Tim Intan Jaya Ungkap Identitas Terduga Pelaku Penembakan Pendeta di Papua
Kolonel I Gusti Nyoman Suriastawa, menepis temuan tersebut dan mengatakan masih menunggu hasil penyelidikan resmi Kepolisian. “Sah-sah saja jika ada pihak lain yang mau melakukan investigasi. Tapi tolong gunakan analisis yang masuk akal. Alpius itu sudah dianggap seperti keluarga, masak dia tega membunuh keluarganya sendiri?” kata Suriastawa.
JERNIH– Salah satu dari tiga tim independen yang menginvestigasi pembunuhan seorang pendeta bulan lalu di Kabupaten Intan Jaya, Papua, mengungkapkan identitas salah satu dari dua anggota TNI yang diduga terlibat dalam aksi tersebut. ‘Temuan’ itu ditepis pejabat TNI di Papua.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan perintah dan tim investigasi dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga telah merilis hasil temuan mereka minggu lalu, tanpa mengungkapkan identitas langsung terduga pelaku. Tim Kemanusiaan untuk Intan Jaya, kelompok investigasi independen yang terdiri dari aktivis dan tokoh masyarakat Papua, mengatakan bahwa seorang tentara bernama Alpius dan rekannya yang tidak diungkapkan namanya berada di balik penembakan Pendeta Yeremia Zanambani. Keduanya bertugas di Komando Rayon Militer (Koramil) Hitadipa– tak jauh dari kediaman korban.
“Informasi yang kami dapat itu mengerucut pada Alpius, anggota TNI yang ada di Koramil persiapan di Hitadipa. Alpius ditemani satu orang lagi yang kami tidak dapat namanya,” kata Haris Azhar, ketua Tim Kemanusiaan untuk Intan Jaya kepada BenarNews, Jumat.
Haris menyebut kedua pelaku tidak hanya melepaskan peluru ke arah bagian tangan kiri korban, tapi juga menikam dengan pisau militer di bagian leher belakang. “Sebenarnya ada empat anggota, tapi yang dua ini berjaga di lokasi lain. Alpius dan satu orang lainnya naik ke kandang babi tempat Pendeta Yeremia berada,”kata dia.
Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III yang membawahi wilayah Papua, Kolonel I Gusti Nyoman Suriastawa, menepis temuan tersebut, mengatakan ia masih menunggu hasil penyelidikan resmi kepolisian. “Sah-sah saja jika ada pihak lain yang mau melakukan investigasi. Tapi tolong gunakan analisa yang masuk akal. Alpius itu sudah dianggap seperti keluarga, masak dia tega membunuh keluarganya sendiri?” kata Suriastawa.
Temuan dari Tim Kemanusiaan memang menyebut Alpius sudah seperti keluarga sendiri bagi korban. Tentara itu kerap datang ke rumah korban untuk menumpang mandi, makan, atau mengambil air untuk perkebunan.
“TGPF yang resmi dibuat pemerintah sudah menyelesaikan investigasinya dan di situ memang dibilang ada dugaan oknum (TNI). Tapi juga ada kemungkinan pihak ketiga, KKB,” kata Suriastawa, merujuk pada Kelompok Kriminal Bersenjata, sebutan aparat pada kaum separatis Papua.
Hasil penelusuran
Tim Kemanusiaan untuk Intan Jaya, yang terdiri dari tokoh masyarakat dan agama, pegiat HAM dan juga jurnalis termasuk salah satunya seorang wartawan BenarNews, mengatakan mereka mendapat identitas pelaku dari hasil penelusuran saksi dan juga istri Yeremia, Meriam Zoani, yang masih sempat berkomunikasi dengan korban sebelum menghembuskan nafas terakhir.
“Saat Mama Meriam menjemput pendeta ke kandang babi, didapati pendeta sudah tersungkur jatuh di atas tanah berlumur darah. Akan tetapi pendeta masih bisa berkomunikasi lisan dan mengatakan, “Orang yang kita kasih makan yang tembak dan tikam”,” tulis laporan Tim Kemanusiaan.
“Jadi Alpius ini cukup dikenal dan bahkan dapat julukan dengan tambahan satu marga lokal karena dia suka ikut ibadah di satu gereja yang banyak dari marga atau keluarga tertentu,” kata Haris.
Kepala Pusat Penerangan TNI Achmad Riad saat diminta komentar perihal temuan ini menyatakan sejauh ini pihaknya hanya berpegang pada hasil investigasi yang dilakukan TGPF bentukan pemerintah. “Kemenkopolhukam atas nama negara yang membentuk resmi TGPF. Rilis dari Menkopolhukam sudah cukup jelas,” kata Riad melalui pesan singkat kepada BenarNews.
Rabu pekan lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mohammad Mahfud MD menyebut adanya keterlibatan aparat keamanan dalam insiden penembakan Yeremia merujuk dari hasil investigasi yang dilakukan TGPF selama 21 hari di Distrik Hitadipa.
Mahfud tidak menyebut detail berapa jumlah dan identitas aparat yang terlibat, namun hanya mengatakan bahwa laporan tersebut akan diserahkan kepada otoritas penegak hukum untuk ditindaklanjuti. “Karena hasil penyelidikan pencarian fakta ini akan diberikan sebagai informasi tentang berapa orang, siapa, itu langsung ke aparat penegak hukum. Saya katakan ini bukan pro justicia, nggak boleh sebut orang,” kata Mahfud.
Sementara itu, Haris mengatakan identitas anggota TNI yang diduga bertanggung jawab atas kematian Yeremia telah diserahkan kepada pemerintah, termasuk TGPF. “Saat istrinya (Yeremia) diperiksa TGPF, si Mama minta Alpius dihadirkan,” kata Haris, seraya menambahkan bahwa yang bersangkutan juga sempat hadir dalam pemeriksaan tersebut. “Jadi TGPF Benny Mamoto sudah tahu.”
Ketua TGPF, Benny Mamoto, mengatakan timnya tidak memiliki kewenangan untuk membuka nama pelaku ke publik karena hal tersebut adalah ranah penyidik setelah ditemukan dua alat bukti yang valid.
Selain itu, Benny mengatakan bahwa hingga detik terakhir timnya melakukan investigasi ke tempat kejadian perkara, tidak ditemukan satu pun saksi mata yang bersedia untuk memberikan pengakuan. “Sampai saat terakhir belum ditemukan saksi mata peristiwa penembakan tersebut sehingga tidak elok kalau sudah menyebut nama pelakunya,” kata Benny kepada BenarNews.
Benny memastikan, seluruh temuan TGPF sudah diserahkan kepada Panglima TNI, Kapolri, Kepala Staf AD, Kepala BIN, hingga Menteri Dalam Negeri untuk ditindaklanjuti.
“Temuan TGPF lebih lengkap karena narasumbernya termasuk anggota Polri, termasuk penyidik, dan anggota TNI, di samping keluarga korban dan tokoh agama, tokoh masyarakat,” katanya.
Sementara itu hasil investigasi Komnas HAM mengatakan bahwa terdapat belasan kasus yang terjadi di Intan Jaya yang menurut Anam melengkapi kasus kematian Yeremia. “Terkait dengan peristiwa kematian Pendeta Yeremia, Komnas HAM menemukan fakta bahwa peristiwa tersebut tidak berdiri sendiri. Terdapat rentetan peristiwa lain yang terjadi sebelumnya,”kata Komisioner Komnas HAM, M. Choirul Anam, dalam rilis yang dibagikan Minggu (17/10) lalu.
Rentetan kekerasan
Tim Kemanusiaan menyoroti serangkaian rentetan peristiwa di Hitadipa, baik berupa kontak senjata antara aparat dengan kelompok separatis, kekerasan terhadap warga sipil hingga perampasan ruang hidup dimulai sejak aparat TNI mulai bermukim di wilayah perkampungan tersebut.
Pada Oktober 2019, TNI mulai mempersiapkan diri untuk mencari lokasi bermukim di Hitadipa, sebut laporan itu. Ketika itu masyarakat sempat menawarkan lokasi untuk TNI di atas Bukit Umbuapa, namun tawaran ditolak aparat.
Desember 2019, saat warga Hitadipa banyak melakukan aktivitas di luar kampung, tentara mulai menduduki SD YPPGI dan SMP Satu Atap di Hitadipa yang hingga kini dijadikan markas Koramil.
Pada periode waktu yang sama, rentetan kekerasan di Hitadipa dimulai dengan kontak senjata antara TNI dengan kelompok separatis dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Kekerasan kemudian meningkat pada Januari 2020, saat Alex Kobagau, seorang warga sipil meninggal karena tembakan aparat, setelah dia dituding sebagai oknum separatis.
Kemudian pada 21 April 2020, dua orang warga sipil diamankan dengan dalih pencegahan COVID-19 oleh anggota TNI setempat. Namun hingga kini, kedua orang tersebut tidak diketahui lagi status dan keberadaannya.
Ketika itu, almarhum Pendeta Yeremia sempat meminta kejelasan kepada Dandim setempat terkait status keduanya seraya mengatakan, “Jika sudah meninggal, mohon tunjukkan di mana kuburnya, agar keluarga bisa berduka. Jika masih hidup, mohon dikembalikan.”
Puncak kekerasan terjadi pada 17 dan 19 September 2020, saat Serka Sahlan, Pratu Dwi Akbar Utomo, serta seorang warga sipil tewas oleh kelompok separatis Papua. Sementara pada hari tersebut, Pendeta Yeremia juga tewas oleh pihak yang hingga kini belum dipastikan kejelasannya.
Haris Azhar menduga penembakan terhadap Pendeta Yeremia berkaitan dengan kematian dua orang prajurit TNI tersebut. “Kami justru melihat bahwa serangan kepada anggota TNI itu dibebankan kepada warga sipil yang ada di Distrik Hitadipa. Kami tidak menemukan korelasi apa hubungan antara serangan KKB kepada anggota TNI dengan ini,” kata pria yang juga pendiri firma hukum, Yayasan Lokataru itu.
Tim tersebut juga mendapati adanya penambahan pasukan pasca-insiden berdarah pada September itu. Jika saat pertama kali tiba di Hitadipa sebanyak 75 pasukan ditugaskan ke Koramil, setelah 17 September 2020, anggota di markas tersebut bertambah sekitar 30 orang lagi.
“Selain dari pasukan-pasukan yang sudah ada seperti pasukan organik dan non-Organik; diantaranya, pasukan 433 Brawijaya, Kopassus 1 Regu, Pasukan 753 Infantri,” kata laporan itu.
Atas dasar tersebut, tim mendesak Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk memerintahkan Panglima TNI Hadi Tjahjanto untuk menarik pasukan dan menghentikan operasi militer di Intan Jaya dan meminta Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM berat di Hitadipa.
Tim juga meminta kepada Gubernur Papua Lukas Enembe untuk membantu Pemerintah Daerah Intan Jaya memulihkan psikologi sosial masyarakat Hitadipa yang trauma dan takut untuk kembali ke kampung halaman mereka tersebut. “Karena selain mereka trauma, masyarakat berkeyakinan bahwa Hitadipa adalah Tanah Suci, tanah misi gereja yang tidak boleh terjadi praktik kekerasan,” kata Kepala Bidang Keadilan dan Perdamaian Sinode Gereja Kristen Injil (GKI) Tanah Papua, Pendeta Dora Balubun, dalam telekonferensi, Kamis (29/10) lalu. [benarnews]