POTPOURRI

Kita, yang Lebih Mencintai Milik Orang Lain

Mengetahui hakikat, itulah yang seharusnya kita cari kalau kita ingin memperoleh kebahagiaan yang tuntas dan lestari, kata Imam Hassan Bashri.    

JERNIH— Jakfar bin Hussain tiba-tiba terbelalak takjub menyaksikan pemandangan yang tergelar di depan matanya. Dalam perjalanan pengembaraannya ia tiba di suatu lembah hijau yang penuh dengan unta di mana-mana. Begitu banyak jumlahnya, sampai rumput dan tanah di lembah itu tidak kelihatan, tertutup, dan yang ada hanyalah padang unta.

Seraya bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan yang memiliki kekayaan sebesar itu, di daerah yang sangat terpencil dan jauh dari perkampungan lain, Jakfar melanjutkan safaatnya untuk merenungi dan menikmati kebesaran Tuhan. Ia memang seorang hamba Allah yang tengah mencari kedalaman rohani.

Ketika ia mendekati puncak bukit di atas lembah itu, tampak seorang lelaki tengah duduk berjuntai dikelililingi ternaknya yang kelihatan sangat jinak kepadanya. Lelaki itu tidak peduli terhadap ribuan unta miliknya, seakan tidak ada hubungan sedikit pun dengan mereka. Ia tidak menggebah, tidak mengusik, atau pun menggiring ternaknya. Mereka dibiarkan merumput tanpa diganggu. Yang dilakukannya justru perbuatan yang mustahil dikerjakan oleh peternak atau penggembala lainnya. Ia hanya berzikir memuji keagungan Sang Pencipta, dan dengan tekun membaca Alquran dari lembar ke lembar berikutnya.

Rasa ingin tahu Jakfar terbangkit. Ia mendatangi lelaki separuh baya itu dengan hati-hati, lalu bertanya setelah mengucapkan salam. “Dari negeri manakah Tuan berasal? Sebab saya tidak pernah mendengar sebelumnya bahwa di tempat ini ada peternak yang memiliki unta sebanyak ini.”

Lelaki itu menatap Jakfar dan balik bertanya,”Adakah negeri lain kecuali negeri Allah?”

“Maksud saya, apakah Tuan juga termasuk penduduk negeri ini seperti saya?” ujar Jakfar tidak puas.    

Lelaki itu menjawab,”Begitu Tuan menyampaikan salam dan saya jawab dengan layak, maka saya adalah seperti Tuan karena kita bersaudara seagama. Dan sejak itu pula saya menjadi bagian dari negeri Tuan sebab kita tinggal di dunia yang sama, dan kita sama-sama menganut keimanan yang tidak berbeda. Ada pun di sana kelak, di alam akhirat, mungkin kita bersatu, mungkin kita terpisah, bergantung kepad amal kita masing-masing. Sebagian di antara kita ada yang menjadi penghuni surga dan sebagian lainnya akan menjadi penduduk neraka.”

“Kepunyaan siapakah unta-unta itu?” tanya Jakfar pula.

Namun kali ini lelaki itu tidak menjawab. Malahan wajahnya tampak kemerah-merahan. Entah apa sebabnya. Jakfar mengulangi pertanyaannya dengan nada mendesak dan penuh harap. “Demi Allah, saya ingin tahu, kepunyaan siapakah semua unta yang memenuhi lembah di bawah, dan bukit-bukit di sana?”

Lelaki itu memandang Jakfar beberapa saat, lalu berkata,”Kepunyaan siapa lagi kalau bukan milik penciptanya?”

“Saya tahu, tetapi bukan itu maksud saya,” kata Jakfar agak dongkol.

“Jawaban saya tidak berubah. Tetapi kalau Tuan mendesak saya, baiklah saya beri tahu. Unta-unta itu kepunyaan Allah, yang Ia titipkan kepada saya.”

Lantas lelaki itu meneruskan,” Sesungguhnya semua harta di dunia ini, di tangan siapa pun harta itu berada, pada hakikatnya bukanlah milik mereka sebab tak akan dibawa ke kuburan. Suatu saat pasti akan berpisah dengan siapa pun yang menyangka semua itu sebagai miliknya. Bukankah tidak ada sesuatu yang memiliki sesuatu lainnya kecuali amalnya sendiri?”

Selagi mereka larut dalam pembicaraan, sekonyong-konyong, bagaikan muncul dari dalam bumi, datanglah seorang pengemis renta.

Tanpa diminta lagi lelaki setengah tua itu mendatangi pengemis dan memberikan beberapa keping uang emas secara sembunyi-sembunyi, seolah yang diserahkan tangan kanannya tak ingin diketahui tangan kirinya.

Kemudian lelaki itu membisikkan beberapa patah kata ke telinga si pengemis yang tidak tertangkap sepotong pun oleh pendengaran Jakfar. Saking ingin tahunya, sesudah pengemis tadi berlalu, Jakfar memburunya dan bertanya,”Kalimat apakah yang dibisikkannya kepada Kakek?”

Pengemis tua itu menjawab,”Ia berkata sambil menaruh sedekahnya di tangan saya: Ya Allah, sesungguhnya dengan memberikan beberapa keeping uang emas ini, saya menyimpan sebagian harta saya di sisi-Mu, sampai saya kelak menjumpai-Mu di Hari Pembalasan.”

Jakfar bin Hussain terlongong-longong. Alangkah mulia dan bijaknya hati sang penggembala, dan alangkah tebalnya iman yang membentengi hidupnya.

Demikianlah selamanya orang-orang yang arif, memahami apa yang tidak dipahami orang lain. Maka ia dapat menikmati keindahan keberadaannya sebagai hamba Allah ketika orang lain putus asa dan menesali kelahirannya sendiri lantaran sebenarnya apabila kita merasa ada, pada hakikatnya kita ini tidak ada. Dan pada waktu kita merasa tidak ada, sebetulnya kita ini tetap ada. Begitu ujar Imam Abu Laits kepada para santrinya. Mengetahui hakikat, itulah yang seharusnya kita cari kalau kita ingin memperoleh kebahagiaan yang tuntas dan lestari, kata Imam Hassan Bashri.    

Lalu Imam Al Ghazali pun mengisahkan peristiwa ketika Nabi Muhammad SAW bertanya kepada para sahabatnya,” Betulkah kalian lebih mencintai kepunyaan orang lain daripada milik kalian sendiri?”

Dengan keheranan para sahabat menyanggah,” Tidak mungkin kami menyimpan perasaan seburuk itu, ya Rasulullah.”

“Tetapi nyatanya kalian memang menyimpan perasaan seburuk itu. Bukankah kalian lebih suka menimbun harta daripada menyedekahkannya di jalan Allah? Padahal yang kalian timbun itu kelak akan menjadi milik orang lain, sedangkan yang kalian sedekahkan di jalan Allah akan menjadi kepunyaan kalian sendiri yang akan menyelamatkan kalian dari ancaman siksa neraka.” [dsy]

Dari “Hikmah Ketulusan” KH Abdurrahman Arroisi, Remaja Rosdakarya, 1990, dengan perubahan seperlunya.  

Back to top button