Lima Jet Tempur Generasi 4,5 Primadona Dunia

Rafale, Thypoon, Gripen E/F, F-16V dan SU-35 adalah generasi pilihan kelompok jet tempur alternatif atas mahalnya generasi 5. Sementara Generasi 4 sudah terlalu usang. Berikut perbandingannya.
JERNIH – Di langit biru yang penuh kompetisi, ada satu segmen jet tempur yang kerap jadi bahan perbincangan dan perbandingan: generasi 4,5. Nama-nama seperti Rafale, Eurofighter Typhoon, Gripen E/F, F-16V, hingga Sukhoi Su-35 sering diadu keunggulan dan kelemahannya, seolah sedang bertarung di meja rapat para jenderal pertahanan.
Generasi kelima seperti F-35 Lightning II atau Su-57 memang menggiurkan, tetapi harganya selangit dan teknologinya rumit. Sementara jet generasi keempat lama seperti Mirage 2000 atau MiG-29 mulai menua.

Di sinilah generasi 4,5 hadir sebagai kompromi ideal: teknologi modern dengan biaya yang masih bisa dijangkau banyak negara.
Di era modern, angkatan udara tidak bisa lagi membeli banyak tipe pesawat untuk setiap misi. Negara-negara kini lebih memilih satu jet yang bisa melakukan segalanya: menjaga langit, menghantam target darat, hingga patroli maritim.
Jet generasi 4,5 memang dipasarkan sebagai pesawat serbaguna—dan inilah yang membuat mereka sering dibandingkan, siapa yang paling seimbang di segala medan.

Di sisi lain membeli jet tempur amat kental dengan pertarungan politik di balik itu semua. Membeli Rafale berarti mendekat ke Prancis. Memilih Typhoon artinya bergantung pada konsorsium Eropa. Atau jika suka Gripen artinya akan sering menawarkan kerja sama industri dengan negara pembeli. Sementara F-16V membawa jaminan jaringan global Amerika. Sedang menyukai Su-35 akan jadi simbol kedekatan dengan Rusia, meski berisiko sanksi.
Meski generasi kelima terus berkembang, kenyataannya generasi 4,5 masih akan menjadi tulang punggung angkatan udara dunia hingga 2035–2040. Mereka lebih murah, lebih praktis, dan sudah terbukti andal.

Itulah sebabnya, setiap tender pesawat tempur besar—dari India, Swiss, Brasil, hingga Indonesia—selalu mempertemukan nama-nama ini di medan persaingan.
Dari sisi jumlah dan distribusi, F-16 masih unggul sebagai jet paling tersebar di dunia, dengan banyak negara pengguna dan varian upgrade (termasuk V). Namun, Rafale menunjukkan performa ekspor yang kuat belakangan, dengan backlog ekspor tinggi dan pesanan baru dari berbagai negara, menjadikannya pesaing serius dalam banyak tender.

Eurofighter Typhoon tetap memiliki posisi kuat, terutama di Eropa dan negara yang ingin sistem pertahanan berdasarkan konsorsium Eropa, tapi menghadapi tekanan untuk mempertahankan relevansi dan biaya.
Sementara Gripen E/F menonjol di pasar negara menengah/kecil yang butuh modernisasi tapi dengan anggaran terbatas—kemampuannya menawarkan nilai plus fleksibilitas menjadi kelebihan besar. Su-35 tetap pilihan niche, dan meskipun memiliki keunggulan teknis tertentu, ekspor dan dukungan keseluruhannya lebih terbatas akibat faktor non-teknis.

Eurofighter Typhoon mencatat sekitar 680 unit dipesan. Sebanyak 607 sudah diserahkan. Pesawat ini dipesan oleh 9 negara: Inggris, Jerman, Italia, Spanyol, plus eksportir seperti Austria, Kuwait, Oman, Qatar, Saudi Arabia.
Rafale menorehkan total pemesanan 507 unit sejak program dimulai. Distribusinya 234 untuk Prancis dan 273 untuk ekspor. Pelanggan ekspor antara lain: Mesir (55), India (36), Qatar (36), Indonesia (42), Yunani, Kroasia, UEA, Serbia. Prancis sendiri juga terus menambah pesanan domestic.
F-16 / F-16V sudah jauh melebihi kompetitornya dalam hal unit yang telah dikirimkan. Total sejak awal produksi lebih dari 4.600 unit dibangun. Dari seluruh varian, sekitar 2.084 unit masih aktif secara global (data sekitar 2025).

Operator sangat banyak (lebih dari 25 negara), produksi lisensi di beberapa negara, upgrade ke varian V untuk banyak operator. F-16 tetap menjadi salah satu pesawat tempur paling “tersebar”.
Lalu Gripen E/F meski tak terlalu banyak, namun tercatat Thailand memesan 4 unit (3 Gripen E + 1 Gripen F) untuk pengiriman 2025–2030. Kontrak Brasil (36 unit), negara-negara lain yang mempertimbangkan atau sudah operator sebelumnya (Gripen C/D).
Sedangkan Su-35 datanya lebih kompleks / tidak selalu jelas karena sanksi dan produksi Rusia. Salah satu laporan menyebut bahwa Iran memesan 50 unit Su-35 dari Rusia (atau barter) pada 2022. Ekspor Su-35 terbatas karena kendala teknologi dan politik.
Antara Rafale dengan Typhoon memiliki satu sejarah. Sejak lahir pada 1980-an, Rafale dan Typhoon sebenarnya berasal dari embrio proyek yang sama. Namun, perbedaan visi membuat Prancis keluar dan mengembangkan Rafale sendiri. Typhoon unggul dalam dogfight, dengan kecepatan dan manuver ekstrem. Rafale lebih seimbang, benar-benar multi-role, dari serangan darat hingga operasi kapal induk.

Dalam berbagai tender, keduanya kerap berhadapan misalnya dengan India, Swiss, bahkan Timur Tengah. Prancis sering unggul karena menawarkan fleksibilitas lebih luas, sementara Typhoon mengandalkan superioritas udara murni.
Secara singkat Rafale adalah paling seimbang, multi-role sejati, cocok untuk negara yang ingin kemandirian strategi dan teknologi Barat tanpa ketergantungan AS penuh. Typhoon unggul di superioritas udara, tapi biaya sangat tinggi. Sedangkan Gripen boleh ekonomis, fleksibel, ideal untuk negara dengan anggaran terbatas. F-16V jet tempur praktis, battle-proven, logistik global luas, tapi mulai “menua” dalam desain. Dan, Su-35 selain murah dan lincah, unggul di manuver, tapi avionik ketinggalan dan ada risiko geopolitik.(*)
BACA JUGA: Jet Tempur Rafale Siap Jaga Langit Indonesia Awal 2026






