Mahasiswa Eksodus Papua Ancam Gagalkan PON XX Papua
JAYAPURA-Sebanyak 146 mahasiswa ex perguruan tinggi diluar Papua yang dikenal dengan sebutan “mahasiswa eksodus” mendatangi kantor Majelis Rakyat Papua (MRP). Mereka meminta Pemerintah Provinsi Papua serius menangani masalah mereka, sebab menurut mereka persoalan yang dihadapi para mahasiswa eksodus lebih serius daripada urusan penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional atau PON XX Papua 2020. Mereka bahkan mengancam akan gagalkan PON XX Papua bila mereka diabaikan.
Oskar Gie, mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang menjadi bagian dari “mahasiswa Eksodus” tersebut meminta Gubernur Papua, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua, dan MRP untuk tidak mengabaikan keberadaan ratusan mahasiswa eksodus yang terlanjur pulang ke Papua.
Dalam penilaian Oskar Gie, saat ini Gubernur Papua, DPR Papua, dan MRP terlihat lebih sibuk mengurus persiapan penyelenggaraan PON XX Papua 2020, dibanding memperhatikan penanganan rasisme yang dialami para mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019 lalu.
“Kalau penanganan rasisme simpang-siur, kami bisa memobilisasi massa untuk membatalkan agenda macam PON,”.
Gie mengingatkan bahwa para mahasiswa dari berbagai kota studi di luar Papua, seperti Jakarta, Surabaya, Malang, Yogyakarta, Manado, dan Makassar, melakukan eksodus karena merasa tidak nyaman bertahan dan melanjutkan kuliah mereka, setelah adanya peristiwa persekusi dan rasisme di Surabaya pada Agustus tahun lalu.
Gie juga menjelaskan, saat itu asrama mahasiswa dan siswa asal Papua di berbagai kota studi luar Papua didatangi aparat keamanan sementara sejumlah mahasiswa yang melakukan unjukrasa anti rasisme Papua juga diintimidasi, bahkan ditahan dan dipidanakan. Demikian juga unjukrasa anti rasisme Papua di sejumlah kota mendapat tindakan kekerasan aparat keamanan yang menyebabkan jatuhnya korban. “Ada satu pelajar dan empat mahasiswa menjadi korban penembakan,” kata Gie.
Dengan kejadian-kejadian tersebut, Gie menuntut, Pemerintah Provinsi Papua bersama DPR Papua dan MRP serius menangani masalah rasisme terhadap orang Papua. Disamping itu juga serius menangani ratusan mahasiswa eksodus yang pulang ke Papua yang saat ini masih bertahan di Posko di Papua. “Jumlah mahasiswa eksodus itu besar, bertahan di beberapa posko di Papua,”.
Eko Pilipus Kogoya, pimpinan rombongan 146 mahasiswa eksodus yang mendatangi Kantor MRP itu, menyatakan mereka masih bertahan di Papua dan belum memastikan kapan akan kembali ke kota studi. “Kami yang pulang dari kota studi luar Papua belum kembali, kami masih ada di sini,”.
Menurut rencana perwakilan mahasiswa eksodus akan membacakan pernyataan sikap mereka pada Gubernur Papua Lukas Enembe dan Ketua DPR Papua Jhony Banua Rouw, namun batal dilaksanakan karena gagal bertemu mereka.
“Hari ini kami tidak membacakan pernyataan sikap kami, karena Gubernur Papua tidak ada. Kami akan bacakan pernyataan sikap akhir di depan tiga pimpinan pada Kamis pekan depan,” kata Kogoya.
Perwakilan mahasiswa eksodus hanya diterima Ketua MPR Timotius Murib yang berjanji akan berupaya mempertemukan para mahasiswa eksodus dengan Gubernur Papua dan Ketua DPR Papua.
“Pimpinan DPR Papua ada agenda lain, dan Gubernur Papua tidak ada di tempat. Mahasiswa minta pekan depan,”.
(tvl)