Penerapan New Normal Berpatokan pada Zonasi Covid-19
Jakarta – Sistem zonasi menjadi pedoman bagi daerah untuk menerapkan kenormalan baru atau new normal. Setiap zonasi menggambarkan kondisi penyebaran virus di suatu daerah.
“Ada empat dengan zonasi warna hijau, kuning, oranye dan merah yang mencerminkan tingkat risiko masing-masing daerah. Zonasi ini bisa diakses oleh pemimpin daerah dalam rangka mengetaui kondisinya dan dalam konteks kebijakan,” kata Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Wiku Adisasmito di Jakarta, Kamis (4/6/2020).
Ia menjelaskan, zonasi berwarna hijau menunjukkan belum ada kasus positif Covid-19. Juga ada warna kuning yang berarti risikonya rendah hanya saja sudah ditemukan kasus positif Covid-19. “Perlu adanya penelusuran kontak kasus positif Covid-19 yang ada, PDP dan ODP. Kenaikan kasusnya rendah,” tuturnya.
Sementara zonasi berwarna oranye, menunjukkan kondisi suatu wilayah yang memiliki risiko kenaikan sedang. Sementara zonasi terparah yakni warnah merah memiliki risiko yang paling tinggi dari segi jumlah kenaikan kasus positif Covid-19.
Penentuan zonasi ini, lanjutnya, didapat dari data surveilan dan data base dari rumah sakit seluruh Indonesia yang dikumpulkan di Kementerian Kesehatan. Data-data itu, dia melanjutkan, dianalisis sebagai data kumulatif per minggu. “Status risiko dari suatu daerah akan diupdate secara berkala setiap minggu per kabupaten/kota selain juga untuk menjelaskan kondisi kolektif dari sebuah provinsi,” ujarnya.
Wiku juga menuturkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tengah berupaya menerapkan kenormalan baru atau new normal di sejumlah daerah berdasar pada kriteria yang telah ditetapkan oleh WHO. Langkah itu diambil dengan membuat penilaian dari indikator suatu daerah dengan sistem zonasi.
“Pemulihan daerah menuju produktif ini menggunakan indikator dari WHO. Tiga kriteria penting itu epidemiologi, surveilans dan pelayanan kesehatan,” tambah Wiku. Gugus tugas juga menggunakan data laju kasus positif Covid-19, Pasien Dalam Pengawasan (PDP), dan Orang Dalam Pemantauan (ODP) sebagai pertimbangan penerapan kenormalan baru di suatu daerah.
“Kami juga menggunakan tingkat kesembuhan serta mortalitas digabung pemeriksaan spesimen dan jumlah tempat tidur di rumah sakit rujukan. Pembobotan dilakukan pada setiap kategori yang merupakan hasil dari kalkulasi setiap daerah,” tuturnya.
Ihwal sumber data, dia menuturkan, didapat dari data surveilans dan data base dari rumah sakit seluruh Indonesia yang dikumpulkan di Kementerian Kesehatan. Data-data itu, dia melanjutkan, dianalisis sebagai data kumulatif per minggu.
Sebelumnya, Deputi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kementerian PPN alias Bappenas Subandi Sardjoko membeberkan surveilans atau kapasitas tes Covid-19 di Indonesia belum memadai untuk memenuhi syarat pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
“WHO mengusulkan satu dari seribu, Bappenas meniru negara dengan jumlah penduduk yang seperti Indonesia adalah Brazil yaitu kita 3.500 per satu juta penduduk. Itu mesti disediakan tesnya,” kata Subandi. [*]