
Menurut Rocky, seorang juru bicara bukan hanya harus komunikatif, tetapi juga mampu memahami “isi kepala Presiden”. Dalam pengertian ini, kata Rocky, sosok seperti Syahganda dibutuhkan: intelektual yang tidak hanya paham public policy dan opini publik, tapi juga bisa membaca sinisme rakyat dan menjawabnya dengan komunikasi yang substantif.
JERNIH– Nama Dr. Syahganda Nainggolan menguat sebagai calon kuat kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan atau Presidential Communication Office (PCO) menggantikan Hasan Nasbi. Selain dianggap paham ideologi pembangunan Prabowo Subianto, Syahganda juga dinilai memiliki kedekatan wacana dengan publik dan dunia pers.
Rocky Gerung, pengamat politik dan filsuf publik, secara eksplisit menyebut Syahganda sebagai sosok yang cocok mendampingi Prabowo dalam bidang komunikasi politik. Dalam wawancara bersama wartawan senior Hersubeno Arief, Rocky menyebut nama Syahganda delapan kali—jumlah yang ia kaitkan secara simbolik dengan sandi Prabowo: 08.
“Kalau ditanya nama, mungkin ada Syahganda Nainggolan,” kata Rocky. “Dia doktor sosiologi yang mengerti arah pembangunan. Saya baca berkali-kali tulisannya. Dia tetap kritis, tapi memberi poin bahwa Presiden Prabowo menginginkan kebijakan publik yang berorientasi langsung kepada kepentingan rakyat.”
Menurut Rocky, seorang juru bicara bukan hanya harus komunikatif, tetapi juga mampu memahami “isi kepala Presiden”. Dalam pengertian ini, kata Rocky, sosok seperti Syahganda dibutuhkan: intelektual yang tidak hanya paham public policy dan opini publik, tapi juga bisa membaca sinisme rakyat dan menjawabnya dengan komunikasi yang substantif.
“Juru bicara itu harus jujur, mengatakan kepada Presiden: ini kondisinya. Tapi juga harus bisa memperbaiki itu lewat headline yang substansial, melalui percakapan dengan jurnalis yang argumentatif,” ujar Rocky. “Karena Prabowo itu argumentative, terlatih membaca buku, terlatih berdebat.”
Rocky juga menyentil warisan pejabat komunikasi dari era Jokowi. “Satu per satu terbukti tidak bermutu,” ujarnya. Karena itu, ia mendorong pentingnya mengganti model komunikasi istana dengan figur yang lebih reflektif, jujur, dan tak sekadar memuji-muji Presiden.
Penilaian Rocky ini sejalan dengan pernyataan Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Teguh Santosa. Kepada wartawan, Teguh mengatakan bahwa kalangan media menyambut baik pengunduran diri Hasan Nasbi, yang selama ini dianggap kurang komunikatif dan berjarak dengan dunia pers.
“Syahganda bukan sosok asing bagi kalangan media. Ia artikulatif dan komunikatif menyuarakan gagasan pembangunan yang berorientasi pada keadilan dan kesejahteraan,” kata Teguh. “Saya menyimpulkan tidak sulit bagi Syahganda untuk membaca dan memahami pikiran pembangunan Prabowo dan mengkomunikasikannya kepada publik.”
Rocky bahkan menegaskan bahwa seorang juru bicara harus mengerti kritik sebagai bagian dari legitimasi. Ia mengutip pentingnya politic of hope—politik harapan—sebagai landasan membangun kepercayaan rakyat.
Dalam konteks ini, ajaran klasik Imam Syafi’i kembali relevan: “Jika engkau tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka engkau harus sanggup menahan perihnya kebodohan.” Figur seperti Syahganda, kata Rocky, telah teruji dalam lapangan pemikiran dan pergerakan.
Rocky menyebut Syahganda sebagai aktivis yang berulang kali masuk penjara, seorang yang telah kenyang pengalaman dengan dinamika politik, tekanan opini publik, dan ketajaman logika.
Ia juga menambahkan bahwa juru bicara yang dibutuhkan bukan hanya penyampai pesan, tetapi pengolah kritik dan pembaca suasana batin masyarakat. “Ia harus bisa menjadi penyambung lidah sekaligus penyaring suara rakyat,” kata Rocky.
Dalam lanskap komunikasi kekuasaan yang makin kompleks, penekanan Rocky mengingatkan kembali pada apa yang pernah dikatakan filsuf Italia Antonio Gramsci: “Krisis justru terjadi ketika yang lama belum mati sepenuhnya dan yang baru belum lahir sepenuhnya.”
Kekosongan posisi Kepala PCO pasca-mundurnya Hasan Nasbi membuka peluang untuk kelahiran “yang baru”—yakni model komunikasi kepresidenan yang jujur, tegas, cerdas, dan tidak menjilat.
Kini bola ada di tangan Presiden Prabowo. [dsy]