Setara Institute : Hakim Tunggal PN Bangkinang Abaikan Fakta Persidangan
Dua ahli tersebut mengatakan bahwa Sprindik yang sudah P21 tidak bisa digunakan untuk tersangka baru sebagai terusan. Ahli juga menyampaikan pelapor yang tidak memiliki legalitas tidak bisa diterima laporannnya. Bahwa bukti foto copy juga bukanlah alat bukti yang sah. Beragam fakta itu nyata-nyata tidak dipertimbangkan hakim. Bahkan bukti yang sudah dimusnahkan atas perintah pengadilan dan digunakan kembali oleh penyidik juga dianggap sah oleh hakim.
JERNIH– Sidang pembacaan putusan atas permohonan praperadilan dengan nomor perkara: 01/Pid.Pra/2022/PN.Bkn yang memutuskan menolak seluruh permohonan Pemohon, Ketua Kopsa M, Anthony Hamzah, menurut SETARA Institute memiliki kejanggalan dan pengabaian atas berbagai fakta persidangan.
Hal tersebut dikemukakan Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos, melalui pernyataan pers yang kami terima. Menurut Bonar, pegiat pro-demokrasi yang yang malang melintang di dunia aktivisme sejak masa-masa jaya Orde Baru itu, hakim tunggal yang mengadili perkara ini, Ersin, SH,MH, mengabaikan beragam fakta persidangan yang secara jelas menunjukkan tindakan tidak profesional, pelanggaran prosedur KUHAP dan serangkaian pelanggaran SOP serta administrasi yudisial yang dilakukan oleh penyidik Polres Kampar, Riau.
“Bahkan saksi Ahli Senior, Dr. Erdianto Effendi dan Dr. Jamin Ginting, yang dihadirkan di persidangan, serempak meyakini bahwa penetapan Anthony Hamzah sebagai tersangka adalah cacat hukum,” kata Bonar.
Bonar menunjuk bahwa dua ahli tersebut mengatakan bahwa Sprindik yang sudah P21 tidak bisa digunakan untuk tersangka baru sebagai terusan. Ahli juga menyampaikan pelapor yang tidak memiliki legalitas tidak bisa diterima laporannnya. Bahwa bukti foto copy juga bukanlah alat bukti yang sah. Beragam fakta itu nyata-nyata tidak dipertimbangkan hakim. Bahkan bukti yang sudah dimusnahkan atas perintah pengadilan dan digunakan kembali oleh penyidik juga dianggap sah oleh hakim.
Menurut Bonar, Putusan Tolak atas permohonan praperadilan yang diajukan oleh Ketua Kopsa M menunjukkan bahwa instrumen peradilan di Kabupaten Kampar bukanlah tempat yang kondusif untuk menegakkan keadilan. Sebagaimana dalam kerja mafia, kekuatan-kekuatan pengendali di balik peristiwa hukum yang dialami oleh Ketua Kopsa M dan juga 997 petani, telah bekerja efektif mengendalikan proses peradilan dan tidak membiarkan Anthony Hamzah bebas.
Bonar mengingatkan bahwa Anthony Hamzah disangka turut serta sebagai aktor yang menggerakkan perusakan di perumahan karyawan PT. Langgam Harmuni, sebuah perusahaan perkebunan ilegal, pada 15 Oktober 2020. “Pentersangkaan ini menjadi semakin ganjil, karena aktor yang dituduh di lapangan bahkan telah divonis melakukan pemerasan bukan perusakan. Bagaimana mungkin ada aktor penggerak tetapi tidak ada aktor lapangan! Inilah hal yang menyebabkan Anthony Hamzah dan Kopsa M mengajukan permohonan praperadilan,” kata Bonar.
Lebih lanjut Bonar menegaskan, Anthony Hamzah dibungkam karena memperjuangkan hak-hak 997 petani Kopsa M yang berurusan dengan PT. Langgam Harmuni dan PTPN V atas kemitraan yang tidak setara, penyerobotan lahan kebun, pembengkakan utang oleh PTPN V dan berbagai tekanan lainnya.
Sementara itu, kecewa dengan putusan Pengadilan Negeri Bangkinang, petani-petani Kopsa M menyerahkan satu kardus minuman jamu “Tolak Angin”, sebagai simbol agar hakim segera minum tolak angin sehingga kembali bugar. Para petani mengatakan, putusan tolak atas praperadilan Ketua Kopsa M, tidak akan menyurutkan perjuangan petani yang tergabung dalam Kopsa M. “Putusan ini justru membangkitkan kesadaran kolektif petani untuk terus memperjuangkan hak-hak mereka,” kata Bonar.
Untuk itu, kata Bonar, Tim Advokasi Keadilan Agraria-SETARA Institute dan Kopsa M mendesak Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk memeriksa hakim tunggal praperadilan di PN Bangkinang tentang kemungkinan adanya standard etik dan prinsip imparsialitas yang dilanggar. “Komisi Yudisial yang hadir dan merekam seluruh proses sidang, memiliki bekal yang cukup untuk bersikap,” kata sang aktivis. [rls]