RUU Cilaka Kerap Dikritisi, Ombudsman Bakal Surati Dua Kementerian
JAKARTA – Polemik omnibus law dalam draf Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) yang banyak dikritik sejumlah pihak, membuat Ombudsman Republik Indonesia (ORI) berinisatif memanggil dua kementerian terkait.
Anggota ORI, Alamsyah Saragih, menjelaskan pihaknya bakal mengundang dua kementerian yakni Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Hukum dan HAM guna menanyakan ihwal RUU tersebut.
Menurut Alamsyah, pihaknya ingin mengetahui bagaimana proses penyusunan hingga terdapat beberapa pasal yang menuai kontroversi. Salah satu pasal
170 RUU Cipta Kerja yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).
“Kami mengundang dulu, kami mau dengarkan dulu saja, bagaimana sesungguhnya kok sampai keluar seperti Pasal 170,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (22/2/2020).
“Harmonisasi kan ada di Kumham . Itu yang kami akan tanya, kenapa sih kok gini? Siapa aja yang terlibat dan apa yang terjadi. Sehingga publik tahu, apakah benar salah ketik?” Alamsyah menambahkan.
Surat tersebut bakal dilayangkan pada pekan depan, Senin (24/2/2020). Adapun pertemuan diagendakan berlangsung pada pekan yang sama. Menurut Alamsyah, pertemuan digelar secara tertutup antara Ombudsman dan dua kementerian terkait.
“Kami akan lihat supaya nanti jadi catatan ke depan. Yang kedua, ini kan bukti bahwa ketertutupan itu jelek sekali,” ujar dia.
Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani, mengatakan pasal 170 dalam draf omnibus law RUU Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).
Pasal 170 menyatakan, pemerintah dapat mengubah sebuah undang-undang melalui peraturan pemerintah. Padahal pada pasal 1 UU PPP disebutkan peraturan pemerintah (PP) adalah peraturan yang dibuat pemerintah untuk melaksanakan undang-undang.
“Yang namanya Peraturan Pemerintah adalah peraturan yang dibuat dalam rangka melaksanakan UU (Pasal 1), kalau definisinya itu, PP boleh ada kalau ada UU yang perintahkan adanya PP,” ujarnya.
“Jadi kalau ada PP menggantikan UU itu tidak sesuai dengan pengertian PP di UU 15 tahun 2019,” Arsul melanjutkan.
Pemerintah seharusnya tidak membuat satu pasal dalam RUU Cipta Kerja yang menyatakan Undang-undang bisa diubah dengan peraturan pemerintah. Namun pemerintah dapat membuat prosedur khusus yang dibahas bersama DPR. Salah satu alternatif, mengubah Undang-Undang (UU), menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
“Kalau mau cepat lagi ya gunakan Perppu, ditafsirkan ada keadaan genting yang memaksa, bukan ganti ketentuan UU dengan peraturan pemerintah,” kata dia. [Fan]