenyataannya tidak. Ingatan masyarakat malah jadi kabur. Mereka menemukan ketidakcocokan antara klaim pejabat dengan realitas yang sebenarnya. Mereka lantas tidak bisa mengambil keputusan secara rasional.

Ini malah menciptakan masalah. Masyarakat memiliki masalah baru. Padahal kewajiban utama pemerintah itu menunjukkan arah bagi masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya.

Maka wahai para pejabat, janganlah mengaburkan ingatan masyarakat Berpihaklah kepada mereka. Laksanakan manajemen pemerintah yang melayani masyarakat. Kalau ini pada akhirnya berhulu pada reorientasi filsofis pejabat, memang itu yang harus dilakukan. Kalau ingin mencari referensinya, bacalah buku “Reinventing Government” karya David Osborne dan Ted Gaebler. [ ]

*Guru Besar Jurnalisme UGM

Back to top button