Imam Hasan Al-Bashri dan Kematiannya yang Mengganggu Ashar
Imam Hasan Al-Bashri disebut-sebut sebagai salah seorang orator pada zamannya. Tampaknya hal itu ia pelajari dari gurunya, Imam Ali bin Abu Thalib.
JERNIH—Hasan Al-Bashri adalah wali sufi yang hidup pada masa awal kekhalifahan Umayyah. Beliau lahir di Madinah pada 21 Hijrah (642 Masehi). Orang tua Hasan adalah pasangan Yaser dan Khayra. Atas kelahiran Al-Bashri, keduanya membebaskan budak. Hasan Al Bashri dibesarkan dalam lingkaran keluarga Nabi.
Ada cerita yang mengatakan Umar bin Khattab adalah orang yang memberikan nama Hasan (yang berarti indah) kepadanya dan berdoa untuknya ketika ia masih kecil. Dia bertemu lebih dari 100 sahabat Nabi, 70 di antaranya adalah ghazi yang bergabung dengan Pertempuran Badr.
Hasan belajar pertama kalin ke Wadi al-Qura. Anas bin Malik, seorang sahabat Nabi, adalah tutornya. Setelah itu, keluarga Al-Basri pindah ke Basra setelah Pertempuran Siffin yang mengakibatkan bentrokan politik bersenjata antarsekte.
Basra berfungsi baik sebagai pelabuhan komersial dan sebagai pangkalan militer. Ekspedisi militer turun dari Basra ke timur, beberapa di antaranya ikut Al-Basri. Ia menemani Rebi ibn Ziyad, komandan salah satu ekspedisi semacam itu, sebagai juru tulisnya. Dia juga berpartisipasi dalam ekspedisi militer lain di Kabul.
Setelah kembali ke Bashra, Hasan bertindak sebagai qadi (hakim Islam) tanpa dibayar untuk sementara waktu atas permintaan gubernur, Suleiman ibn Harb. Setelah berhenti dari pekerjaannya, ia mulai bergelut di bidang dakwah Muslim.
Imam Hasan Al-Bashri disebut-sebut sebagai salah seorang orator pada zamannya. Tampaknya hal itu ia pelajari dari gurunya, Imam Ali bin Abu Thalib. Ia terkenal apolitis dalam sikapnya terhadap kekuasaan. Dia tidak pernah mendukung Dinasti Umayyah. Namun, ia tidak pernah berpartisipasi dalam pemberontakan melawan pemerintahan Umayyah. Di sisi lain, dia menentang mereka dalam situasi tertentu.
Misalnya, ia mengkritik Muawiyah, pendiri dan khalifah pertama Kekhalifahan Umayyah. Ketika ia menugaskan Yazid, putranya sebagai ahli warisnya karena ia tidak mampu, Hasan Al-Basri mengutuk Hajjaj, gubernur Bani Umayyah yang kejam.
Al-Basri menawarkan cara kesalehan yang intens dengan mengatakan bahwa Muslim sejati harus menghindari warna dan rasa dunia ini demi manfaat yang akan dikumpulkan di dunia lain. Pendekatan dunia lain ini mengumpulkan massa di sekelilingnya.
Suatu kali dia berkhotbah: “Setiap umat memiliki idola sendiri. Idola ummah ini adalah emas dan perak.” Dia selalu menekankan bekerja menuju dunia lain dan tidak melakukan apa pun untuk yang satu ini.
Hasan Al-Bashri mewujudkan apa yang dia khotbahkan, sehingga itu memiliki dampak besar pada semua orang di sekitarnya. Dia mengajar banyak siswa. Menurutnya, munafiq (orang munafik) mampu melakukan lebih banyak kerusakan pada Islam daripada seorang kafir (orang kafir).
Karena Muslim tidak percaya pada apa yang kafir lakukan atau katakan, tetapi mereka bisa ditipu oleh seorang munafik. Untuk perdebatan nasib bebas, Imam Hasan menolak fatalisme dan membela bahwa orang bertanggung jawab atas tindakan mereka, yang menyebabkan beberapa kritikus percaya bahwa dia adalah seorang Mutazili, sebuah sekolah teologi Islam rasionalis.
Faktanya, Hasan Al-Basri berada di jalur yang ketat yang telah dilalui oleh Ahl al-Sunnah (Muslim Sunni) sejauh ini. Di sisi lain, sekte teologi Mu’tazilah dan Ashariyyah memuji hasan Al-Bashri sebagai salah satu pendiri mereka.
Bagi kebanyakan sejarawan dan kritikus, Hasan Al-Basri adalah pendiri asketisme dan mistisisme Islam, yang berarti bahwa para Sufi berhak menempatkannya pada tahap kritis dalam sejarah mereka. Dia adalah koneksi para sahabat Nabi dengan generasi berikutnya.
Menurut salah satu cerita ini, Al-Basri pada awalnya adalah pedagang emas dan perak tetapi melihat temporalitas kekayaan ketika dia mengamati bahwa tidak seorang pun termasuk prajurit, ulama, pelayan dapat melakukan apa saja terhadap kematian seorang pangeran tercinta di Byzantium. Jadi, ia memutuskan untuk berhenti dari semua kekayaan materi dan mendedikasikan hidupnya untuk membaca, merenungkan, dan berkhotbah.
Dalam khutbah-khutbahnya, ia kebanyakan menggarisbawahi bahwa seorang Muslim sejati tidak hanya harus menghindari dosa tetapi tetap berada dalam kecemasan yang terus-menerus terhadap kenyataan bahwa kematian itu pasti, dan tidak ada yang bisa memastikan nasib mereka sendiri di dunia lain. Mentalitas yang berhati-hati ini akan mengarah pada fondasi asketisme dan mistisisme dalam Islam.
Guru-guru Imam Hasan adalah beberapa orang sahabat Rasulullah, antara lain Utsman bin Affan, Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Talib, Abu Musa Al-Asy’ari, Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah dan Abdullah bin Umar. Imam Hasan al-Basri meninggal dunia di Basrah, Iraq, pada hari Jum’at 5 Rajab 110 Hijrah (728 Masehi), pada usia 89 tahun.
***
Suatu ketika datang seseorang kepada Imam Hasan Al-Bashri mengadukan masalahnya. Orang pertama datang mengadukan musim paceklik, kemudian Hasan Al-Bashri berkata kepadanya: “Beristighfarlah engkau kepada Allah.”
Orang kedua kemudian datang mengadukan tentang kemiskinannya, Hasan Al-Bashri juga berkata kepadanya: ”Beristighfarlah engkau kepada Allah.”
Datang lagi orang ketiga mengadukan kondisinya yang tidak kunjung dikaruniai anak, Hasan Al-Bashri berkata kepadanya: ”Beristighfarlah engkau kepada Allah“.
Datang lagi orang keempat, mengadukan tentang kebunnya yang kering. Kepadanya Hasan Al- Bashri berkata kepadanya: ”Banyaklah beristighfarlah.”
Semua keluhan dan masalah yang diadukan kepada Hasan Al-Bashri dijawabnya dengan: “Beristighfarlah engkau.”
Memperhatikan hal tersebut, al-Rabi bin al-Sabih, murid Hasan Al Bashri bertanya,” Wahai Guru, tadi orang-orang berdatangan kepadamu mengadukan berbagai permasalahan, dan engkau memerintahkan mereka semua agar beristighfar, mengapa demikian?”
Hasan menjawab: “Aku tidak menjawab berdasarkan pikiranku sendiri, tetapi karena Allah Subhanahu wata’ala telah mengatakan dalam firman-Nya di Surat Nuh ayat 10-12,”Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12).
***
Ada seorang kuli pengangkut air yang diketahui sehari-harinya senantiasa mengucapkan tahmid dan istighfar. Karena penasaran, Hasan Al-Bashri mendatangi sang kuli yang tak mengenalnya.
“Kalau boleh tahu, sejak kapan engkau selalu mengucapkan dua kalimat tersebut?” tanya Hasan Al-Bashri.
“Sudah lama”, jawab sang kuli pengangkut air.
“Mengapa engkau selalu mengucapkan dua kalimat tersebut?”
Sang kuli menjawab, “Karena kita selalu berada dalam dua keadaan, kala kita mendapatkan nikmat, seperti nikmat iman, nikmat Islam dan nikmat kesehatan, kita harus bersyukur kepada Allah. Namun kala kita berada dalam kondisi lalai, banyak melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat dan menimbulkan kemudharatan, kita harus meminta ampun kepada-Nya,” jawab sang kuli.
“Lalu apa faidahnya jika engkau mengucapkan dua kalimat tersebut?” tanya Hasan.
“Doa-doaku selalu dikabulkan. Tapi ada satu doaku yang belum Allah kabulkan,” katanya.
“Boleh aku tahu doa apa itu?”
“Allah belum mengabulkan doaku untuk bertemu dengan ulama yang sangat ku kagumi.”
“Siapakah ulama itu?”
“Hasan Al-Bashri.”
Imam Hasan Al-Bashri kemudian memeluk sang kuli dan berkata, “Sekarang Allah telah mengabulkan doamu, akulah Hasan Al-Bashri itu.”
Sang kuli pun terkejut dan tidak berhenti mengucap puji syukur karena Allah telah mengabulkan doanya.
**
Beliau pernah ditanya oleh seseorang tentang dunia dan keadaannya. Beliau berkata, “Anda bertanya tentang dunia dan akhirat. Sesungguhnya perumpamaan dunia dan akhirat adalah seperti timur dan barat, bila satu mendekat, maka yang lain akan menjauh.”
“Dan Anda memintaku supaya menggambarkan tentang keadaan dunia ini. Maka aku katakan bahwa dunia diawali dengan kesulitan dan diakhiri dengan kebinasaan, yang halal akan dihisab dan yang haram akan berujung siksa. Yang kaya akan menghadapi ujian dan fitnah, sedang yang miskin selalu dalam kesusahan.”
Adapun jawaban terhadap pertanyaan orang lain tentang keadaannya dan keadaan orang lain dalam menyikapi dunia beliau berkata, “Duhai celaka, apa yang telah kita perbuat atas diri kita? Kita telah menelantarkan agama kita dan menggemukkan dunia kita, kita rusak akhlak kita dan kita perbaharui rumah, ranjang serta pakaian kita. Bertumpu pada tangan kiri, lalu memakan harta yang bukan haknya.
Makanannya hasil menipu, amalnya karena terpaksa, ingin yang manis setelah yang asam, ingin yang panas setelah yang dingin, ingin yang basah setelah yang kering, hingga manakala telah penuh perutnya ia berkata, “Wahai anakku, ambill obat pencerna.” Hai orang yang dungu, sesungguhnya yang kau cerna itu adalah agamamu.
“Mana tetanggamu yang lapar?”
“Mana yatim-yatim kaummu yang lapar?”
“Mana orang miskin yang menantikan uluranmu?”
“Mana nasihat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya?”
“Kalau saja engkau sadari hisabmu. Tiap kali terbenam matahari, berkuranglah satu hari usiamu dan lenyaplah sebagian yang ada padamu.”
Kamis malam di bulan Rajab 110 H, Hasan al-Basri pergi memenuhi panggilan Rabb-nya. Pagi harinya menjadi pagi duka cita bagi kota Bashrah. Jenazahnya dimandikan, dikafani dan dishalatkan setelah shalat Jumat di masjid Jami Basrah, masjid tempat di mana beliau menghabiskan banyak waktu hidupnya, belajar dan mengajar serta menyeru ke jalan Allah.
Orang-orang mengiringkan jenazahnya dan hari itu tak ada shalat ashar di Masjid Jami tersebut karena tak ada yang menegakkannya. Shalat jamaah ashar tidak pernah absen sejak dibangunnya masjid itu, kecuali di hari itu. Hari di mana Hasan al-Bashri berpulang. [ ]
Dari: “Mereka adalah Para Tabi’in”, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009; “Tadzkiratul Auliya”, Fariduddin Aththar