CrispyVeritas

Lemahnya Peradaban Indonesia Dimulai dari Keterjebakan Epistemologi

Mengapa Indonesia tak pernah kembali menjadi bangsa besar dengan peradaban yang diperhitungkan dunia? Menurut Guru Besar Ilmu Ekonomi IPB University, Prof Didin S Damanhuri dalam diskusi panel “Mencari Strategi Kebudayaan Indonesia untuk 100 Tahun Kedua” yang digelar Kasyaf, jurnal popular pemikiran ekonomi Islam yang diterbitkan Pusat Studi Ekonomi dan Bisnis Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Bandung, hal itu terjadi karena hingga saat ini Indonesia masih saja berada dalam “jebakan epistimologi”.

JERNIH– Meski telah merdeka lebih dari 75 tahun, mengapa Indonesia tak pernah kembali menjadi bangsa besar dengan peradaban yang diperhitungkan dunia? Menurut Guru Besar Ilmu Ekonomi IPB University, Prof Didin S Damanhuri, hal itu terkadi karena hingga saat ini pun Indonesia masih saja berada dalam “jebakan epistimologi”.

Pernyataan tersebut dilontarkan Prof Didin dalam diskusi panel bertema “Mencari Strategi Kebudayaan Indonesia untuk 100 Tahun Kedua”. Diskusi yang digelar Jurnal Kasyaf itu berlangsung Ahad (10/11/2024), di The Margo Hotel, Depok. Kasyaf adalah jurnal popular pemikiran ekonomi Islam yang diterbitkan berkala sejak 2019 oleh Pusat Studi Ekonomi dan Bisnis Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Bandung.

Pada diskusi tersebut, para panelis seperti mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, Abdullah Hehamahua; Guru Besar IPB, Prof. Didin S. Damanhuri; mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudi Latif; serta Indra Gunawan dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Keempat panelis yang merupakan para tokoh terkemuka nasional itu memberikan perspektif kritis masing-masing terhadap permasalahan budaya dan masa depan Indonesia.

Prof. Didin S. Damanhuri, ekonom senior dan pengamat kebudayaan, memaparkan bahaya “jebakan epistemologi” yang menurutnya menjadi penghalang serius bagi transformasi peradaban Indonesia. Menurut Didin, “Jebakan epistemologi adalah ketika kita hanya mengulang paradigma Barat dalam proses pembangunan dan pengembangan ilmu, tanpa mempertimbangkan relevansi dengan kebutuhan masyarakat Indonesia sendiri.” Prof Didin menekankan bahwa orientasi ini telah membentuk mindset generasi intelektual yang cenderung sekularistik, materialistik, dan kapitalistik, yang terbukti bersifat degradatif bagi bangsa.

Didin mengkritik paradigma pendidikan tinggi di Indonesia yang hanya menjadi pengulangan dari “kesuksesan” Eropa dan Amerika Serikat tanpa adanya adaptasi nilai-nilai lokal. “Transformasi peradaban yang berhasil membutuhkan paradigma ilmu pengetahuan yang mengutamakan kesejahteraan rakyat, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi,” lanjutnya. Untuk itu, Didin menyerukan pentingnya pendekatan heterodoks yang mampu mengombinasikan teori Barat dengan nilai-nilai lokal sebagai basis kebudayaan bangsa.

Abdullah Hehamahua, mantan penasihat KPK, mengemukakan bahwa korupsi adalah ancaman yang tak kalah besar bagi masa depan peradaban Indonesia. Ia menyebut korupsi sebagai “extraordinary crime” yang bukan hanya merusak ekonomi, tetapi juga menghancurkan nilai-nilai sosial dan kebudayaan. “Korupsi telah menjadi penyakit yang menggerogoti moral bangsa, dan jika ini tidak segera diatasi, Indonesia bisa terancam menjadi negara yang terpecah atau bahkan terjajah oleh kekuatan asing di masa depan,” ungkap Abdullah dengan penuh keprihatinan.

Abdullah menegaskan bahwa untuk mengatasi korupsi, Indonesia memerlukan transformasi budaya yang mengedepankan kejujuran dan tanggung jawab sebagai nilai utama dalam masyarakat. “Perubahan budaya adalah kunci dalam memerangi korupsi, karena ini bukan sekadar masalah hukum, tetapi juga masalah mentalitas bangsa,” tambahnya. Menurutnya, perubahan ini harus dimulai dari pendidikan yang menanamkan nilai anti-korupsi sejak dini.

Sementara itu cendikiawan Muslim dan pemikir kebudayaan, Yudi Latif, menyoroti pentingnya budaya sebagai fondasi moral bagi bangsa. Menurutnya, budaya bukan sekadar warisan, tetapi juga sebuah mekanisme yang dapat menjadi benteng moral terhadap berbagai penyimpangan, termasuk korupsi. “Budaya adalah benteng terakhir dalam mempertahankan moralitas dan identitas bangsa,” kata Yudi, yang selama ini dikenal dengan pandangannya tentang pentingnya budaya dalam menjaga integritas nasional.

Yudi juga menegaskan bahwa kebudayaan Indonesia harus mampu membangun “imunitas moral” yang mengakar dalam masyarakat. Ia mengkritisi bahwa selama ini Indonesia terlalu terbuka pada pengaruh eksternal tanpa adanya filter budaya yang kuat, sehingga terjadi degradasi nilai kejujuran dan tanggung jawab sosial. Dengan menguatkan nilai-nilai lokal dalam kebudayaan, ia yakin Indonesia dapat menciptakan generasi yang lebih kuat dalam melawan godaan materialisme dan hedonisme.

Menelusuri nilai spiritual dalam kebudayaan

Melengkapi perspektif, Indra Gunawan dati BPKH menambahkan pandangannya mengenai pentingnya nilai-nilai spiritual sebagai bagian tak terpisahkan dari kebudayaan bangsa. Ia menekankan bahwa nilai-nilai agama dan spiritualitas seharusnya menjadi pondasi dalam membangun karakter masyarakat yang berintegritas. “Nilai-nilai spiritual dalam agama memainkan peran penting dalam membentuk masyarakat yang kuat dan beretika. Ini yang harus diperkuat agar Indonesia tidak kehilangan arah dalam menghadapi modernisasi dan globalisasi,” kata Indra.

Menurut Indra, budaya haji dalam sejarah Indonesia dapat menjadi contoh bagaimana nilai spiritual mampu membentuk karakter bangsa. Di masa lalu, haji bukan hanya ibadah, tetapi juga menjadi ajang pembentukan komunitas intelektual Muslim yang berwawasan luas dan memiliki jiwa kepemimpinan. Sayangnya, nilai-nilai luhur seperti ini kini mulai terpinggirkan di tengah dominasi budaya materialistik yang sering mengabaikan nilai moral.

Pada intinya, diskusi panel menggarisbawahi betapa pentingnya strategi kebudayaan yang kuat untuk menghadapi berbagai tantangan, termasuk jebakan epistemologi dan ancaman korupsi. Para panelis sepakat bahwa kebudayaan harus menjadi fondasi dalam pembangunan bangsa. Budaya yang kuat tidak hanya mampu menolak godaan korupsi dan pengaruh negatif eksternal, tetapi juga membangun masyarakat yang berintegritas dan bertanggung jawab.

Prof. Didin menyarankan bahwa strategi kebudayaan yang berbasis nilai lokal harus dijadikan prioritas untuk membentuk masyarakat yang mandiri dan sejahtera. “Jika kita tidak mengatasi jebakan epistemologi ini, kita akan terus menjadi pengikut dan tidak pernah benar-benar merdeka dalam berpikir dan bertindak,” kata Didin. Diskusi tersebut, paling tidak pada saat ini, telah menjadi refleksi mendalam akan pentingnya membangun kebudayaan sebagai benteng peradaban bangsa untuk masa depan yang lebih baik. [ ]

Back to top button