“Sikap itu akan sulit dipertanggungjawabkan manakala dihadapkan kepada fakta bahwa Indonesia selama ini teguh memegang prinsip untuk ikut menciptakan perdamaian abadi dan keadilan sosial dalam membangun ketertiban dunia,” kata Hamdan Zoelva. “Belum lagi sejak lama Indonesia dikenal sebagai salah satu pilar kokoh Gerakan Non-Blok.”
JERNIH—Rencana Pertamina untuk membeli minyak mentah Rusia kian banyak digugat warga masyarakat Indonesia. Setelah disebut aji mumpung oleh mantan Menteri Yuddy Chrisnandi, dibilang buta geopolitik oleh pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat, serta dinilai kebijakan yang blunder oleh pengamat ekonomi energi Fahmy Radhi, giliran Presiden Syarikat Islam, Hamdan Zoelva, menyatakan bila Indonesia jadi membeli minyak Rusia, Indonesia sejatinya berpihak kepada salah satu pihak yang tengah berkonflik.
“Sikap itu akan sulit dipertanggungjawabkan manakala dihadapkan kepada fakta bahwa Indonesia selama ini teguh memegang prinsip untuk ikut menciptakan perdamaian abadi dan keadilan sosial dalam membangun ketertiban dunia,” kata Hamdan. “Belum lagi sejak lama Indonesia dikenal sebagai salah satu pilar kokoh Gerakan Non-Blok.”
Karena itu, menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini, Indonesia justru seharusnya ikut melibatkan diri dalam mencari jalan keluar dan solusi bagi perdamaian antara kedua negara yang tengah berperang tersebut, bukan justru seolah mengambil sikap yang menurut peribahasa “mengail di air keruh”.
Hamdan menambahkan, benar bahwa membeli minyak mentah kepada Rusia itu bukan berarti ikut menolak melakukan blokade ekonomi kepada Rusia. “Tetapi bagaimanapun itu akan terbaca sebagai bukti bahwa Indonesia berpihak pada salah satu dalam konflik tersebut,” kata Presiden Syarikat Islam yang saat ini gencar mengkampanyekan ‘Dakwah Ekonomi’ tersebut.
Karena itu, kata Hamdan, Indonesia perlu mempertimbangkan sangat matang dan sebaik-baiknya untuk membeli minyak dari Rusia dalam kondisi sekarang ini. “Di luar kepentingan ekonomi kita, dalam situasi ketika perang sedang terjadi antara Rusia dengan Ukraina, hasil minyak itu mungkin saja akan digunakan untuk melakukan perang, saling membunuh antara manusia dan mendatangkan tragedi kemanusiaan,” kata dia.
Hamdan mengingatkan, sebagai negara yang berdasarkan falsafah Pancasila, terutama sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, maka aspek kemanusiaan harus menjadi pertimbangan utama kebijakan negara. “Sikap itu yang akan membuat negeri ini terus dihargai dalam pergaulan internasional,” kata Hamdan.
Sebelumnya, mantan menteri Kabinet Jokowi sekaligus duta besar Indonesia untuk Ukraina 2017-2021, Prof Yuddy Chrisnandi, menyatakan meski baru rencana, apa yang digulirkan Pertamina untuk membeli minyak mentah Rusia dinilainya sebagai ‘aji mumpung’.
Prof Yuddy mengatakan, mungkin saja rencana itu menguntungkan dari sisi ekonomi, tapi pada sisi non-ekonomi dan menyangkut kredibilitas bangsa, negara akan rugi besar. “Bila invasi terus berlangsung, artinya secara tak langsung negara pembeli migas Rusia itu yang membantu membelikan mereka peluru, bom dan segala bahan dan mesin perang untuk terus menginvasi dan menimbulkan sekian banyak kematian dan derita bagi rakyat Ukraina,” kata guru besar Universitas Nasional itu.
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, bahkan menyatakan rencana tersebut sebagai blunder. “Persoalannya tidak sesederhana bahwa minyak yang akan dibeli B to B tersebut harganya murah. Pembelian itu pasti malah membawa persoalan lain, misalnya Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya tidak akan suka. Itu juga bisa menimbulkan gangguan dalam hubungan luar negeri kita,” kata Fahmy. Ia sendiri, mengingat sekian banyak factor risiko akibat perang serta jauhnya jarak pengiriman, kurang sepakat bahwa harga akan benar-benar murah.
Sementara pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat, menyatakan rencana tersebut sebagai upaya yang sangat berbahaya. Meski barangkali benar tak akan ada permasalahan politik karena akan dilakukan secara murni “business to business (B2B)”, secara geopolitik mengandung makna sangat kontroversial karena Rusia sedang diembargo negara-negara Barat yang juga menjadi mitra dagang Indonesia selama ini.
“Begitu Pertamina memutuskan membeli minyak dari Rusia, itu berarti Indonesia sedang mempertontonkan diri berani melawan sanksi yang diberikan AS dan NATO kepada Rusia, sekaligus cenderung berpihak pada Rusia,” kata dia.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati dalamn rapat Dengar Pendapat dengan DPR RI, Senin (28/3) lalu blak-blakan bahwa BUMN yang dipimpinnya akan membeli minyak Rusia. Nicke yang meyakini hal itu tak melanggar aturan, mengatakan pihaknya sudah berkoordinasi dengan berbagai pihak, dari Kementerian Luar Negeri hingga Bank Indonesia. Pembayaran, kata dia, akan dilakukan melalui India.
Sejak Nicke menyatakan hal itu setidaknya dua media massa internasional, Reuters dan Al-Jazeera, sudah menulis tentang rencana Pertamina tersebut. Keduanya bahkan memperlihatkan negara mana saja yang masih membeli minyak mentah dari Rusia. Selain Pertamina dari Indonesia, Reuters juga menyebut beberapa perusahaan dari negara lain yang masuk ke daftar itu. Misalnya, Neftochim Burgas, sebuah kilang di Bulgaria yang dimiliki Lukoil Rusia. Ada pula Miro, PCK Schwedt serta Leuna dari Jerman, Hellenic Petroleum dari Yunani, ISAB dari Italia, MOL dari Hungaria, Petroleum Hindustan, Indian Oil Corp dan Energi Nayara, ketiganya dari India, serta perusahaan-perusahaan pelat merah dari Cina.
Daftar serupa juga diterbitkan Al-Jazeera dalam artikel berjudul “List Of Companies Still Buying Russian Crude Oil” pada 29 Maret lalu. [ ]