Moron

Mundur dari Universitas Negeri Portland, AS, Seorang Profesor Bilang Sekolah Adalah ‘Social Justice Factory’

“Lembaga pendidikan tinggi dan para pemimpinnya telah melepaskan misi pencarian kebenaran universitas dan sebaliknya mendorong intoleransi terhadap keyakinan dan pendapat yang berbeda,” tambah Boghossian. “Ini telah menciptakan budaya gampang tersinggung, di mana siswa sekarang takut untuk berbicara secara terbuka dan jujur.”

JERNIH—Seorang profesor Universitas Negeri Portland, AS, Peter Boghossian menyatakan mengundurkan diri dari posisinya. Dalam sebuah surat terbuka yang ia sampaikan, Boghossian menuduh administrasi perguruan tinggi menciptakan lingkungan yang membahayakan perbedaan pendapat.

“Saya tidak pernah sekalipun percaya—tidak juga saat ini– bahwa tujuan pengajaran adalah untuk mengarahkan siswa saya pada kesimpulan tertentu,”kata profesor filsafat tersebut. Sebaliknya, kata Boghossian, dirinya selalu berusaha menciptakan kondisi untuk pemikiran yang ketat; untuk membantu mereka mendapatkan alat untuk berburu dan menggali kesimpulan mereka sendiri. “Inilah yang membuat saya menjadi seorang guru, dan membuat saya suka mengajar.”

Namun seiring waktu, menurutnya, Universitas Negeri Portland—sebuah perguruan tinggi yang didanai publik—membuat “eksplorasi intelektual menjadi tidak mungkin”.  Universitas telah mengubah dirinya menjadi “pabrik keadilan sosial” dengan fokus utama pada ras, korban, dan gender.

“Mahasiswa di Portland State tidak diajari untuk berpikir. Sebaliknya, mereka dilatih untuk meniru kepastian moral para ideolog,”kata surat yang diterbitkan di halaman Substack Bari Weiss. Substack adalah sejenis media social, dan Weiss sendiri sebelumnya bekerja untuk New York Times hingga 2020 ketika dia mengundurkan diri, menuduh rekan-rekannya di Times melakukan intimidasi dan berpendapat bahwa surat kabar itu menyerah pada kampanye tekanan berbasis Twitter.

“Fakultas dan para pemimpinnya telah melepaskan misi pencarian kebenaran universitas dan sebaliknya mendorong intoleransi terhadap keyakinan dan pendapat yang berbeda,” tambah Boghossian. “Ini telah menciptakan budaya gampang tersinggung, di mana siswa sekarang takut untuk berbicara secara terbuka dan jujur.”

Universitas Negeri Portland belum segera menanggapi permintaan komentar dari The Epoch Times.

Dalam suratnya itu Boghossian juga mengatakan, seiring waktu, dia menghadapi pembalasan karena berbicara menentang narasi akademisi seputar ras, gender, dan keadilan sosial.

“Bagi saya, tahun-tahun berikutnya ditandai dengan pelecehan yang berkelanjutan. Saya akan menemukan selebaran di sekitar kampus, saya dengan hidung Pinokio. Saya diludahi dan diancam oleh orang lewat saat berjalan ke kelas. Saya diberitahu oleh mahasiswa bahwa rekan-rekannya menyuruh mereka menghindari kelas saya, ”tulisnya.

“Tentu saja, saya menjadi sasaran penyelidikan lebih lanjut. Saya berharap saya dapat mengatakan bahwa apa yang saya gambarkan tidak memakan korban pribadi. Tapi itu telah mengambil korban: kehidupan kerja yang semakin tidak dapat ditoleransi dan tanpa perlindungan.”

Bertahun-tahun lalu, Boghossian menjadi berita utama ketika dia dan dua penulis lainnya mengirimkan studi ras, gender, seksualitas, dan budaya palsu ke jurnal akademik, untuk melihat apakah mereka akan lolos dari tinjauan sejawat dan diterima untuk publikasi.

Banyak dari makalah-makalah ini kemudian diterbitkan, yang menurut Boghossian dan yang lainnya, disebabkan oleh kriteria-kriteria yang lesu dan kebusukan institusional di beberapa bidang akademik. [The Epoch Times]

Back to top button