POTPOURRI

Melacak Jejak Ki Gedeng Tapa, Mertua Prabu Siliwangi

Jernih — Matahari sedikit condong ke barat saat singgah di halaman kantor Desa Sirnabaya. Desa ini adalah desa kuno. Awalnya bernama Singapura yang berasal dari kata sing apura atau yang memberi maaf. Tepat di pinggir kantor bale desa di pinggir jalan desa berdiri sebuah bale yang diyakini sebagai peninggalan dari masa Pajajaran.

Bale tersebut terbuat dari bilah-bilah kayu jati tua. Usianya sudah ratusan tahun. Bale itu memiliki delapan tiang dengan bantalan 15 bilah kayu. Panjangnya sekitar lima meter dengan lebar dua meter.

Menurut keterangan masyarakat bale tersebut sudah tiga kali pindah. Awalnya berada di depan kantor bale desa lalu dipindahkan ke sebelah barat sekitar 100 meter dari desa.

Kini bale tersebut disimpan di pinggir bale desa dekat dengan pintu gerbang kantor desa yang juga sudah sangat tua usianya. Bale tersebut dikenal warga sebagai  gelondongan pangarem-arem tempat duduk pamong desa jaman dulu.

Di bagian dalam kantor desa terdapat dua bale lagi yang ukuranya hampir sama, namun tidak terlalu panjang. Kedua bale itu bertiang empat juga terbuat dari kayu jati kuno. Satu diantaranya diselimuti kelambu dan diyakini sebagai tempat Ki Ageng Tapa tidur bale itu disebut sebagai bale rama. Benda sejarah lainnya yang masih asli tersimpan di Bale Rama ini diantaranya kohkol, penabuh kohkol, kempul, tiga buah batu dan batu keris

Di sebelahnya terdapat bale yang posisinya sama dengan Bale Rama dan disebut warga dengan sebutan Bale Keliwon. Tempat itu sering dimanfaatkan untuk kegiatan tahlilan saat jumat keliwon. Tidak jauh dari tempat dua bale berada, ada sebuah bangunan yang diyakini sebagai rumah.

Baca Juga : Menelusuri Jejak Ki Gedeng Kasmaya di Carbon Girang

Ki Ageng Tapa yang dikenal warga dengan sebutan Umah Rama. bentuk bangunannya persegi empat menghadap ke Barat. Di dalam bangunan yang ditutup oleh bilik bambu dan hanya memiliki satu pintu itu terdapat satu buah meja bulat dan tumpukan kayu tua bekas bale. Tak jauh dari lokasi bangunan itu terdapat sebuah sumur yang dikenal warga sebagai sumur kejayaan.

Selain itu, di dekat sekolah Dasar Negeri Sirnabaya, ada  Pohon Katimaha yang langka. Pohon ini,  dulu berada di tepi danau yang disebut segaran. Kini kolam segaran telah hilang dan menjadi lapangan dan sempat menjadi pembuangan sampah.

Konon kolam itu sengaja dibuat oleh Ki Ageng Tapa untuk pertanian di wilayah itu. Umah Rama diyakini sebagai  musola yang sering dimanfaatkan Ki Ageng Tapa untuk bermunajat kepada Allah, posisinya persis di pinggir kolam dan dekat dengan sumur kejayaan sekarang.

Menurut R Nanang Hafid Permadi, pegiat sejarah dan budaya dari kesultanan Cirebon mengatakan bahwa tiap tahun rutin digelar Upacara Ngunjung atau sedekah bumi.  Para pamong desa akan berkeliling desa membawa berupa berupa sesaji. Upacara itu sebagai pertanda dimulainya aktifitas bertani bagi masyarakat. Atau juga sebagai pengumuman dari para perangkat desa kalau masyarakat sudah bisa bertani.

Akhmad Sena tokoh masyarakat setempat yang sering memimpin tahlilan mengisahkan lokasi itu awalnya disakralkan. Warga lainnya bernama Banjir, mengakui disekitar kawasan peninggalan Ki Gedeng Tapa dikeramatkan. Dulu banyak warga yang kesurupan saat melintasi lokasi itu.

Lokasi itu diyakini sebagai tempat peninggalan orang dari Galuh atau pajajaran. Kata Ahmad Sena ada empat tokoh yang sering disebut dalam memimpin tawasulan di lokasi itu, Nyimas Suweng Rancang, Nyimas Suweng Larang, Nyimas Suweng Kerancang dan Ki Ageng Tapa.

Kegiatan yang lain yang sering dilakukan warga di lokasi bale-bale terutama Bale Rama adalah mengambil sumpah orang yang tidak mau mengaku salah. Jika orang yang disumpah benar tidak melakukan kesalahan maka akan selamat. Namun sebaliknya kalau melakukan kesalahan dan tidak mau mengaku maka akan mengalami bencana dari apa yang disumpahkan. Misalnya burut atau besar perut dan lainya.

Ki Gedeng Tapa

Dari sumber sejarah diketahui bahwa Ki ageng Tapa adalah salah satu dari empat putra Mahaprabu Niskala Wastukancana dari Dewi Mayangsari. Ia adalah adik bungsu dari Prabu Dewa Niskala penguasa Kerajaan Galuh. Kakaknya yang lain yaitu Ki Gedeng Sindangkasih, penguasa Sindangkasih dan Surawijaya Sakti sang penguasa Singapura.

Setelah Ki Ageng Sindangkasih meninggal, selanjutnya Ki Ageng Tapa menggantikan kedudukkannya menjadi juru labuhan dengan gelar Ki Ageng Jumajan Jati, menguasai wilayah sepanjang pinggir laut Negeri Carbon yang disebut Carbonlarang, yaitu wilayah Carbon paisisr. Adapun wilayah Carbon yang ada di lereng Gunung Ciremai disebut Carbongirang.

Dahulu Ratu Carbongirang adalah Ki Ageng Kasmaya putra Mangkubhumi Suradipati yang mewakili kakaknya Maharaja Linggabhuwana-wiçesa yang gugur di Bubat Majapahit. menguasai wilayah sepanjang pinggir laut Negeri Carbon, disebut Carbonlarang ialah Carbon paisisr. Adapun wilayah Carbon yang ada di lereng Gunung Ciremai disebut Carbongirang.

Dahulu Ratu Carbongirang adalah Ki Ageng Kasmaya putra Mangkubhumi Suradipati yang mewakili kakaknya Maharaja Linggabhuwana-wiçesa yang gugur di Bubat Majapahit. Menurut naskah Nagarakertabumi karya Pangeran Wangsakerta, Pada waktu kecil Prabu Siliwangi saat bernama Raden Pamanahrasa atau Manahrarasa diangkat anak oleh pamannya yaitu Ki Gedeng Sindangkasih dan menikahi dengan  Nay Ambet Kasih,  putri Ki Gedeng Sindangkasih.

Ki Gedeng Tapa juga menggantikan kakaknya yaitu Surawijaya Sakti sebagai yaitu penguasa Singapura dengan pangkat mangkubumi di bawah perintah Kerajaan Galuh. Adapun istrinya Ki Ageng Tapa ialah Nay Retna kerancang putri dari Ki Ageng Kasmaya, ratu di Carbon Girang. Dari pernikahannya dengan Ia memiliki putri bernama Nay Subanglarang yang kelak diperistri oleh Pamanahrasa alias Prabu Siliwangi.

Back to top button