Ketika Neng Markonah, Tebu Gemuk dari Kadipaten, Masih Dikawinkan
JAKARTA— Waktu saya kecil, di Kadipaten- Kabupaten Majalengka, masih berdiri pabrik gula yang dibangun zaman penjajahan Belanda. Dari beberapa literatur yang saya baca setelah dewasa, pabrik itu didirikan 1876, atau tujuh tahun setelah berlakunya Undang-undang Gula.
Di masa kanak-kanak, saya tahunya pabrik itu dibangun 1896, terlihat dari tulisan yang diterakan di cerobong asapnya yang tinggi menjulang. Tahun itu ternyata merupakan tahun perluasan bangunan pabrik yang dimiliki tiga orang, yakniNy. JF de Vogel istri Tuan Disderk Lucas, Ny. Willhemine de Vogel istri Tuan Charles Fortune dan Julius Chorlotte de Vogel. Artinya pabrik itu memang milik swasta, seiring berlakunya Kapitalisme di ‘Hindia Belanda’ yang mengiringi Undang-undang Gula tersebut. Pada waktu beroperasi yang waktunya sekitar 4-5 bulan dalam setahun, asap selalu ngelun, keluar dari cerobong itu. Kami menyebut bulan-bulan operasi pabrik gula yang tak setahun penuh karena usia panen tebu itu sebagai ‘musim giling’.
Bagi generasi saya dan teman-teman, pabrik gula itu memiliki arti sangat penting. Di saat musim giling, ada banyak ‘permainan’ bisa dilakukan. Sepulang sekolah, kadang tak perlu pulang ke rumah dulu untuk ganti baju, karena seingat saya kami hanya berseragam pada hari Senin. Berombongan kami berjalan kaki datang ke area pabrik. Biasanya masing-masing kami berbekal sepotong dua paku besar (kalau tak salah kami menyebutnya paku rarong).
Sambil menunggu kereta tebu datang, kami letakkan paku-paku itu melintang di atas rel. Biasanya agar tak langsung ‘loncat’ tergilas roda-roda besi kereta, paku itu kami ikat ke potongan bambu yang ditancapkan di sisi rel. Dengan berat kereta (saat itu orang-orang menyebutnya Setum) apalagi ditambah sekian gerbong lori (kami sebut Gotrok) penuh tumpukan batang tebu, paku-paku itu pun tipis tergilas. Itulah yang kemudian kami asah dengan asahan batu, menjadi pisau pribadi kami masing-masing! Alhasil, sejak kanak-kanak saat itu kami sudah akrab dengan senjata tajam: pisau.
Tapi bukan hanya itu permainan kami. Datangnya Setum dan Gotroknya tak hanya menggembirakan karena artinya proses pengerjaan ‘pisau’ kami berjalan. Kami juga terlatih membetot tebu sebatang dua. Anak-anak menjelang akil balig bahkan mampu mengambil seikat besar, saat Setum berjalan. Tentu jangan samakan kecepatannya dengan komuter line di Jabotabek saat ini. Kecepatan Setum paling antara 20 sampai 30-an kilometer per jam. Apalagi bila pabrik telah dekat.
Yang paling membuat kami gembira, manakala mendapatkan tebu Markonah. Tebu jenis itu tak pernah saya temukan lagi sejak 1980-an, manakala sistem Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) digalakan Orde Baru. Markonah adalah tebu yang besar—besarnya lebih dari pergelangan tangan orang dewasa, gampang dipites dengan tangan, dan airnya yang sangat manis pun melimpah. Pokoknya, setahu saya tak ada yang menandingi tebu Markonah. Kami biasanya makan tebu tanpa alat apa pun! Untuk mengupasnya, hanya perlu gigi geligi terlatih. Kalau membayangkan kehebatan kami menggares tebu saat itu, tak jarang saya saat ini langsung merasa ngilu.
‘Musuh’ kami dalam permainan yang melibatkan Pabrik Gula Kadipaten itu tak lain adalah Kape. Bukan Kape sebagaimana istilah Aceh yang berarti Kafir. Ini sih KP singkatan Keamanan Pabrik. Ada seorang Kape yang paling kami takuti saat itu. Namanya Pak Darma. Meski tanpa kumis laiknya petugas keamanan saat itu, Pak Darma sangat ditakuti karena tak pernah menyerah mengejar. Tak jarang satu dua anak kena tertangkap dikejarnya. Lumayan ngeri kalau kena tangkap. Tidak pernah diproses aneh-aneh sih, hanya dicubit atau dijewer telinga oleh Pak Darma pasti akan teringat lama. Kemudian hari saat mulai kelas lima saya bersahabat erat dengan Asep Darmo Dikromo. Teryata Pak Darma adalah ayahnya!
Biasanya musim giling diawali dengan pesta Badirian, atau pesta untuk menandai pemotongan tebu pertama. Pesta diawali ritual mengarak Penganten Tebu. Biasanya yang dijadikan Penganten Tebu itu tebu jenis Markonah tadi. Tebu yang jadi penganten adalah tebu yang pertama kali ditebang (Tiwu Indung), didahului bacaan sekian mantera dan doa-doa. Banyaknya sekitar 29 batang, dibagi menjadi dua ikatan. Ikatan pertama didandani laiknya pengantin perempuan, ikatan lainnya menjadi pengantin pria.
Dua ‘sejoli’ itu kemudian diarak dengan iring-iringan panjang, lengkap dengan segala macam bunyi-bunyian: kendang pencak, calung, reog dan dogdog, bahkan kuda renggong atau kuda yang pandai menari meningkahi tetabuhan. Iring-iringan mengular ditambahi peserta anak-anak yang biasanya tak mau hanya menonton di pinggir jalan.
Pesta itu pada zaman saya kanak-kanak (pertengahan 1970-an hingga 1980-an) berlangsung sekitar tujuh hari tujuh malam. Nenek saya bilang, di masa mudanya Badirian bahkan bisa sampai dua pekan. Setiap sore dan malam bergiliran tampil aneka kesenian, mulai dari calung, angklung, ketuk tilu, kendang pencak, wayang kulit dan wayang golek, reog, sandiwara, sirkus sederhana, tong setan, sampai komodi putar saat zaman kian modern.
Seringkali ditampilkan pula olahraga rakyat yang disukai zaman itu, seperti ujungan (gulat tradisional Sunda), sampyong (olahraga saling pukul kaki dengan tongkat rotan), atau maenpo peupeuhan (adu tanding pencak silat satu lawan satu). Kabarnya, ayah saya adalah salah seorang jago sampyong di masa mudanya. Dengan demikian, secara tak langsung Badirian menjadi salah satu tradisi yang melestarikan kesenian dan olahraga tradisional saat itu. Apalagi waktu Badirian sekitar sepuluh pabrik gula di Majalengka itu tak pernah bersamaan, selalu ada bedanya meski kadang hanya dalam ukuran hari. Alhasil, kelompok-kelompok kesenian itu bisa ngamen dari satu ke lain Badirian. [dsy]