POTPOURRIVeritas

Malik : Seorang Pemuda Mencari HAMKA

Pengantar :
Indonesia pernah dikaruniai seorang ulama, yang tak hanya kharismatik, melainkan pula memiliki kedalaman dan luasnya ilmu. Namun bukan itu yang paling menonjol, melainkan karakternya yangtegas dan kukuh membela kebenaran yang ia yakini. Ulama itu bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).

Ia mendapat jawaban yang hanya mungkin dipahami secara adat: “Datuk Ketemanggungan, yang dipercaya sebagai nenek moyang orang Minangkabau, setelah mati menjelma menjadi harimau. Sebab itu, kalau ada harimau mengganas di kampung dan dapat ditangkap, ia mesti dihormati dengan cara dihilau alias diratapi.”

Episode 10

Malik bab 6
Datuk Indomo Kabur ke Bengkulen

Pantun adalah dunia Malik sejak kecil. Sejak Angku mempercayainya ikut bermalam di dangau tepi muara, menjaring ikan, memerangkap segala hewan air yang bisa dimakan.
Malam-malam di dangau adalah waktu-waktu Angku mengisi dada Malik dengan kecintaan akan pantun, memenuhi kepalanya dengan bait-bait pantun yang cerdas, indah berirama.
Satu demi satu rangkaian pantun yang dilantunkan Angku itu Malik ingat, lalu disimpannya dalam-dalam di lokus otaknya. Karena senangnya, pantun-pantun itu terpatri dalam hati.
Proses itu memakan waktu berbilang tahun, hingga kemudian ia sendiri pelan-pelan mampu mencari dan merangkai kata. Bisa berpantun meski belum selihai angkunya.
Pada usia-usia di bawah 10 tahun Malik sudah mulai mampu memadukan percakapan kesehariannya dengan pantun. Artinya, percakapannya dengan anak-anak lain sebayanya.
Memang terasa ganjil awalnya, berpantun kepada teman-temannya yang hanya bengong, lalu terkekeh manakala mendengar Malik berkata-kata dengan kalimat berirama itu. Tetapi anak-anak adalah makhluk yang paling adaptif. Mereka mampu menyesuaikan diri dengan cepat, hingga tak perlu waktu lama mereka sudah terbiasa.
Tentu semua ada dampaknya. Buat Malik terutama, yang karena senangnya berpantun itu, selain dikenal nakal ia pun sering disebut sebagai ‘Malik Pantun’ sebagai ciri lain dirinya.
Tak ada yang keberatan dengan sebutan Malik Pantun itu, juga Malik sendiri. Bahkan para mamak dari pihak ibunya justru bangga. Bagaimanapun merajut pantun bukan pekerjaan enteng yang bisa dilakukan mereka yang tak punya banyak perbendaharaan kata.
Berpantun, apalagi bila dilakukan secara langsung tanpa persiapan, dalam banyak hal bahkan menunjukkan saratnya isi kepala dan tinggi kecerdasan penuturnya. Malik menjadi anak favorit para angkunya pun karena kepandaiannya berpantun itu.
Tetapi tidak demikian dengan ayahnya, Haji Rasul. Sejak awal Haji Rasul tak pernah menunjukkan kesukaannya pada kepandaian Malik yang satu itu. Tak jarang, pada saat Angku masih ada pun, Haji Rasul tidak pernah berusaha menutupi ketidaksukaan tersebut di hadapan Angku. Tak hanya itu, bukan sekali dua Malik menemukan dua orang yang dihormatinya itu, Angku dan ayahnya, bertukar kata dengan sengit satu sama lain. Perang kata barangkali tepatnya. Tentu, sebagai orang terpandang keduanya tak sembarangan menunjukkan konflik tersebut. Apalagi bila Malik berada di antara mereka berdua. Tetapi bagaimanapun Malik anak cerdas yang bisa membedakan situasi biasa dengan kondisi tak biasa.
Apalagi wajah-wajah kedua orang yang ia hormati itu tak bisa menyembunyikan apa yang terjadi. Raut muka keduanya menegang, sementara kalimat-kalimat yang terlontar dari dua pihak pun saling menohok.
Di saat seperti itu Malik mendengar bagaimana ayahnya lincah mengutip ayat Alquran dan petikan hadits Nabi, sementara Angku dengan tangkas membalasnya dengan aneka petatah petitih Minangkabau.
Bukan sekali dua Malik mendengar langsung ayahnya berkata kepadanya dengan nada miring soal berpantun itu.
“Malik, apa yang kau harapkan dengan sepenuh hati belajar pantun? Kalau kau terus lebih memilih berpantun daripada mengaji Alquran, ujung-ujungnya kau akan jadi tukang kaba alih-alih seorang ulama pewaris Nabi,” kata Haji Rasul. Atau, ”Pantun dan randai tak akan pernah membawamu menjadi seorang ulama, Malik. Sementara semua kakek buyutmu, kakek buyut ayah, adalah ulama, bukan tukang kaba.”
Terhadap apa yang dikatakan ayahnya itu, tak pernah sekali pun Malik membantah. Meski kadang begitu ingin Malik bertanya, apa yang salah dengan tukang kaba? Bukankah mereka juga pintar, cerdik pandai yang tak hanya menguasai banyak cerita, tetapi juga cara paling jitu dalam menyebarkannya? Bukankah juga tak terbilang banyaknya orang-orang yang mendapatkan sejumlah mutiara kesejatian hidup, panduan dan arah menuju kebaikan itu dari cerita yang diangkat para tukang kaba? Lalu apa salahnya tukang kaba? Apa salahnya pula menjadi tukang kaba?
Namun pertanyaan itu sekadar bergolak di kepalanya. Tak pernah sekali pun keluar lepas dari bibirnya. Ia takut mempertanyakan hal itu tiada lain karena kuatir hal seperti itu tergolong ke dalam berbantah dengan orang tua. Yang Malik tahu, anak yang berbantah dengan ayah-ibunya bukanlah anak yang beradab. Dari berbagai buku bacaan yang pernah ia baca, menyoal adat masyarakat mana pun, hatta di Barat, membantah semena-mena perkataan orang tua bukanlah perbuatan elok. Ada adabnya, meski di budaya bebas merdeka seperti di Barat sekali pun.
Demikianlah kedekatan Malik dengan pantun sejak masa kanak-kanak.
Namun yang membuat hubungan Malik dengan pantun menjadi kian erat, laiknya api dengan panas, terjadi setelah remaja tanggung itu banyak bergaul dengan para juru pantun di arena sabung ayam. Entah mengapa. Mungkin karena awalnya penyelenggara sabung ayam tak ingin ada konflik besar, sementara menghilangkan konflik di arena sabung ayam pun jelas tak mungkin. Barangkali juga agar sindiran atau bahkan ejekan pun terasa punya nilai seni, maka orang-orang di arena sabung ayam hanya boleh menyindir, mengatai atau sedikitnya mengkritik ayam lawannya hanya dengan pantun. Tak boleh, misalnya, ada teriakan langsung yang isinya langsung menghina ayam lawan. Mengejek sekeras apa pun boleh, asal itu dilakukan melalui kalimat-kalimat pantun.
Dulu, saat pertama kali hadir di arena sabung ayam dibawa Angku Magek, Malik datang dengan notes dan pensil. Dicatatnya setiap pantun yang diucapkan para penyokong ayam aduan dari dua pihak. Buku catatan dan pensil itu tetap setia menemani Malik sampai kali ke sekian hadir di arena sabung.
Kebiasaan itu kemudian Malik tinggalkan. Selain lama kelamaan ia sendiri bisa mengingat pantun-pantun yang terucap itu dalam benak, Malik juga lama-lama tahu mana pantun yang berkualitas, mana yang kacangan sekadar membalas serangan lawan. Pantun-pantun jelek seperti itu nyaris tak terbilang, dan menuliskan pantun-pantun seperti itu jelas sayang. Sayang waktu, sayang tenaga, sayang lembaran kertas.
Selama bergelut di arena sabung ayam itu Malik sangat menyukai beberapa pantun yang sering dipakainya menantang lawan-lawannya di gelanggang:
Daging gembung buang ke laut/ Busuk karena lama masaknya
Yang mau bersabung mari masuk/ masuk arena bertemu kita

Pergi ke pasar beli ikan/ Tidak lupa juga membeli kwaci
Ayamku di sini menantang kalian/ Ayo maju siapa berani

Sarapan pagi berikan teri/ Teri dicolek sambal terasi
Hei kalian para lelaki/ Sinilah lawan ayam kami

Ke pasar membeli sandal/ Sandal bagus luar negeri
Kalian jual itu ayam/ pantang kami tidak membeli

Anak ayam turun sepuluh / Mati satu tinggal sembilan
Jika kamu bersungguh-sungguh/ masukkan sini ayam kalian

Kemuning di tengah balai/ Bertumbuh terus semakin tinggi
Bertanding dengan ayam tak pandai/ Bagaikan alu pencungkil duri

Burung Balam bertali rambut/ Rambut dipintal akar cemara
Ayammu diam pertanda takut/ Ayam kami gagah perkasa

Tak punya uang banyaklah utang / Orang banyak menjadi sinting
Jangan pernah menantang-nantang/ Nanti ayammu kubanting banting

Kadang bagi Malik yang banyak membaca segala buku yang ditemuinya, adat terasa begitu ganjil. Misalnya, suatu saat ia diberitahu bahwa di kaki Gunung Singgalang, di sebuah kebun tebu seekor harimau terjebak perangkap. Harimau itu kini telah dibawa ke Sungai Tenang, di sisi danau tenang di Bukittinggi.
Esoknya, Malik sudah berada di sana. Sengaja datang berbendi ditambah sekitar satu jam berlari. Ternyata harimau itu telah mati ditembak karena melawan saat dibawa dari tempatnya terperangkap. Ada yang terlihat ganjil di mata Malik saat itu: beberapa peniup saluang dan puput (serunai) telah ada di sana. Begitu pula beberapa ninik mamak.
Tukang saluang meniup sulingnya dengan nada sedih mendayu-dayu. Begitu pula peniup puput yang menghembus puputnya dengan penjiwaan yang terlihat dalam. Kadang diselingi nyanyian lagu-lagu Minang yang merintih mengiba-iba. Persis laiknya orang-orang menangisi kematian ayah atau ibunya.
Malik yang tak mengerti mencoba memberanikan diri bertanya pada seorang datuk yang telah tua. Ia memberanikan diri mempertanyakan hal yang tampaknya tak pernah dipertanyakan orang-orang. Malik sedikit tak peduli, karena memang ia tak mengerti.
Ia mendapat jawaban yang hanya mungkin dipahami secara adat: “Datuk Ketemanggungan, yang dipercaya sebagai nenek moyang orang Minangkabau, setelah mati menjelma menjadi harimau. Sebab itu, kalau ada harimau mengganas di kampung dan dapat ditangkap, ia mesti dihormati dengan cara dihilau alias diratapi.”
Setelah mendapatkan jawaban seperti itu Malik sedikit mengerti bila orang-orang yang mengiba-iba itu kemudian menyanyikan lagu “Temenggung Bayarlah Utang”, diiringi bunyi saluang.
Tak hanya menyabung ayam, mengadu burung balam pun menjadi kesenangan lain anak yang laiknya laying-layang putus itu. Setiap Kamis pagi, begitu belajar mengajinya usai, Malik segera menghilang. Kemana? Ternyata ia pergi ke Durian, kampung tempat para penghulu dan datuk mengadu burung balam.
Di sana berkumpul segala penghulu dari berbagai nagari, datang untuk mengadu balam. Para penghulu itu duduk menyebar di arena, duduk di balai-balai yang mereka buat masing-masing, saling beradu indah. Pakaian mereka pun seolah menjadi pertarungan tersendiri, lengkap dengan destar dan seluk yang tegak menunjuk langit. Jadi selain mengadu balam, kadang secara tak langsung para penghulu itu pun mengadu seluk masing-masing.
Sebelum balam-balam itu diadu, sebagaimana dalam arena sabung ayam, para penghulu itu memuji balamnya masing-masing. Hanya berbeda dengan menyabung ayam, di arena adu balam yang ada bukan saling ejek dan melecehkan, melainkan saling menyanjung balam mereka masing-masing setinggi langit yang mampu dicapai. Permainan adu balam itu berlangsung hingga lohor datang.
Lain dengan temannya sesama penyuka adu balam yang datang bersamanya ke Durian, yang menjadi perhatian Malik justru segala pantun dan petitih yang keluar selama adu itu digelar. Dari siapa pun, baik para penghulu maupun masing-masing pemilik balam. Bagi telinga Malik, ‘pidato-pidato adat’ itu begitu indah, tertata rapi dan mengasyikan, dinyatakan baik sebelum balam diadu atau pun sesudahnya.
Tak heran, di arena adu balam pun Malik tak tinggal dari catatan kecil dan pensilnya. Setiap kali acara adu balam itu akan dimulai, seorang penghulu akan masuk. Setelah berkata-kata sekian menit panjangnya, Malik memastikan penghulu itu akan berkata:
”Hari baik sehari ini. Ninik mamak ‘lah lengkap hadir. Balam diadu hanya lagi, di lahir mengadu balam, di batin mengadu budi. Permainan anak raja-raja.”
Sementara manakala matahari mulai condong dan azan Dhuhur sebentar lagi berkumandang, penghulu pembawa acara itu akan maju ke gelanggang. Lalu berkata dengan pernyataan yang Malik pun telah hafal:
“Hari ‘lah membayang petang, matahari ‘lah condong turun. Sembahyang nan berwaktu, alek nan berketika.”
Memang, sepengalaman Malik kalimat-kalimat yang diucapkan hanya itu ke itu saja. Mungkin karena para ninik mamak itu pun hanya menghafalkan di batin, karena mereka rata-rata tak bisa tulis baca. Yang menarik, pengalaman di tempat mengadu balam pun tak jarang dipraktikkan Malik di kampung, saat ia diajak makan bersama teman sepermainannya, misalnya. Tak ragu saat meminta diri Malik akan berkata,” Hari tlah membayang petang, matahari tlah condong turun…” Biasanya para orang tua teman yang ia beri kata-kata berpetatah-petitih itu akan berusaha memperlihatkan sikap serius menerima kata-kata itu, meski manakala punggung Malik telah jauh mereka akan tergelak tak habis-habisnya.
Tak hanya itu, ketika ada pelantikan penghulu, Malik tak pernah absen menghadiri. Didengarnya dengan asyik berbagai kata-kata seputar kebesaran adat, tambo, risalah keturunan, serta berbagai dongeng yang diucapkan penghulu itu manakala akan dilantik.
Tak puas hanya itu, didatanginya orang-orang tua, para penghulu yang dipandangnya jagojago pidato bertema adat tersebut. Dibawanya selalu pensil dan buku tulis yang tak pernah lepas darinya itu. Malik pernah mendatangi Datuk Siri Bandaro, Datuk Rajo Endah Tua, Datuk Tan Majolelo, Datuk Rajo Endah Nan Tinggi, Sutan Nagari si Jaban, untuk bersilaturahmi dan menambah perbendaharaan kata dan pantunnya.
Hal itu dilakukan Malik laiknya seorang santri berjalan mendatangi para ulama dan orang-orang terpandang dalam ilmu agama, untuk diambil ilmu dan tuahnya. Akhirnya, kabarnya atas persetujuan bersama manakala para ninik mamak dan penghulu adat itu bertemu, mamaknya Datuk Rajo Endah Tua, memberi Malik gelar Datuk Indomo!
Tentu saja Malik begitu bangga mendapatkan gelar tersebut. Tak sembarang orang, apalagi anak-anak tanggung seperti dia dapat menerima pemberian gelar adat tersebut.
Tetapi rasa bangga itu dinikmatinya sendiri. Malik tak berani memberi tahu Haji Rasul, berbagai kebanggaan bahwa dirinya dianugerahi gelar tersebut oleh para ninik mamak.
Biarlah ia sendiri yang tahu dan mengecap kebanggaan itu seorang diri. Sebab belum tentu ayahnya sebangga dia. Jangan-jangan malah hanya dirinya yang merasa pemberian gelar itu sebuah anugerah. Ayahnya, mungkin saja justru melihatnya sebagai masalah.
Benar saja, entah diberi tahu siapa, hanya beberapa hari setelah pemberian gelar itu, suatu sore Haji Rasul mengajak Malik mengobrol. “Rupanya kau sudah punya gelar, Malik?” kata Haji Rasul, matanya menyelidik. Malik tak suka pandangan mata khas itu. Seolah ada tekanan yang menyalahkan dirinya dalam pandangan mata seperti itu.
“Ya, Ayah. Ambo dikasih gelar Datuk Indomo oleh para ninik mamak,” kata Malik, menjawab.
“Hem…Jadi makin kuat saja niatmu belajar menjadi tukang kaba, ya Malik?”
Malik sebentar terdiam. Kalimat ayahnya membuatnya sedih. Mengapa harus ke sana ayahnya bicara? Mengapa harus selalu memandang remeh dan merendahkan tukang kaba?
“Ambo tak pernah berpikir mau jadi tukang kaba, Ayah. Kalau Ambo senang randai, pantun, petitih, itu benar. Tapi niat menjadi tukang kaba, siapa yang memberi Ayah kabar bohong itu?” Malik balik bertanya.
“Bukan orang yang memberi tahu ayah. Pilihan bacaanmu, pilihan kesukaan yang kau lakukan sehari-hari yang memberi tahu ayah. Kau menyukai merandai, berpantun, basilek, membaca cerita-cerita roman, cerita fiksi jauh di atas kesukaanmu mengaji. Bagaimana mungkin ayah percaya kamu memilih ulama sebagai pekerjaan dan posisimu di masa depan dibanding menjadi tukang kaba yang sekarang pun kau mulai menjalaninya?” Kata-kata Haji Rasul cenderung makin menyudutkan Malik.
“Mungkin perlu jelas kau ketahui, Malik. Ayah sama sekali tak bangga kau mendapatkan gelar Datuk Indomo karena kepiawaianmu berpantun, berpetatah-petitih, berandai dan menyabung ayam, malah mungkin berjudi. Tapi bila kau bisa menamatkan dan mengerti satu saja kitab Nahwu yang kau pelajari, ayah bangga dan masih punya harapan jalanmu menuju keulamaan, menuju posisi pewaris Nabi, masih jelas terbentang di depanmu dan masih siap kau jejaki.”
Malik tak menjawab, sama sekali tak mengeluarkan perkataan apa pun lagi. Hanya diamdiam ia merasakan ada yang hangat yang basah di sudut matanya. Ia menangis, ya, ia menangis. Ia merasa sendiri di tengah kebanggaan yang diberikan ninik mamaknya dari pihak ibu. Ia merasa sepi dan terasing. Ia merasa tak diinginkan.
**
Membaca berbagai cerita, bahkan tak jarang roman percintaan yang terus disewanya dari Blibliotek Zainaro, membuat perasaan romantis dalam dada Malik tak jarang bergolak kencang. Apalagi bila didapatinya syair, puisi, sajak, pantun atau kalimat-kalimat indah yang mencurahkan perasaan romantic pengarangnya.
Ingin rasanya Malik bisa menulis kalimat-kalimat seindah itu, suatu saat. Menulis kalimat yang mampu beresonansi dengan pembaca, membuat pembaca tulisan itu pun ikut merasakan getar cinta dan rasa hangat yang menggelenyar di dada.
Namun bacaan itu pun bukan tanpa ekses. Perasaan romantis yang dipupuk dengan bacaanbacaan itu membuat Malik gampang menyukai gadis-gadis, baik satu sekolah maupun yang bersekolah di tempat lain.
Pada usia 13 itu mulailah ia mencoba menulis surat cinta. Pertama kepada Zuraida, kawan satu sekolah. Lalu dicobanya lagi menulis surat cinta untuk Halimah. Eh, manakala Ros kemudian dikenalnya, dilayangkannya pula surat untuk gadis itu. Bukan dilayangkan sebenarnya, karena tak lewat pos udara. Malik punya banyak cara agar surat cintanya sampai kepada tujuan yang menjadi targetnya.
Bila kekerapan untuk bertemu memungkinkan, Malik memilih untuk menyampaikannya via buku. Maksudnya, surat cinta itu ia sembunyikan di antara lembaran buku. Buku apa? Tentu saja buku yang telah ia bincangkan dengan gadis itu. Ia rekomendasikan setelah membahas isinya dengan sang gadis secara umum. Ia pula yang menyewanya dari Blibliotek Zainaro.
Bila si gadis memang penasaran dengan buku itu, dengan mudah Malik menyisipkannya di antara halaman yang ada.
Namun bila kemungkinan bertemu lebih kecil, Malik memilih perantara. Orangnya bisa siapa saja, dari anak kecil yang bisa ia belikan gula-gula sebagai upah, hingga teman sepermainannya. Biasanya kalau yang ia mintai tolong itu seumuran dengannya, anak itu akan bertanya,”Surat apa ini, Malik?” Tentu dengan senyum mengolok-olok yang tersungging di bibirnya. Malik akan segera menjawabnya tuntas,” Surat apa pun, yang pasti bukan surat gadai.” Biasanya sih tak banyak teman yang ia mintai tolong itu yang terus bertanya macam-macam.
Surat-surat Malik itu selalu penuh dengan kutipan kata mutiara, pantun, petikan puisi dan rangkaian kalimat yang menurutnya indah. Namun, barangkali karena kesenangannya membumbui surat-surat cintanya dengan pelbagai susatra itu, balasan untuk suratnya itu pun tergolong jarang. Hanya beberapa saja yang membalas juga lewat surat. Selebihnya memilih berbincang bila memungkinkan. Barangkali mereka merasa sedikit rendah diri berhadapan dengan ‘pujangga tingkat nagari’ itu.
Tetapi memang bukan jawaban yang Malik kehendaki. Ia lebih menjadikan kebiasaan menulis surat cintanya itu sebagai wadah tempat dirinya mencurahkan perasaan romantis, keinginan berkarya susastra. Tegasnya, surat cinta itu adalah latihan menulis hal-hal yang indah bagi Malik. Sehingga wajar bila surat-surat itu terus mengalir menyalurkan inspirasi yang bergolak di dada, menggedor kepala untuk tercurah di lembaran kertas via tinta.
Kepada siapa, barangkali saja sebenarnya bagi Malik itu tak terlalu penting. Yang penting keindahan yang ia rasakan tidak mandeg semata di dadanya, melainkan bisa dirasa, diketahui pembaca meski masih seorang jumlahnya. Bila curahan hati itu mampu menggetarkan rasa yang sama, syukurlah. Bila tidak, ya biarlah.
Pernah suatu hari Malik membaca ulang ‘karya’nya sebelum ia kirimkan kepada seorang gadis yang menjadi tujuannya. Hal itu Malik lakukan dalam kamarnya. Sayangnya, ia lupa menutup pintu rapat-rapat, apalagi menguncinya.
“Apa yang kau baca, Malik?” kata Haji Rasul yang tiba-tiba sudah berada dalam kamar itu, memperhatikan anaknya.
Sontak Malik kaget. Lembaran surat yang ia pegang seketika jatuh ke lantai. Dengan santai Haji Rasul memungutnya, lalu membacanya sebentar. Tak ada yang bisa Malik lakukan kecuali diam menunggu reaksi ayahnya.
“Hmm…” Haji Rasul berdeham sambil terus membaca surat itu. Tulisan tangan Malik memang bagus, membuat ayahnya dengan lancar membaca surat tersebut.
“Kau berbakat menjadi perayu, Malik. Agak dewasa kau bisa setara Casanova,” kata Haji Rasul. Ditatapnya mata anaknya itu dalam-dalam. Malik menundukkan kepala.
“Tulisanmu penuh dengan rayuan, ditambah kalimat yang mendakik-dakik dan pelbagai puisi dan pantun, lengkaplah kau punya potensi menjadi Don Juan. Tampaknya kau juga tahu betapa para gadis suka akan yang begini,” kata ayahnya.
Malik diam menekur.
“Tapi itu artinya lenyap sudah harapanku agar kamu, anak laki-laki tertua ayah, jadi ulama penerus amanah Rasul. Mungkin ayah harus berhenti berharap kepadamu, Malik. Barangkali nanti Qudus atau Mukti, adik-adikmu yang bisa meneruskan langkah ayah dan kakekmu menjadi ulama, penerus Nabi.”
Suara Haji Rasul kini tak lagi garang. Lebih terdengar seperti seorang tua yang sudah pasrah setelah segala dayanya ternyata membentur tembok kokoh ketidakpedulian anaknya. Pandangan Haji Rasul pun tak sepenuhnya lekat ke mata Malik sebagaimana biasanya kalau ia bicara. Tatapan itu menerawang melewati punggung Malik, ke suatu tempat yang jauh, entah dimana, seperti ke suatu masa yang jauh di depannya. Matanya tampak berkaca-kaca. Ayah dan anak itu kini keduanya berkaca-kaca menahan kesedihan yang datang tiba-tiba.
Haji Rasul berjalan keluar kamar. Diserahkannya lembaran kertas yang tadi dibacanya kepada Malik yang menerimanya dengan lunglai. Sungguh menyesal dia. Bukan menyesal telah membuat surat cinta itu. Tidak sama sekali. Menulis surat cinta itu tetap merupakan latihan menulis yang amat berguna baginya.
Yang Malik sesali hanyalah mengapa ia sampai teledor lupa menutup pintu kamar. Itulah hal kecil yang kini menjadi persoalan besar. Ia ingin berlari mengejar ayahnya dan berjanji.
Tapi apa yang harus ia janjikan? Sampai saat ini Malik belum bisa sepenuhnya mengerti akan hal-hal yang dilarang atau tak disukai ayahnya itu. Malik sempat berpikir, barangkali ada sesuatu yang disembunyikan ayahnya seputar hal-hal yang dilarangnya tadi. Malik
hanya ingin ayahnya membuka sepenuhnya alasan ketidaksukaannya akan hal-hal berbau adat. Jangan ada yang ditutup-tutupi, karena ia merasa saat ini, di usia ini, dengan segala bacaan yang telah dilalapnya habis, ia tak bisa sama sekali dianggap anak kecil. Bukankah ayahnya dulu pun berangkat ke Tanah Suci Mekkah pada usia 10 tahun? Mengapa saat ini dirinya justru tak bisa mempercayai anaknya sendiri yang bahkan usianya sudah tiga tahun lebih tua dibanding saat pertama kali dirinya berangkat haji dulu? Malik tak tahu apa yang bisa ia janjikan kepada ayahnya. Tetapi ia yakin, pada saatnya nanti ayahnya akan bangga pada dirinya, anak laki-laki tertua ini.
**

Esok harinya Haji Rasul kembali memanggil Malik. Ia bertanya rencana Malik ke depan dan sejauh mana kemajuan yang dicapai anaknya itu dalam mengaji Alquran. Tak lupa juga ditanyakannya hal-hal ringan, mencoba berkelakar tentang gadis-gadis mana saja yang telah dikiriminya surat serta siapa yang membalas. Malik menyukai obrolan itu. Ia merasa ayahnya sedikit berubah. Kalau itu sebuah pendekatan baru ayahnya, Malik menyukai pendekatan itu.
“Ambo berniat belajar ke Tanah Jawa, Ayah,” kata Malik membuka percakapan. Itu sekaligus jawabannya atas pertanyaan sang ayah tentang apa rencananya ke depan.
“Mungkin awal bulan depan berangkat. Ambo mohon Ayah bisa memberi izin.”
Permintaan Malik bukan sekadar basa-basi menyambut pertanyaan sang ayah tentang niatnya ke depan. Sejak sering ikut membaca berbagai koran seperti ‘Tjahaja Sumatra’, ‘Sinar Sumatra’ dan ‘Hindia Baru’, keinginan Malik untuk belajar di Tanah Jawa memang kian memuncak. Ia sering membaca begitu maraknya pergerakan nasional untuk memperjuangkan Tanah Air sendiri di Tanah Jawa. Apalagi ia pun banyak membaca pikiranpikiran para pemimpin Jong Java, Jong Sumatra, Jong Islamieten Bond dan sebagainya di koran-koran tersebut. Organisasi-organisasi kepemudaan itu memang memakai nama-nama daerah, tetapi pusatnya tetap di Jawa. Ia merasa dirinya pun harus datang ke Jawa, belajar bersama para pemuda revolusioner itu, agar bisa mendapatkan semangat dan nyala api nasionalisme yang tengah berkobar di Hindia Belanda.
Haji Rasul tak segera menjawab. Beberapa lama ia terdiam, seolah memikirkan jawaban paling pas untuk permohonan anaknya itu.
“Untuk apa kau berangkat ke Tanah Jawa, Bujang? Belajar agama? Di sini kau bisa belajar agama lebih baik,” kata Haji Rasul kemudian. “Jawa itu jauh. Kau harus naik oto ke Padang, dilanjutkan dengan otobus ke Jakarta. Sebelum itu harus pula kau seberangi laut. Di Jakarta, itu baru permulaan kau menginjak Tanah Jawa. Kalau kau berkehendak belajar di Yogyakarta kepada Tuan Cokroaminoto, misalnya, kau masih harus naik sepur sehari semalam. Itu perjalanan jauh, berat untuk usiamu, Nak.”
“Tapi bukankah ayah pada usia 10 tahun bahkan sudah berlayar ke Mekkah?” kata Malik, membalikkan pembicaraan ayahnya.
Haji Rasul terdiam, namun segera menukas perkataan Malik itu. “Itu lain. Ayah kan berhaji, tidak berangkat sendiri.” Haji Rasul merasa dibantah oleh anaknya. “Tak ada orang haji yang berangkat sendirian. Selalu berkelompok.”
Malik diam. Tetapi ia merasa ayahnya mulai tidak adil. Apalah bedanya perjalanannya ke Tanah Jawa yang dekat dan hanya makan waktu hitungan hari dengan perjalanan ayahnya ke Tanah Mekkah yang bisa berbilang bulan? Berangkat sendiri dan berkelompok? Ya tidak juga, karena tak pernah ada otobus yang berangkat dari Padang ke Jakarta dengan membawa seorang penumpang saja!
“Ayolah, Ayah, Padangpanjang kian membosankan. Itu ke itu saja pengalaman yang bisa saya timba,” kata Malik, merajuk.
Haji Rasul menggelengkan kepala dengan tegas. Jelas, itu jawaban terakhirnya untuk permintaan Malik: tidak. Haji Rasul kemudian beranjak dari duduknya. Dihampirinya tumpukan buku yang menggunung di meja kerjanya. Tumpukan itu dicerai-beraikannya, seperti sedang mencari sesuatu. Segera tangannya kini menggenggam sebuah buku tebal.
Cepat dihampirinya Malik. “Besok Engkau mulai belajar langsung kepada ayah,” katanya sambil menyerahkan buku yang tadi ia ambil dari tumpukan. Buku tebal berjudul ‘Qathar’ itu segera diterima Malik yang tanpa sekali pun menoleh, apalagi memperhatikan lebih teliti buku tersebut.
“Bacalah, agar besok sudah ada yang bisa kita bicarakan. Istirahatlah, ya, sampai besok subuh ayah bangunkan.” Nada suara Haji Rasul datar, nyaris dingin. Malik tak lagi membantah. Dikepitnya buku tebal itu di ketiaknya. Lalu diambilnya tangan kanan ayahnya, dan diciumnya dengan takzim sebelum keluar ruangan. [bersambung]

Back to top button