Malaysia Perkenalkan ‘Nasi Inflasi’ untuk Pekerja Bergaji Kecil
- Ada pula ‘makanan yang ditangguhkan’, makanan yang dibayar pengunjung restoran untuk orang lain.
- Nasi inflasi membantu kesulitan mahasiswa, pekerja bergaji kecil, dan pengungsi.
JERNIH — Sejumlah restoran dan kafetaria di Malaysia memperkenalkan ‘nasi inflasi‘, atau paket makanan murah, untuk membantu pekerja berkantong cekak.
Muhammad Faizal Taib, seorang petugas administrasi, memanfaatkan fasilitas ini untuk mengatasi anggaran makanan harian yang mencapai 250 ringgit, atau Rp 837.753, per bulan.
“Ini hanya sepiring nasi sederhana, beberapa sayuran, dan protein, yang cukup untuk mengenyangkan perut tanpa membuat kantong jebol,” kata Faizal seperti dikutip the Straits Times.
Faizal adalah satu dari puluhan ribu pekerja yang memanfaatkan makanan murah yang ditawarkan beberapa operator restoran dan kafetaria, yang bersatu meringankan beban konsumen akibat inflasi.
Jui lalu, inflasi di Malaysia meningkat 3,4 persen dari tahun sebelumya. Pemicunya adalah kenaikan harga pangan rumahan yang mencapai 6,1 persen dan makanan luar rumah 6,6 persen.
Lonjakan tertinggi dialami roti canai (10,5 persen), nasi dengan lauk (9,7 persen), daging sapi siap santap (7,8 persen), dan hidangan mie (7 persen).
Meski bahan baku meningkat, sebuah restoran di Selangor memutuskan memperkenalkan ‘nasi inflasi’ untuk membantu pelanggan mengatasi pukulan berat akibat kenaikan harga pangan.
Hanya membayar lima ringgit, atau Rp 16.750, pelanggan mendapat nasi, sayur, telur, sambal, sarden, dan segelas minuman segar.
“Bertahun-tahu lalu kami menawarkan nasi bujang di restoran saudara kami, yang kami tutup sebelum Covid-19,” kata Iskandar Azaman, pemilik Kantin Skohns — sebuah kafe yang menjual makanan Western dan Melayu. “Nasi bujang menjadi hits.”
Kini, masih menurut Azaman, akibat inflasi yang mempengaruhi sebagian besar populasi Kantin Skohns mengeluarkan nasi inflasi.
“Nasi bujang tidak cukup enak, karena terdiri dari nasi, sup biasa, dan telur dadar tunggal,” kata Iskandar. “Nasi inflasi adalah nasi bujang yang ditingkatkan, dengan sambal, sarden, telur goreng, irisan mentimun, dan segelas minuman segar.”
Jaizah Jaafar, juga pemilik restoran, mengatakan ini situasi saling menguntungkan bagi semua orang.
“Orang-orang membutuhkan makanan dan kami ingin berbisnis,” kata Jaafar. “Jadi kami harus bertemu pembeli di pinggir jalan. Pada tingkat kami jalankan, kami mampu bertahan setelah membayar komitmen kami.”
Operator kantin di perguruan tinggi juga bersedia menyediakan paket makanan hebat bagi siswa yang kesulitan. Bahkan harga yang dipatok jauh lebih murah, yaitu 3,5 ringgit atau Rp 11.750.
Penentuan harga dilakukan pemerintah, yang diumumkan awal Juli 2022. Sebagai imbalannya, kantin dibebaskan biaya sewa selama enam bulan.
Norlina Johari, operator kantin di Universitas Sungai Buloh, mengatakan pihaknya menawarkan makanan lengkap kepada siswa, terdiri dari nasi, ayam, dan sayuran, dengan harga 3,50 ringgit atau Rp 11.750.
“Kami menyadari tidak semua mahasiswa menyukai dada ayam, tapi hanya itu yang kami bisa tawarkan dengan harga murah,” katanya.
Menariknya, semangat membantu pekerja kelas menengah ke bawah dan mahasiswa menular ke pemasok bahan mentah. Ada yang memberi diskon, setelah mengetahi rencana sejumlah restoran memperkenalkan nasi inflasi.
Iskandar mengatakan restorannya tidak mengejar untung. “Mencapai titik impas saja sangat senang,” katanya. “Yang penting kami tidak merugi.”
Selain nasi inflasi, Iskandar menawarkan ‘makanan yang ditangguhkan’. Artinya, pengunjung restoran yang berkantong tebal diminta membayar di muka untuk orang lain yang meminta makanan.
“Silahkan pilih menu makanan yang ditangguhkan, bayar, dan kami akan memberikan kepada yang membutuhkan,” kata Iskandar. “Harga menu boleh berapa saja.”
Sejauh ini, Iskandar telah mendapat 1.000 makanan yang ditangguhkan dan diberikan kepada orang yang benar-benar membutuhkan.
“Kami memiliki keluarga pengungsi yang datang untuk makan malam,” katanya. “Kami memiliki seorang ibu tunggal yang merayakan ulang tahun anaknya. Semua menggunakan makanan yang ditangguhkan, yang tidak mampu mereka beli.”
Semua ini, lanjut Iskandar, tidak sekedar mengatasi rasa lapar orang miskin tapi memberi mereka semangat.