
Dunia sepakbola terhenyak oleh kematian Obaid yang tewas di tangan zionis Israel. Gary Lineker dan Eric Cantona sampai geram dibuatnya. Sementara pejabat FIFA terdiam layaknya para pemimpin negara di dunia.
JERNIH – Di tengah gempuran senjata dan bara konflik yang tak kunjung padam, rakyat Palestina kembali kehilangan salah satu putra terbaiknya. Suleiman Ahmed Zaid Al-Obaid, mantan kapten tim nasional dan legenda sepak bola Gaza, gugur dalam serangan udara Israel di Rafah, Gaza selatan, pada Rabu, 6 Agustus 2025. Ia tewas dalam kondisi memilukan—saat sedang mengantre bantuan kemanusiaan, mencari setitik harapan di tengah reruntuhan.
Julukannya tak main-main: “Pele Palestina”, “Permata Hitam dari Gaza,” hingga “Thierry Henry-nya Palestina.” Namun lebih dari sekadar sebutan, Obaid adalah lambang kegigihan, bakat, dan semangat yang tak pernah padam, bahkan di tengah keterbatasan dan bahaya yang mengintai setiap hari.
Mutiara dari Gaza
Suleiman Obaid lahir di Gaza pada 24 Maret 1984. Sejak belia, bakatnya di lapangan hijau memikat banyak mata. Ia dikenal sebagai penyerang lincah dan mematikan, dengan kecepatan, visi permainan, serta teknik luar biasa yang membuatnya menjadi ikon sepak bola Palestina.
Kariernya di kancah domestik mencatatkan lebih dari 100 gol, menjadikannya salah satu pemain paling produktif sepanjang sejarah negeri yang dibalut penderitaan itu. Namun bagi warga Gaza, Obaid lebih dari sekadar pencetak gol—ia adalah simbol harapan. Di tengah blokade, suara drone, dan debu reruntuhan, sepak bola dan Obaid menjadi pelipur lara, pengingat bahwa masih ada yang layak diperjuangkan.

Pemimpin di Tengah Derita
Obaid memulai debutnya bersama Tim Nasional Palestina pada 2007, dalam laga melawan Irak di Kejuaraan Asia Barat. Sepanjang karier internasionalnya hingga 2013, ia mengoleksi 24 caps dan 2 gol—yang keduanya tak terlupakan.
Salah satunya tercipta melalui tendangan salto spektakuler ke gawang Yaman pada 2010, sebuah momen yang membawa kegembiraan langka bagi rakyat Palestina. Gol lainnya lahir di tanah Indonesia, saat laga persahabatan melawan Timnas Garuda di Stadion Manahan, Solo, 22 Agustus 2011. Kala itu, Obaid mengangkat nama negaranya lewat sebuah lob indah di menit ke-48, sempat membawa Palestina unggul sebelum akhirnya kalah 1-4.
Obaid juga menjadi sosok penting dalam berbagai ajang internasional seperti kualifikasi AFC Challenge Cup 2012, Kualifikasi Piala Dunia 2014, dan Pan Arab Games. Sebagai kapten, ia tak hanya memimpin permainan, tetapi juga memikul harapan dan semangat perjuangan seluruh rakyatnya.
Gugur Saat Mencari Harapan
Ironisnya, kehidupan Obaid berakhir bukan di lapangan hijau, melainkan di garis antrean bantuan kemanusiaan—tempat di mana ratusan warga Gaza menunggu dengan cemas untuk menerima sekotak makanan atau sebotol air bersih. Di sana, rudal menghujam, dan nyawanya melayang.
Federasi Sepak Bola Palestina (PFA) mengonfirmasi kabar duka ini sehari kemudian, menyebutnya sebagai “salah satu putra terbaik sepak bola Palestina yang gugur dalam tragedi kemanusiaan.”
Ia meninggalkan seorang istri, dua putra dan tiga putri, serta warisan yang akan terus hidup dalam ingatan generasi muda Palestina. Ia bukan hanya kehilangan bagi olahraga, tetapi juga simbol betapa olahraga tak bisa lepas dari politik dan penderitaan di tanah penjajahan.
Dunia Sepak Bola Terdiam
Kematian Obaid menyulut gelombang solidaritas dari penjuru dunia. Legenda Manchester United, Eric Cantona, menuliskan dengan lantang di akun Instagram-nya:
“Israel baru saja membunuh bintang tim nasional Palestina, Suleiman Al-Obaid, saat menunggu bantuan di Rafah. Berapa lama lagi kita akan membiarkan genosida ini? Bebaskan Palestina.”
Senada dengan itu, Gary Lineker, mantan striker Inggris dan komentator terkemuka, menyindir:
“Kami tak mendengar Anda, FIFA,”—menyoroti diamnya otoritas sepak bola dunia terhadap tragedi kemanusiaan ini.
Di media sosial, tagar #BoycottIsrael dan #JusticeForObaid menggema. Ribuan netizen menyerukan agar FIFA dan UEFA menjatuhkan sanksi tegas terhadap Israel. Komentar-komentar seperti “FIFA harus menghukum Israel sekarang” dan “Kebisuan FIFA adalah noda bagi dunia sepak bola” membanjiri lini masa.
Sebuah Warisan, Bukan Sekadar Statistik
Kematian Obaid hanyalah satu dari deretan panjang korban dari dunia olahraga Palestina. Menurut catatan PFA, setidaknya 662 insan olahraga—termasuk atlet, pelatih, dan ofisial—telah gugur akibat serangan Israel sejak Oktober 2023. Obaid menjadi pemain Timnas ketiga yang gugur, setelah Mouyin Al-Maghribi dan Mohammed Barakat.
Namun dalam tiap kehilangan, ada pula kisah keberanian dan keteguhan yang menyala. Sepak bola di Palestina bukan semata permainan. Ia adalah perlawanan sunyi, adalah harapan yang menggeliat di tengah puing, dan adalah napas terakhir dari mereka yang percaya bahwa keadilan suatu hari akan datang.
Suleiman Obaid telah tiada, namun semangatnya akan terus hidup—di setiap tendangan anak-anak Gaza yang bermain di jalanan berdebu, di setiap sorakan penonton di stadion yang tersisa, dan di hati mereka yang menolak menyerah.
Ia bukan hanya Pele Palestina. Ia adalah wajah dari keberanian itu sendiri.(*)
BACA JUGA: Israel Membunuh Anak-anak Satu Ruang Kelas Setiap Hari di Gaza