Polemik RUU Ketahanan Keluarga, Komisi III DPR: Hubungan Suami-Istri Ranah Pribadi
JAKARTA – Tak hanya Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law yang menyita perhatian publik, RUU Ketahanan Keluarga juga memunculkan kontroversi, karena dianggap mencampuri urusan suami-istri.
Wakil Ketua Komisi VIII, Ace Hasan Syadzily, mengatakan urusan suami istri adalah ranah pribadi. Karena itu, seyogyanya tidak perlu diatur dalam undang-undang. Apalagi tiap keluarga memiliki nilai, etika, dan keyakinan masing-masing.
“Dalam pandangan saya, hubungan suami dan istri itu merupakan ranah pribadi kita masing-masing. Seharusnya hal-hal yang tak perlu diatur oleh UU,” ujarnya di Jakarta, Rabu (19/2/2020).
Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Achmad Baidowi, menjelaskan RUU Ketahanan Keluarga sifatnya masih berupa draf usulan, atas lima Anggota DPR.
Mereka adalah Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari Fraksi PKS, Sodik Mudjahid dari Fraksi Partai Gerindra, Ali Taher dari Fraksi PAN, dan Endang Maria dari Fraksi Partai Golkar.
“Masih draf. Jadi itu diusulkan oleh 5 pengusul,” katanya.
Dalam pengusulan, RUU tersebut rupanya masuk dalam Prolegnas Prioritas 2020 bersamaan dengan RUU ‘Cilaka’. “Itu kan diusulkan judul dan naskah akademiknya ketika penyusunan Prolegnas Prioritas 2020, dan itu masuk,” kata dia.
“Karena sudah disahkan di paripurna (prolegnas prioritas) maka ibarat taksi argonya itu mulai jalan. Tahapan untuk menuju RUU itu sudah bisa dilakukan,” Baidowi menambahkan.
Namun berbeda dengan Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengaku RUU tersebut bukan usulan fraksinya. Karena itu bakal mencermati satu per satu pasal yang terkandung dalam draf tersebut.
”RUU Ketahanan Keluarga itu adalah usulan perseorangan, bukan usulan dari fraksi yang nantinya akan kita sama-sama cermati,” ujarnya.
Pada draf RUU tersebut, ada sejumlah pasal yang dianggap kontroversi, seperti mengatur soal larangan Bondage, Dominance, Sadism, dan Masochism (BDSM) -aktivitas seks sadisme dan masochisme-.
Pada Pasal 85 RUU Ketahanan Keluarga, menyebut sadisme dan masochisme sebagai bentuk penyimpangan seksual. Selain dua praktik itu, penyimpangan seksual juga merujuk pada homoseksual dan inses.
RUU tersebut dituliskan, sadisme sebagai cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya. Sementara masochisme diartikan sebagai cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya.
Untuk menanganinya, RUU Ketahanan Keluarga mengklaim Pasal 86 dan Pasal 87 sebagai solusi. Dimana bunyi Pasal 86, Keluarga yang mengalami Krisis Keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota Keluarganya kepada Badan yang menangani Ketahanan Keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.
Sementara pasal 87 berbunyi Setiap Orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada Badan yang menangani Ketahanan Keluarga atau lembaga rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan. [Fan]