Achmad Zaini, Oemar Bakrie yang Tersisa di Zaman Ini
PAMEKASAN– Mungkin sudah tak banyak lagi sosok guru seperti Ustaz Achmad Zaini. Ia mengajar penuh pengabdian dan tidak pernah mengharap gaji dari pemerintah.
Achmad Zaini biasa dipanggil warga sekitar ‘ustaz’. Mesti tak muda lagi, semangatnya masih penuh mengasuh Raudhatul Athfal (RA) Kholid Bin Walid di Dusun Korong Daja, Desa Sana Tengah, Kecamatan Pasean, Kabupaten Pamekasan, Madura.
RA Kholid bin Walid yang sudah berusia 19 tahun berdiri itu dibangun dari hasil swadaya masyarakat. Sementara Ustaz Achmad Zaini menyediakan lahannya. Awal pembangunan dibuat dua ruang belajar. “Ada yang menyumbang uang, ada yang membantu material bangunan. Sebagian membantu tenaga sebagai tukangnya,” kata Zaini. “Ini bukan hasil sendirian, ini hasil swadaya. Saya hanya menyedia lahan.”
Sampai saat ini Lembaga RA Kholid Bin Walid masih bertahan. Kondisinya sudah mulai jelek. Sejak berdiri sampai saat ini belum pernah direnovasi atau direhabilitasi. Sejak berdiri, murid di lembaga pendidikan ini hanya diasuh satu pendidik. Tak lain pengasuhnya sendiri yakni Ustaz Zaini. Sebagai pengasuh, Zaini dikenal cukup tekun dan telaten dalam mendidik semua murid. Siapa pun yang dididiknya, bisa memahami dan mudah menangkap pelajaran.
Suami Khozaimah itu bercerita latar belakang pendirian RA Kholid bin Walid di tahun 1990-an, semata karena banyak anak putus sekolah akibat banyak orang tua mengeluarkan anaknya dari SDN yang mereka anggap terlalu mementingkan pengetahuan umum. Sementara wawasan keagamaan dan pendidikan karakter dinilai lebih banyak diabaikan.
“Baru masuk kelas dua dan tiga, orang tuanya minta berhenti. Orang tuanya mengeluh karena anaknya tidak diberi pelajaran ilmu agama,”kata Zaini. Kondisi itu mendorong Zaini mendirikan lembaga RA Kholid Bin Walid. “Masyarakat menginginkan lembaga ini lebih fokus pada pelajaran agama,” kata dia. Tekad masyarakat itu juga ditunjukkan dengan kuatnya legalitas lembaga tersebut.
“Lembaga ini berbadan hukum lengkap. Akta notaris pendirian lembaga, dan SK Kemenkum HAM. Lengkap,” kata dia.
Pengajar yang menginjak usia 55 tahun itu mungkin secara kompetensi belum memenuhi standard pendidikan nasional. Secara kapasitas, ia bukan sarjana pendidikan, hanya lulusan pendidikan Madrasah Aliyah tahun 80-an.
Namun kemampuan mendidiknya tidak diragukan. Materi pelajaran, telah satu per satu dipelajarinya. Terutama materi ajar agama. “Saya tidak mengikuti kurikulum yang ditentukan pemerintah,” kata Zaini.
Sampai saat ini lembaga yang dipimpinnya tidak mengikuti kurikulum pemerintah. Hal itu berkaitan dengan asal-usul sejarah berdirinya lembaga tempat masyarakat sekitar ingin anak-anak mereka peka terhadap pengetahuan agama dibanding pengetahuan umum.
“Kurikulum pemerintah justru banyak dikomplain masyarakat. Kurikulum yang ditentukan pemerintah cenderung kurang memperhatikan basis kultur masyarakat perdesaan,” kata Zaini.
Saat ini jumlah muridnya mulai berkurang karena lembaga yang sama mulai banyak didirikan. Seiring berjalannya waktu, dari dua kelas, yang difungsikan hanya satu kelas. Saat ini murid yang masih aktif tersisa 16 orang. Mereka belajar mulai 07.30 pagi dan tidak dipungut biaya. Siswa juga tidak berseragam sekolah. Bahkan yangmenarik, tidak ada pendaftaran atau penerimaan siswa. Zaini cukup mempersilakan masyarakat yang menginginkan anaknya mengenyam pendidikan di lembaganya datang dan belajar. “Silakan. Saya akan mendidiknya dengan penuh tanggung jawab,” katanya.
Usia muridnya bermacam-macam. Mulai usia tiga tahun, empat tahun, hingga enam tahun. Mereka dilebur dalam satu kelas. Akan tetapi metode belajar disesuaikan dengan kemampuan anak.
Zaeni mengakui di lembaga Pendidikan yang ia asuh, cara penyampaian kurikulum tidak seperti yang diterapkan pemerintah. Metode belajar yang diajarkan, dipelajarinya secara otodidak. “Saya kuasai metode dan caranya, baru disampaikan ke murid,” kata dia.
Motivasi Zaini untuk mengabdi agama dan bangsa, sangatlah tinggi. Dia ingin setengah hidupnya bisa diberikannya untuk berjuang di jalan dakwah, menjadi seorang pendidik. Ia bahkan tidak mengurus gaji, meskipun ia sudah memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) yang secara prosedur sudah cukup memenuhi syarat. Ada wasiat gurunya yang membuat Zaini mengabdi tanpa mempertimbangkan gaji.
Wasiat itu yang saat ini menjadi prinsip hidupnya. “Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja tetapi harus juga mendidik si murid akan dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum.” [tvl]