POTPOURRI

Kala Bayi-bayi yang Lahir Masih Diselimuti Jala

JAKARTA–Saya dilahirkan bulan Safar tahun 1970 di Cibasale, sebuah kampung kecil di tepi Sungai Cideres, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Sungai ini lebih kecil dibanding sungai-sungai lain yang mengalir di Majalengka, seperti Sungai Cilutung, Cijurey, apalagi Cimanuk  yang pada masa lalu dilayari kapal-kapal dagang manca negara. Tetapi meski kecil, Cideres barangkali sungai terpanjang di kabupaten itu.

Bagi warga Cibasale, Cideres erat terkait kehidupan mereka zaman itu. Hampir seluruh warga Cibasale—dan kampung-kampung lain di sepanjang alirannya, menggunakan sungai itu dalam hidup. Pagi-pagi di pergantian hari mereka menggunakan aliran Sungai Cideres untuk mandi. Oh ya, karena di tahun 1970-an hampir tak ada rumah yang memiliki WC di Cibasale, aliran Cideres pun menjadi saluran pengantar isi perut yang dikeluarkan pagi-pagi. Hantaran yang akan dihindari orang di hilir, yang tentu juga akan menambahinya dengan anggota ‘pasukan’ lain.

Alhasil, kian menghilir makin banyak anggota ‘pasukan’ isi perut yang ikut aliran. Sebagian mungkin saja sampai ke muara, menyatu ke Sungai Cimanuk di wilayah Rentang. Sebagian lainnya barangkali hancur diguncang ombak-ombak buatan tangan anak-anak kecil yang mempermainkannya di sepanjang aliran. Lainnya bukan tak mungkin menjadi isi perut begitu banyak ikan yang ada saat itu. Ikan-ikan yang saat ini hanya hanya tinggal kenangan. Tawes, nilem, beunteur, keting, senggal, lele, bogo (sebangsa gabus tapi lebih kecil), deleg (gabus), atau yang besar seperti kancra, menjadi penyedia protein bagi warga saat itu.

Cara mengambilnya macam-macam. Dari sekadar gogo (menangkap ikan hanya dengan tangan), nyair (menggunakan sair atau penyodok ikan berbentuk jala segitiga), ngaheurap atau ngecrik (menggunakan jala lempar), sampai marak atau mencari ikan dengan menggerakkan hampir seluruh warga kampung dengan cara menutup dan mengalihkan aliran sungai hingga aliran di hilir kering dan ikan pun mudah diambil).

Tapi yang menarik justru mencari ikan bogo yang umumnya bersembunyi di bawah batu-batu seukuran paha atau lebih kecil. Kita tinggal mengambil batu (atau seringkali anak-anak membawa martil besar dari rumah), memukulkannya kuat-kuat ke batu. Ikan bogo pun melayang pingsan, bahkan hanya karena suara benturan dua benda keras itu.

Siang hari, selepas orang-orang ‘bedugan’—kuli setengah hari di sawah, ladang  atau buruh bangunan, Sungai Cideres kembali ramai. Orang-orang bergegas mandi, membersihkan diri dari keringat, daki, atau lumpur bagi para buruh tani. Bukan sabun yang mereka pakai saat itu. Kalau tidak mangga muda yang diperam dalam bara panas sisa suluh pemasak nasi pagi hari hingga lunak berair, sabut kelapa dan ijuklah yang dipakai menggosok. Sering juga dipakai bagian dalam oyong tua yang kering, yang memang berserat menyerupai spon kasar zaman sekarang.

Usai mandi, biasanya mereka akan menuju pusat kampung untuk shalat Dhuhur berjamaah di masjid. Yang tidak keburu umumnya memilih shalat di batu-batu besar yang datar. Ada juga batu-batu yang ditata membangun permukaan datar yang cukup untuk seorang imam dengan dua makmum, hingga bisalah shalat berjamaah. Entah siapa yang membangun permukaan datar itu. Tetapi sampai 1980-an, sebelum masa-masa galian C yang membunuh sungai-sungai di Majalengka marak, hampir di sepanjang aliran Cideres bisa kita temui dataran buatan untuk shalat seperti itu.

Hubungan erat dengan sungai itulah, mungkin, yang memunculkan semacam adat di Cibasale saat itu. Setiap bayi lahir, selalu mereka segera diselimuti dukun beranak atau paraji dengan jala kasar penjerat ikan. Kecrik atau heurap sebutannya di Majalengka dan sekitarnya. Biasanya hanya sebagai syarat, karena segera itu pula bayi merah itu diselimuti samping kebat agar tak kedinginan. Saat itu tentu saja masih sulit mencari kain flannel laiknya alas dan selimut bayi saat ini. Tentu saja, saya pun saat bayi menerima perlakuan khas Cibasale itu, dirungkup dengan jala. Oh ya, di Jawa Tengah dan Timur, samping kebat itu umumnya disebut jarit.

Aliran Cideres juga menjadi ajang permainan anak-anak macam kami saat itu. Entah berapa kali sehari kami bermain air, ngebak, di sana. Itu tentu di luar ‘mandi wajib’ pagi dan petang. Kebiasaan ngebak itu yang selalu bikin emak-emak kami cemas. Entah merekalah yang menciptakan atau memang demikian adanya, di masa itu kami juga akrab dengan cerita tentang jurig cai atau hantu sungai. Macam-macam namanya, dan konon berlainan pula bentuknya. Ada Lulun Samak, hantu berupa lembaran tikar usang yang bisa menggulung anak-anak, membawa mereka ke sedong (gua di bawah air), ada Lembu yang konon menyerupai kerbau hitam besar dengan mata merah menyala. Ada lagi beberapa jenis jurig cai yang telah lama terlupakan.

Tetapi Cideres pula yang membuat saya dan teman-teman seumuran jadi bisa berenang. Bahkan sejak masa-masa awal kanak-kanak. Umumnya pada usia 5 tahun pun kami sudah bisa berenang dengan gaya masing-masing. Zaman itu di Majalengka rasanya belum ada kolam renang.

Tak jarang saat ngebak itu kami bawa sarung. Kalu tak salah, sarung kami ikatkan ke pinggang (atau leher ya?). Lalu dari sedikit ketinggian tepi sungai kami akan terjun ke lubuk (leuwi, bagian terdalam aliran di tempat itu). Begitu tiba di sungai, sarung telah berkembang seperti balon, memberi ruang tempat kepala kami masuk. Kami bisa menghilir atau diam di sana dan bernafas biasa dengan udara yang ada.

Yang menyenangkan—saat itu, kalau tiba musim hujan. Itu identik dengan musim banjir. Alih-alih takut, saat caah dengdeng (banjir bandang) kami yang masih berusia 6 sampai anak awal belasan tahun yang menjadi gegedug (pimpinan) kelompok, justru senang tak alang kepalang. Anak-anak yang lebih tua akan memimpin kami sambil nyoren bedog (membawa golok di pinggang) bersama-sama menuju hulu. Saat itu anak-anak mulai usia 8 tahunan sudah punya golok sendiri untuk membantu keluarga mencari suluh (kayu bakar) di hutan kecil pinggiran kampung. Umumnya jenis bedog Si Cepot (golok Cepot) yang bentuknya menyerupai setengah lingkaran. Biasanya kami bergerak menghulu ke sekitaran Kampung Tarikolot yang berjarak dua kilometer dari kampung kami, Cibasale.

Di sana–tanpa pikiran bahwa pemiliknya akan marah besar, kami menebang beberapa pohon pisang. Batang-batang pisang itu tidak kami tautkan. Cukup menembusinya dengan kayu atau bambu, jadilah ia kendaraan kami masing-masing untuk menghilir menunggang air bah! Meski jarang seorang satu, tapi bayangkan berapa pohon pisang yang kami tebang seenaknya bila rombongan yang ikut sampai 20-an anak!

Biasanya saat kami tiba di kampung setelah menghilir dua kilometer jauhnya, saat menepi di pinggir-pinggir sungai yang banjir itu telah menunggu orang tua-orang tua kami. Buat yang, yang menunggu di sana biasanya kakek dari pihak ayah. Saya menyebut almarhum Mama. Mama telah menunggu dengan dua batang lidi kawung (aren)  akan sangat menyakitkan bila dipecutkan. Saat itu saya tak pernah bisa mengerti makna sorot mata dan wajah kusut Mama yang terlihat kalut, sedih, kuatir. Sampai saya dewasa dan tahu bagaimana rasanya mencintai anak-anak saya. [dsy]

Back to top button