Taliban datang ke tengah rakyat yang frustrasi oleh perang saudara dengan ideologi yang akan mengakhiri perang. Rakyat Afghanistan menerima dengan tangan terbuka, dan bersedia menjadi prajurit. Tahun 1998, bendera putih bertulis kalimat shahadat berkibar di 90 persen wilayah Afghanistan. Perang Saudara berakhir.
JERNIH — Masih ingat Mullah Omar?
Pemerhati Perang Melawan Teror yang dilancarkan AS dengan menyerang Afghanistan pasti tidak pernah lupa nama ini. Di tahun 2001, ketika AS dan NATO mulai menjatuhkan ratusan ribu ton bom ke sekujur Afghanistan, nama ini menghiasi halaman surat kabar AS dan negara-negara Barat hampir setiap hari.
Mullah Omar adalah satu dari dua nama yang diburu untuk dibom. Nama lainnya adalah Usamah bin Ladin, pemimpin AlQaidah.
Tahun-tahun berikut, setelah AS dan sekutunya menerjunkan pasukan ke Afghanistan, nama Mullah Omar seolah lenyap. Fokus AS hanya pada satu nama; Usamah bin Ladin, sebagai orang yang dikejar selama-lamanya.
Tidak ada yang tahu ke mana Mullah Omar. Kabar kematiannya tak pernah dikonfirmasi, karena AS tak punya akses ke lingkaran dalam Taliban dan orang-orang dekat Mullah Omar.
Kini, sebagian orang di Timur Tengah sedang mencoba mengembalikan ingatan tentang Mullah Omar. Arab News, misalnya, menurunkan tulisan Owais Tohid tentang pengalamannya menyaksikan Afghanistan era Perang Saudara dan kemunculan Mullah Omar dari sebuah madrasah di pinggir Kandahar.
Talib dan Taliban
“Taliban mengandalkan ulama untuk menerapkan hukum Syariah di tanah Allah ini,” kata Mullah Omar, saat kerumunan milisi bersenjata meneriakan perang.
“Generasi baru harus dilatih. Tugas kita adalah menggunakan kekuatan, mengambil senjata. Misi kita harus terpenuhi,” lanjut Mullah Omar.
Taliban, kata yang digunakan Mullah Omar untuk menyebut pengikutnya, berasal dari kata ‘talib’ yang artinya siswa. Taliban adalah kata jamak dari talib.
Prajurit Taliban berasal dari madrasah-madrasah di sekujur Afghanistan, yang menyambut gerakan Mullah Omar. Dalam pemahaman Mullah Omar, guru madrasah dan para ulama adalah penjaga ideologi, dan siswa adalah tentara masa depan.
Tidak sulit menjelaskan bagaimana Taliban dan Mullah Omar hanya butuh waktu singkat untuk mendapat tempat di hati rakyat Afghanistan.
Afghanistan pasca penarikan mundur Uni Soviet 1989 terjerumus ke dalam Perang Saudara tak berkesudahan. Mujahiddin, yang memerangi pasukan Uni Soviet dan pemerintahan Marxist bentukan Moskwa, gagal mengambil alih kekuasaan dalam waktu singkat.
Pashtun, etnis terbesar tapi bukan dominan, menjadi musuh bersama etnis lain; Uzbek pimpinan Abdul Rashid Dostum dan Tajik pimpinan Ahmad Shah Masood. Di sisi lain, Najibullah — boneka terakhir Uni Soviet di Afghanistan — masih berusaha berkuasa untuk menguasai jalur perdagangan narkoba.
Taliban datang ke tengah rakyat yang frustrasi oleh perang saudara dengan ideologi yang akan mengakhiri perang. Rakyat Afghanistan menerima dengan tangan terbuka, dan bersedia menjadi prajurit.
Tahun 1998, bendera putih bertulis kalimat shahadat berkibar di 90 persen wilayah Afghanistan. Perang Saudara berakhir.
Berikutnya adalah pemerintahan Taliban yang menerapkan hukum Islam secara penuh; sebuah masa ketika semua yang tidak berbau Islami dilarang. Musik, sepak bola, layang-layang, dilarang. Anak perempuan dikeluarkan dari sekolah.
Kelompok minoritas Hindu dan Sikh diperintahkan mengenakan kain kuning untuk mengidentifikasi mereka. Taliban, sengaja atau tidak, melakukan politik segregasi agama.
Pax Islamica a la Taliban
Taliban berkembang menjadi kekuatan terorganisasi. Tidak ada lagi pria brutal dengan sorban hitam, berkendara sepeda motor, menggertak penduduk di pinggir jalan. Tidak ada lagi buzkashi, permainan tradisional rebutan bangkai kambing oleh sejumlah penunggang kuda.
Perayaan Nowruz, tahun baru Persia pra-Islam, dilarang. Yang ada adalah sebuah kehidupan asketis yang membosankan, terutama bagi masyarakat yang sekian tahun menikmati semua yang ada dalam budaya tradisional non-relijius.
Selama masa kekuasaan Taliban, Mullah Omar membentuk Rehbari Syura — badan pembuat keputusan urusan politik dan militer. Badan ini mengontrol banyak komisi ekonomi, kesehatan, dan pendidikan, dan beroperasi seperti kabinet sendiri.
Semua yang menduduki kursi kabinet di bawah pimpinan Mullah Omar adalah mullah atau ulama. Hampir tidak ada figur non-ulama di pemerintahan Taliban.
Mereka hidup dalam kesederhanaan, seperti kebanyakan rakyatnya. Jika mereka berada di luar negeri untuk urusan diplomasi, dan makan menggunakan sendok dan garpu, Taliban percaya semua itu tidak akan membuat pemimpin mereka mengkhianati ideologi.
Prajurit Taliban percaya akan kekuatan tempur mereka, tapi mereka tak punya senjata canggih untuk menahan gempuran AS. Seorang wartawan Prancis, yang masuk ke Afghanistan di awal perang, menyaksikan prajurit muda Taliban berteriak ke pesawat pembom AS; “Hadapi kami di sini jika kalian memiliki keberanian.”
Taliban kembali
Kini, Taliban memiliki antara 55 ribu sampai 85 ribu pejuang terlatih. Kebanyakan dari mereka menempa diri selama belasan tahun perang melawan AS dan NATO dari satu ke lain medan tempur.
Orang Afghanistan yang melihat mererka memasuki kota-kota yang direbut mengatakan; “Mereka lebih siap daripada tahun-tahun sebelumnya.”
Rashid Khan, penduduk Nimroz, mengatakan; “Mereka memiliki kacamata penglihatan malam, senapan berteropong, kendaraan lapis baja, rompi antipeluru, dan perangkat nirkabel.”
Yang lebih mengejutkan adalah sejak hari pertama kebangkitan mereka, terhitung sejak AS mulai menarik pasukannya, Taliban berperang dengan senjata canggih buatan AS dan NATO.
Dari mana mereka dapatkan semua itu?
John Sopko, pejabat yang mengaudit pengeluarkan AS di Afghanistan, ujung dari rantai pasokan Washington adalah Taliban. Jadi, yang mempersenjatai dan memberi makan Taliban adalah AS.
Kita juga bisa mengatakan bahwa semua rantai distribusi senjata AS dan NATO berakhir di Taliban. Itulah ironi perang panjang, sesuatu yang diajarkan sejarah.
Taliban tak pernah bertujuan memenangkan perang melawan AS dan NATO, tapi membuat lelah prajurit Paman Sam dan negara-negara Eropa berlama-lama di tanah yang tak dikenalnya, sampai akhirnya mereka pergi meninggalkan semua senjata.
Jadi, Taliban yang muncul dari penghancuran berbagai senjata canggih AS adalah sekumpulan pasukan modern yang diajarkan lawannya. Taliban tidak lagi sama seperti 20 tahun lalu, dan mereka mungkin akan menghadapi konflik di dalam dirinya. [ ]