Crispy

Puisi Kapitalis & Puisi Kanibal

Oleh IRZI Risfandi

Puisi pernah lama dipuja sebagai materi halus—kata-kata kecil yang bersuara lembut di pipi malam, lalu menghilang tanpa harus dibayar satu rupiah pun. Sekarang? Puisi mengikuti deru mesin kapital—berjanjilah akan viral, akan dibayar honornya, akan masuk feed brand. Semuanya ditempatkan dalam keranjang kata “value” yang dapat diukur dengan klik, engagement, dan ROI (Return On Inspiration).

Sakralnya puisi itu lunak: ditulis untuk hati, lalu dihadiahkan kepada sesama penyair. Tapi ketika puisi diletakkan di platform digital, ia menjadi aset. “Posting puisi + minimalist flatlay + tag akun brand kopi = engagement.” Praktis, hasilnya memunculkan dua tipe penyair: yang memelihara “brand poet” dan yang tetap jadi “poet preman”—yang satu merawat citra, yang lainnya menodai narasi.

Penyair brand menjalankan puisi seperti startup: survei audiens, ide, produksi konten, pre-order novel, soft-launch puisi singkat di newsletter premium. Mereka memodulasi bahasa agar aman, lembut, dan personal, agar audit investor—dansos, sponsorship, showcase—tidak salah pilih arang. Konser puisi di kafe hotel bukan soal baris final, tapi soal venue registration, press kit, goodiebag, itinerary publik. Jika puisi dianggap sebagai produk kreatif, penyair brand adalah CEO-nya: ia harus bisa bicara visi, produktivitas, nilai tambah. Puisi dibungkus packaging layanan multiproduk, dari e-book, poster, tas, merchandise puisi sampai walk-through audition.

Puisi brand punya kemewahan: mainstream, menggoda, resonan secara visual, punya ekosistem. Ia bisa jadi hashtag dan nama acara, tapi nadanya tak selalu berani. Ia jarang melejit kritis—karena kalau masuk ranah politik kuat, sponsor bisa mundur. Ia berjualan rasa empati—moderasi, human touch, inklusivitas safe space. Ia bagian dari ekonomi imitasi: bentuknya puisi, tapi fungsinya PR-brand, budaya urban, dan impresi jos gandos.

Sementara penyair preman? Ia adalah yang puisinya butuh marah, butuh berdarah. Ia tidak kejar engagement, tapi kemarahan batin. Ia menulis puisi kemiskinan yang tidak mau dipoles, sajak penolak reklamasi yang basah lumpur, dan frasa abang banting helm di lampu merah yang muncul dalam thread 300 pesan di grup WhatsApp. Ia susah diajak bisnis, tidak mau pasang keyword “self-care grid”, dan lebih mahir menyelipkan kritik dari bawah. Ia adalah isi hati publik—bukan aset brand.

Di sinilah puisi bertemu kanibalisme: ia menelan dirinya sendiri demi bertahan. Penyair brand menelan citra “kirim puisi berkualitas melalui Spotify-style session”, lalu menelan kritik “puisi mainstream”, agar lalu menjual diri sebagai penyair bahagia namun produktif. Penyair preman menelan kata “radikal” untuk membentuk sajak anti-kapital—tetapi dalam pamer sajak anti-kapital ia menelan penonton yang ingin provokasi tak terlalu keras. Keduanya menelan diri sendiri dalam cara berbeda.

Kanibalisme puisi juga terjadi dalam sistem produksi karya berulang. Penyair brand mengulang grade prestise: koleksi puisinya disusun ulang, diangkat jadi serial podcast, lalu repackaged sebagai e-book serial, yang tiba-tiba menjadi bestseller—lalu diundang lewat panel diskusi. Karyanya dikonsumsi secara datar: diwujudkan menjadi tanda grafis yang bisa ditempel di reels. Maka ia jadi content loop: kata makan diri.

Penyair preman tidak kalah parah: ia makan neraca samanya sendiri. Ia menulis puisi protes, lalu mendapat funding untuk tulis puisi protes—tiba-tiba ia diundang jadi juri festival poesis radical, dan menjadi sponsor entah siapa. Ia menjadi bagian ekosistem yang awalnya ditentang, tapi sekarang membayarnya. Puisi pun lahap: ia makan nilai-nilai yang dulu diprotes, lalu jadi simbol kritis mainstream. Ironis.

Budaya self-cannibalization ini seolah peracikan estetika: puisi diracik, lalu dibatalkan, lalu diproduksi ulang. Ia menjadi semacam serial TV yang butuh ratings tiap episode. Dan penyair, entah sadar atau tidak, menjadi host program hiburan super-singkat: hasil tetesan draf, kemas ulang, dan uploading—agar menghindari “ghost post” alias matinya engagement.

Tak hanya diri sendiri, puisi juga memakan ide-ide yang pernah menetaknya. Kata kritik dijual sebagai konten workshop. Ide ephemerality jadi teori branding Spotify. Konsep suffering jadi esensi iklan kopi solidaritas. Lalu penyair terakhir menggigit gaya platform mereka sendiri—menggunakan toolkit Instagram, space festival elite, jaringan ekonomi budaya—supaya meski berkata “anti-kapital” tetap bisa PJLP (Program Jabatan Lelehan Publik) dan memiliki dana stabil.

Kapitalisme kanal ini karena pasar memungkinkan puisi berkembang—festival, buku, acara—tapi juga mengandung bahaya: ia bisa mendistorsi esensi puisi jika terlalu mengikuti arus pasar. Kanibalisme muncul ketika puisi terlalu memenuhi tuntutan pasar, lalu “selamat” secara finansial, tapi kehilangan denyut perlawanan.

Namun bukan berarti kapitalisme harus jadi musuh. Kapitalisme juga memberi ruang: funding, kesempatan baca, pustaka, bahkan residensi antarnegara yang membuka kerangka estetik. Penyair bisa memanfaatkan kanal—tanpa kehilangan suara. Ia bisa brand tanpa jadi penipu ide; ia bisa preman tanpa jadi murni terasing.

Kuncinya adalah refleksi: penyair yang sehat membangun strategi gizi spiritual lengkap: ia membaca pasar agar puisinya bisa menyapa banyak orang; ia juga merangkul ketidaknyamanan publik agar puisinya tetap basah dan rumit. Seperti bodybuilder, penyair perlu protein komersial dan kardio non-komersial. Proposal didanai, rekomendasi publik muncul; tapi ia tetap pulang ke kamar kecil, menulis sajak berantakan, tanpa membutuhkan mic.

Karena kapitalisme dan kanibalisme puisi tidak bisa dihindari. Namun penyair bisa memilih cara kanibalisme yang sehat: ia boleh menelan pasar, tapi tetap menyisakan rasa getir. Ia boleh konsumsi nilai brand, tapi tetap punya nilai estetis yang tidak tercampur. Ia boleh menghasilkan produk, tapi tidak mengkhianati prosesnya.

Puisi yang hebat adalah puisi yang bisa hidup—dalam rona ekonomi dan ruang use-case yang berbeda. Ia meredam komodifikasi dengan ironi, dan mengubah konsumerisme menjadi ruang refleksi. Ia tetap menjadi puisi—kata yang bertahan, bukan kata yang dijual tanpa darah.

Karena puisi yang mati adalah puisi yang diam—tapi puisi yang dibunuh kapitalisme adalah puisi yang hanya bicara dalam harga, bukan dalam denyut. Jadi, pijakkan kaki di medan maraton ide—tapi tetap ingat bahwa jantung yang merdeka tidak hanya stamina yang kuat, tetapi juga yang bisa berhenti sejenak mencium bau puisi yang belum dijual.

Back to top button