Perang Atrisi Hamas-Israel di Gaza
- Mayjen Yitzhak Brik, salah satu petinggi militer Israel, menyebut negaranya terlibat Perang Atrisi di Gaza.
- Apa itu Perang Atrisi? Itulah perang yang bikin malu Nazi di Stalingrad dan AS di Vietnam.
JERNIH — Dalam bentuk paling klasik, Perang Atrisi — sering disebut Perang Gesekan, tapi saya lebih suka mengartikannya perang saling menggerogoti — bisa dilihat pada Perang Dunia I.
Bentuk klasik Perang Atrisi pada Perang Dunia I di abad 21 terlihat di Donbass, Ukraina, ketika tentara Ukraina dan serdadu Republik Donbass dukungan Rusia terlibat saling tembak membosankan dari dalam parit.
Kedua pihak menembak untuk tidak memenangkan perang, tapi saling menggerogoti kemampuan tempur lawan. Kedua pihak berupaya saling menjatuhkan moral tempur pasukan, menguras perbekalan, dan kehilangan kemampuan untuk bertempur di kemudian hari.
Dalam kasus Israel vs Hamas di Gaza, Israel berusaha mencekik Gaza dengan menghentikan aliran bantuan pangan dari luar, terus membunuh penduduk sipil, meneror dengan bom, tembakan artileri, dan lainnya.
Menurut saya, perang di Gaza mempertemukan dua bangsa dengan keyakinan spiritual berbeda; Israel yang mengagungkan kehidupan dan Hamas yang berusaha menjemput kematian.
Satu tentara Israel tewas ditangisi rekan dan keluarga mereka berhari-hari. Tiga anak Ismail Haniyeh, orang nomor satu Hamas, terbunuh hanya didoakan saat pemakaman.
Kematian puluhan tentara Israel akan menimbulkan guncangan politik. Keluarga-keluarga yang kehilangan anak-anak mereka turun ke jalan, bersatu dengan keluarga yang kerabat mereka masih disandera Hamas, untuk mendesak PM Netanyahu mencapai kesepakatan mengakhiri perang.
Artinya, Israel menggerogoti sumber daya Hamas dengan membunuh sebanyak mungkin penduduk; terutama perempuan dan anak-anak yang menjadi sumber perlawanan di masa depan. Hamas menggerogoti Israel secara politik, diplomatik, dan ekonomi.
Israel seolah merasa perlu membunuh sebanyak mungkin penduduk sipil, dan melakukan semua perbuatan kotor, untuk menggoyahkan dukungan penduduk Pelestina terhadap Hamas.
Di sisi lain, Hamas mungkin hanya perlu membunuh sepuluh atau 20 serdadu Israel di medan perang untuk membuat keluarga Yahudi menangis berhari-hari dan menimbulkan tekanan politik kepada pemerintah Israel.
Secara diplomatik, seperti disebutkan Jenderal (Purn) Dov Tamari, narasi Israel hilang, dan narasi Palestina/Arab/Muslim menggerakan mahasiswa di kampus-kampus di AS dan Eropa, menimbulkan gelombang demo pro-Palestina. Narasi Israel itu, dimulai dari Holocaust dan kebangkitan kembali, selama lebih setengah abad diterima dunia.
Perang atrisi itu mahal, karena menggerogoti sumber daya ekonomi. Israel menghabiskan jutaan dolar AS setiap hari untuk membakar Gaza dan menimbulkan ratusan kematian. Di sisi lain, mesin ekonomi Israel — yang digerakan SDM dari luar — berhenti total, yang membuat Israel harus menjual obligasi untuk mendapatkan dana perang.
Hamas mungkin hanya butuh roti dan persediaan gandum untuk meladeni Israel dalam perang jangka panjang. Brigade al-Qassam, misalnya, relatif mampu melawan Israel dengan senjata rakitan sendiri, alias tidak butuh pasokan senjata dari luar.
Sun Tzu, pemikir perang klasik Tiongok, mengatakan tidak ada satu negara pun yang mendapatkan keuntungan dari peperangan jangka panjang.
Potensi hasil perang atrisi juga tidak jelas. Seandainya Israel mengalahkan Hamas, tidak ada jaminan orang-orang Hamas yang luput dari penangkapan dan eksekusi berdiam diri. Mereka akan terus melakukan perlawanan, dalam kelompok kecil, atau mungkin personal.
Jika sebaliknya, Israel kalah dan mundur dari Gaza dengan prajurit campang-camping, kita tidak bisa bayangkan bagaimana media digital sekujur Bumi dipenuhi berita kejahatan perang Israel. Penduduk Palestina telah mendokumentasikan semua dan siap published.
Israel, dengan semua pemimpinnya, mungkin akan menemukan dirinya seperti Nazi setelah Perang Dunia II. Akan ada Nuerenberg baru yang kita tidak tahu entah di mana.
Tidak akan ada yang memenangkan perang atrisi di Gaza. Israel, jika sampai waktu tertentu gagal menaklukan Hamas, akan dianggap kalah oleh publiknya. Sampai saat ini saja, menurut anggota Kneset Amit Levy tidak satu pun dari 24 brigade perlawanan Palestina di Gaza yang bisa dihancurkan Israel.
Jika Israel menerima usulan gencatan senjata, apa pun syaratnya, akan dianggap kekalahan karena akan membuat Hamas melakukan mobilisasi tentara sebagai persiapan perang berikut. Sebaliknya bagi Hamas, gencatan senjata akan dianggap sebagai kemenangan dan penduduk Palestina akan keluar bersorak-sorai.
Yang mungkin paling menakutkan adalah jika Israel memenangkan perang atrisi di Gaza. Gagasan The Greater Israel bukan tidak mungkin diaplikasikan lewat penaklukan semua negara di sekelilingnya; Lebanon, Yordania, Suriah, dan Mesir.
Jadi, perang atrisi di Gaza saat ini mungkin awal dari perang lebih besar yang akan terjadi. Contoh paling menarik adalah perang atrisi pada Perang Dunia I yang menghasilkan Perang Dunia II. Sebab, perang atrisi tidak pernah menghasilkan kestabilan politik di pihak yang kalah dan menang.