POTPOURRI

Menelisik Misteri dan Warisan Mpu Kuturan di Bali

O, Resi Kuturan! O, Resi Nirarta!, Empu-empu tampan yang penuh kedamaian!. Telah kamu ajarkan tatanan hidup yang aneka dan sejahtera, yang dijaga oleh dewan hukum adat.…….”  (W.S. Rendra)

Pulau Bali sudah sangat terkenal sebagai surganya pariwisata. Wisatawan mancanegara malah terkadang lebih mengenal Bali daripada Indonesia sendiri. Hal ini bisa dipahami karena Bali sebagai tujuan wisata telah dipopulerkan sejak zaman kolonial.

Selain keindahan alamnya berupa laut dan pantai yang menawan, susunan batu karang yang megah, pesawahan dan gunung yang mempesona, Bali juga dikenal luas karena budayanya yang khas dan relatif masih kukuh dipertahankan hingga kini.

Jauh sebelum adanya Indonesia, di Bali, tepatnya pada abad ke-8 Masehi (M) telah ada peradaban manusia yang dibuktikan dengan ditemukan sebuah stupa kecil bercorak Buddha yang sering disebut stupika. Meski demikian, bentuk stupika juga sering digunakan sebagai atap candi atau kuil Hindu di Bali. Sinkretisme semacam ini adalah hal yang umum terjadi pada agama-agam di Nusantara.

Salah satu tokoh sentral yang acap kali disebut-sebut memiliki jasa besar dalam pembangunan peradaban di Bali adalah Mpu Kuturan. Namanya termaktub dalam banyak prasasti dan naskah lontar yang berasal dari Bali.

Tulisan I Nyoman Suka Ardiyasa berjudul “Peran Mpu Kuturan Dalam Pembangunan Peradaban Bali (Tinjauan Historis, Kritis)” menulis, setidaknya nama Mpu Kuturan atau Kuturan disebut dalam beberapa sumber kuno Bali merujuk kepada beberapa hal.

Lontar Usana Bali menyebut Mpu Kuturan adalah seorang pendeta yang berasal dari Jawa yang diutus oleh Raja Airlangga, pendiri Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur yang memerintah pada tahun 1009-1049. Sementara sumber lain menyebut bahwa ia adalah saudara kandung Mpu Baradah, pendeta Buddha yang dikenal luas sebagai guru Raja Airlangga.

Sumber lain menyebut bahwa Kuturan adalah jabatan dalam struktur kerajaan di masa Bali Kuno, termasuk di era Raja Udayana Warmadewa berkuasa di Bali pada tahun 998-1011. Kuturan atau Senapati Kuturan adalah pejabat negara yang mengurusi satu bidang tertertu.

Dalam sumber-sumber kuno tersebut, nama Kuturan atau Kutur juga digunakan untuk merujuk nama tempat. Prasasti Bwahan yang berangka tahun 1146 M menulis, “…lawan karaman i wikang ranu maser Kedisan, Bwahan, Air Hawang, tan atagen wilwangharepa salwiran ipamuja nira Sri Maha Raja mare Kutur mwangi Turunan, apan…(selanjutnya karma desa-desa di tepi danau yaitu Kedisan, Bwahan, Air Abang, tidak dipaksa untuk ikut melaksanakan penghormatan terhadap pemujaan paduka Sri Maha Raja yang ada di Kutur maupun di Turunan karena…”

Jika disimpulkan, berdasarkan sumber-sumber yang ada, nama Kuturan, Kutur, maupun Mpu Kuturan, dapat merujuk kepada empat hal, yaitu nama seorang pendeta yang berasal dari Jawa (Mpu Kuturan), saudara kandung Mpu Baradah (Mpu Kuturan), nama jabatan dalam struktur pemerintahan di kerajaan Bali Kuno (Senapati Kuturan), dan nama atau istilah tempat (Kutur).

Warisan Mpu Kuturan

Meski identitasnya masih diliputi misteri, namun masyarakat Bali secara umum meyakini Mpu Kuturan sebagai salah satu tokoh yang turut serta membangun kebudayaan Bali sehingga budaya dan agama di Bali seperti yang dikenal sekarang.

Mpu Kuturan diyakini pernah memimpin suatu pertemuan lintas sekte agama yang ada Bali guna menyelesaikan perselisihan dan bentrokan yang kerap terjadi antar mereka karena perbedaan keyakinan. Mpu Kuturan mengundang mereka dalam sebuah pertemuan di Batu anyar (Samuan Tiga) dan berhasil merumuskan beberapa hal, di antaranya pembuatan Pura Tri Kahyangan.

Pura Tri Kahyangan atau Pura Kahyangan Tiga adalah pengejawantahan konsep Tri Murti Hindu Bali yang juga dirumuskan dalam pertemuan tersebut dan diterima oleh semua sekte yang ada pada saat itu.

Atas saran Mpu Kuturan, pertemuan tersebut menyepakati bahwa dalam tiap Desa Pakraman (Desa Adat) harus membangun Tri Kahyangan (Kahyangan Tiga), yakitu tempat ibadah (pura) yang mengakomodir semua sekte.  

Pura Tri Kahyangan terdiri dari Pura Desa untuk memuja Dewa Brahma, Pura Puseh untuk memuja Dewa Wisnu, dan Pura Dalem untuk memuja Dewa Siwa.

Tiga pura ini juga berkaitan dengan konsep Tri Hita Karana, yakni konsep harmoni hubungan manusia yang diyakini masyarakat Bali. Tri Hita Karana yang menjadi landasan budaya Bali ini terdiri dari Parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan manusia dengan sesama manusia), dan Palemahan (hubungan manusia dengan alam dan lingkungannya).

Selain hal-hal tersebut, Mpu Kuturan juga diyakini sebagai ahli (mpu) merancang bangunan suci. Ia diyakini telah memperluas Pura Besakih di Karangasem, Bali, sebuah komplek tempat ibadah umat Hindu Bali yang masyhur dan kini menjadi salah satu ikon Pulau Dewata Bali.  

Ia juga yang menggagas pembangunan Rong Tiga, yakni tempat ibadah di tiap rumah, hal yang umum terdapat di Bali hingga kini. Selain sebagai tempat pemujaan Tri Murti, Rong Tiga juga berfungsi sebagai tempat pemuajaan roh leluhur.

Rong Tiga terdiri dari tempat pemujaan Brahma di mang kanan yang juga sebagai tempat pemujaan roh leluhur laki-laki (purusa), Wisnu di mang kini (tempat pemujaan roh leluhur perempuan atau pradana), dan Siwa di mang tengah (roh leluhur yang sudah bersatu dengan Bhatara Gum).

Dalam puisi “Kesaksian Akhir Abad”, almarhum W.S. Rendra menulis, “O, Resi Kuturan! O, Resi Nirarta! / Empu-empu tampan yang penuh kedamaian! / Telah kamu ajarkan tatanan hidup / yang aneka dan sejahtera, / yang dijaga oleh dewan hukum adat.…….”

Back to top button