MUI: Korbankan Egoisme, Bagian Makna Idul Adha
BOGOR – Ketika Allah SWT memerintahkan Nabiullah Ibrahim AS berkurban, pada hakekatnya yang dilaksanakan bukan mengorbankan Nabi Ismail AS. Sebab Ismail hanya sebagai fasilitas guna menguji keteguhan Nabi Ibrahim dalam menjalankan perintah Allah SWT.
Demikian dikatakan Wakil Sekretaris Komisi Dakwah Pengurus Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI), Khariri Makmun, di Bogor, Jumat (23/7/2021).
”Yang paling penting dari makna kurban adalah bagaimana kita mengorbankan ego. Menahan egoisme, sifat-sifat buruk dari diri yang bisa mencelakakan orang lain,” ujarnya.
Berkurban egoisme atau menanggalkan egosime, lanjut Khariri, sebetulnya adalah bagian makna dari Idul Adha atau Idul Kurban, seperti menyelamatkan jiwa orang lain. Misalnya dalam masa pandemi Covid-19, seseorang tetap beraktifitas di luar sebagai Orang Tanpa Gejala (OTG) yang bisa menularkan kepada orang lain yang rentan atau imunitasnya lemah.
“Itu juga bagian dari sifat-sifat egoisme yang akan berakibat membahayakan orang lain jika tetap beraktifitas di luar rumah,” kata dia.
Ia menambahkan, dalam hadist nabi juga dinyatakan, kalau seseorang telah keluar menuju ke ruang publik, maka orang tersebut akan terkena aturan-aturan publik. Bahkan ditegaskan ‘la dharara wala dhirara‘ yang artinya ‘jangan membahayakan diri dan orang lain’., sehingga menjadi pesan penting ketika di masa pandemi sekarang ini.
”Kita harus mampu menahan sifat-sifat ego kita ini agar bisa menyelamatkan orang lain,” ujar dia.
Begitu juga dalam menghadapi serangan virus radikalisme. Dimana para OTG virus radikalisme tidak sampai menyebarkan paham-paham radikal kepada orang lain.
Oleh sebab itu, para tokoh agama harus bisa menjadikan momentum hari raya, untuk edukasi umat. Apalagi filosofi dan makna setiap hari-hari besar keagamaan adalah meningkatkan ketaatan kepada Allah.
“Itu bermakna agar manusia bisa hidup dengan memberikan kehidupan yang lebih baik dalam dimensi sosial,” katanya.
Ia juga mengingatkan, para tokoh agama agar tidak memberikan pemahaman-pemahaman yang justru membangun rasa tidak percaya terhadap kebijakan pemerintah, sehingga ada pembangkangan sosial. Sebab hal tersebut justru kebalikan dengan tujuan beragama.
”Jadi habiullah wa ulil amri minkum’ yang artinya ’kita harus taat kepada Allah, taat kepada rasul dan taat kepada ulil amri atau pemerintah’ yang sudah mengambil suatu kebijakan yang tentunya sudah diukur, sudah disesuaikan demi kemaslahatan kita semua agar menjadi lebih baik,” ujarnya.