Langkah Radikal Diperlukan Guna Hadapi Darurat COVID-19
Saat ini, menurut Pandu, sedang terjadi herd stupidity di Indonesia. Baik pejabatnya yang meremehkan pandemi, maupun masyarakat yang mengabaikan 5M, yakni memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan membatasi mobilisasi dan interaksi.
JERNIH—Radikalisme ternyata tak sepenuhnya buruk sebagaimana didesakkan beberapa kalangan. Hermawan Saputra, epidemiolog dan anggota dewan pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dengan menular lebih cepatnya varian baru virus corona, diperlukan langkah radikal karena PPKM tidak akan efektif menahan laju infeksi dan memutus mata rantai penularannya.
Satuan Tugas Penanganan COVID-19 (Satgas COVID-19) melaporkan, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia telah menembus dua juta orang dan penambahan kasus harian pada Selasa (22/06) mencapai 13.668 kasus, termasuk 3.221 di Jakarta, episentrum pandemi di Indonesia,
Di Jakarta saja, jumlah pasien COVID-19 terus meningkat. Menteri Kesehatan Budi Gunadi mengatakan bahwa 90 persen dari 17.752 tempat tidur untuk isolasi pasien COVID-19 di Jakarta telah terisi.
Ledakan jumlah kasus COVID-19 di Indonesia mau tidak mau telah mendorong pemerintah memperketat pembatasan aktivitas, memberlakukan kerja dari rumah, dan membatasi jam operasional angkutan umum.
Pengetatan pembatasan aktivitas
Untuk menekan lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia, Airlangga Hartarto, ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, mengatakan pemerintah memperketat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Berbasis Mikro mulai dari 22 Juni hingga 5 Juli, terutama di zona merah, seperti Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Beberapa aturan di dalam pengetatan PPKM termasuk kegiatan belajar mengajar sekolah di zona merah dilakukan secara daring, jam operasional tempat makan, seperti restoran, kafe, dan warung makan, dibatasi hingga pukul 20.00 dengan kapasitas maksimum 25 persen untuk pengunjung yang makan di tempat, dan 75 persen pegawai kantor di zona merah, baik yang bekerja untuk pemerintah maupun BUMN dan BUMD, wajib bekerja dari rumah.
“Kegiatan di area publik di zona merah seperti fasilitas umum dan tempat wisata ditutup sementara sampai dinyatakan aman. Tempat di zona lainnya diizinkan dibuka dengan kapasitas paling banyak sebesar 25 persen dan dengan pengaturan dari pemerintah daerah,” kata Airlangga dalam siaran langsung di kanal Youtube Sekretariat Presiden, Senin (21/6) lalu.
Di Jakarta, Dinas Perhubungan (Dishub) membatasi waktu operasional MRT hingga pukul 23.00 dan pukul 22.00 untuk LRT, Trans Jakarta, dan angkutan umum reguler. Dishub juga menyetop kendaraan dari pukul 21.00 hingga 04.00 WIB di 10 titik yang berpotensi timbulkan kerumunan seperti Cikini di Jakarta Pusat, Kota Tua di Jakarta Barat, dan Kemang di Jakarta Selatan.
Opsi radikal untuk hadapi pandemi
Aturan-aturan ini tampaknya telah siap dilaksanakan. Namun Hermawan Saputra, epidemiolog dan anggota dewan pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), mengatakan bahwa varian baru virus corona yang baru-baru ini masuk ke Indonesia dapat menular lebih cepat dan masif sehingga PPKM tidak akan efektif menahan laju infeksi dan memutus mata rantai penularannya.
Bagi Hermawan, PPKM tidak akan menyelesaikan persoalan karena upaya pencegahan tidak menyeluruh di satu wilayah, tetapi hanya menyentuh segmen yang sangat kecil, yakni RT/RW.
“Di dalam PPKM, pemerintah pusat menetapkan kota dan kabupaten apa saja yang berada di zona merah. Dari kota dan kabupaten yang sudah merah, dipilih lagi kecamatan yang berwarna sudah merah, dan lalu dipilih lagi desa dan kelurahan yang berwarna merah,”kata Hermawan kepada DW.
“Dari desa dan kelurahan yang merah, dipilih lagi RT atau RW yang juga berwarna merah. Lalu dilakukan pengetatan di level mikro, yakni RT, RW, atau kelurahan. Ini sangat parsial dan segmentif. Padahal, kalau ada kasus baru di desa satu, kasus baru di desa lain akan naik, dan seterusnya,” kata dia.
Hermawan lalu menyarankan dua opsi radikal yang bisa diterapkan pemerintah yakni menerapkan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berskala nasional atau memberlakukan karantina wilayah (regional lockdown) secara bertahap, terutama di pulau-pulau besar, seperti Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.
Jika karantina wilayah diberlakukan, bandara akan ditutup, transportasi lokal antarpulau disetop, dan aktivitas di dalam wilayah diawasi ketat. “Situasi saat ini sangat berbeda. Jika pemerintah menunda-nunda (pengambilan langkah radikal), kerugian akan terus bertambah, ekonomi tidak akan pulih, dan kesehatan masyarakat terkatung-katung,” katanya.
Senada dengan Hermawan, epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan PSBB memiliki aturan hukum yang lebih kuat dari PPKM. Saat PSBB berlaku, ujar Pandu, pemerintah daerah bisa proaktif mengambil tindakan, termasuk langsung menindak pelanggar, karena keputusan dan pelaksanaan PSBB berada langsung di tangan mereka, dan PSBB berpijak pada Peraturan Menteri Kesehatan dan Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Sebaliknya PPKM berdasar pada surat keputusan bersama beberapa menteri. Permasalahannya ialah, di era desentralisasi dan otonomi daerah, menteri tidak bisa memerintah gubernur sehingga pemerintah pusat hanya bisa sebatas mengimbau.
“Jadi, di PPKM yang dikerahkan adalah TNI dan Polri, tetapi mereka juga memiliki keterbatasan jika tidak didukung pemerintah sipil. Ini ‘kan negara demokrasi,” kata Pandu.
Bagus di atas kertas, bagaimana pelaksanaannya?
Lebih lanjut, Pandu Riono mempertanyakan bagaimana pemerintah mengimplementasikan aturan itu, mengawasi pelaksanaannya, dan menindak pelanggarnya. “PPKM hanya nama. Yang terpenting ialah apa esensinya dan apakah itu bisa diterapkan dengan sempurna. Jika tidak, itu cuma nama di atas kertas,” ujar Pandu kepada DW Indonesia.
Lonjakan kasus COVID-19 yang saat ini terjadi sebenarnya telah diprediksi oleh pakar dan pemerintah telah diberitahu, tetapi saran pakar tidak didengarkan, kata Pandu. Ia mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk belajar dari pengalaman bahwa setiap peningkatan kegiatan masyarakat, seperti cuti bersama dan pemilihan kepala daerah, akan diikuti oleh peningkatan jumlah kasus COVID-19.
“Pengalaman di masa lalu itu pelajaran yang berharga, kalau dipelajari dan kalau pemerintah dan pejabatnya cukup smart untuk mengendalikan,” ujar Pandu. “Kita berhadapan dengan virus yang sangat mudah bermutasi. Jangan sombong dan memandang remeh.”
Saat ini, menurut Pandu, sedang terjadi herd stupidity di Indonesia. Maksudnya, lonjakan kasus COVID-19 yang terjadi saat ini disebabkan tidak hanya oleh karakter virusnya tetapi juga oleh perilaku manusianya. Baik pejabatnya yang meremehkan pandemi, maupun masyarakat yang mengabaikan 5M, yakni memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan membatasi mobilisasi dan interaksi.
“Mereka sudah dikasih tahu, tetapi yang dikasih tahu bebal. Sekarang kita menghadapi kebebalan komunitas atau herd stupidity,” katanya.
Kebebalan pemerintah, kata Pandu, terlihat dari berbagai peraturan-peraturannya yang tumpang-tindih dan saling bertentangan. Pada saat perayaan Idul Fitri, misalnya, mobilitas dihambat, tetapi tempat wisata dibuka.
“Semua pihak bebal karena memikirkan diri sendiri. Semuanya egois. Tidak ada solidaritas, tidak ada koordinasi, dan tujuan yang mau dicapai bersama juga tidak ada,”ujar Pandu.
Ia menyayangkan bahwa Indonesia sebagai negara besar tidak memiliki national pandemic response. Ia berharap, di tengah lonjakan kasus COVID-19 saat ini, pemerintah segera menggenjot vaksinasi untuk melindungi masyarakat, terutama bagi mereka yang belum punya imunitas.
Berdasarkan laporan Satgas COVID-19, pemerintah telah melakukan vaksinasi dosis dua sebanyak 12,3 juta orang dari total 23,2 juta orang yang telah disuntik dosis pertama. Jumlah tersebut masih jauh dari target pemerintah untuk memvaksinasi setidaknya 70 persen populasi Indonesia atau 181,5 juta penduduk pada April 2022 untuk menciptakan kekebalan komunitas. [Deutsche Welle]