Organ Intim Cucu Prabu Siliwangi Ampuh dan Mematikan
Sebutan wanita beracun bukan sekedar majazi atau kiasan yang dilarapkan pada wanita yang memiliki sifat negatif seperti menghasut dan menfitnah. Namun istilah tersebut memiliki makna leksikal, yang menunjukan bahwa wanita tersebut betul-betul mengandung zat racun.
Di dunia ini kisah wanita yang mengandung racun telah menjadi paradigma yang mendekati kebenaran. Di Indonesia terdapat dua contoh kisah kasus tentang wanita beracun, yaitu kisah putri Tanduran Gagang dari Sunda dan kisah Putroe Neng dari Aceh.
Sumber kisah Tanduran Gagang tercantum dalam naskah kuno Kitab Waruga Jagat yang ditulis di abad 18 M, sedangkan kisah Putroe Neng muncul dari cerita turun temurun yang memiliki kaitan dengan Meurah Johan penguasa Kerajaan Indra Purba (1205-1234 M)
Menurut Waruga Jagat, Tanduran Gagang adalah cucu Prabu Siliwangi dari putrinya yang bernama dari Sekar Mandapa. Naskah Waruga Jagat mengisahkan organ intim Tanduran Gagang mengeluarkan panas bagaikan api, sehingga dirinya tidak bisa digauli oleh suami-suaminya.
Tanduran Gagang pernah diperistri oleh Pangeran Jakarta namun karena tidak bisa digauli kemudian diberikan kepada Ratu Banten, Ratu Cirebon, dan Ratu Mataram . Karena dianggap tidak berguna, Tanduran Gagang akhirnya dijual kepada Belanda, ditukarkan dengan 3 pucuk meriam.
Organ intim Tanduran Gagang yang mengeluarkan api tentu makna kiasan yang bisa dikaitkan dengan adanya ‘sesuatu’ di dalamnya. Sehingga menimbulkan panas ketika para penguasa tersebut melakukan hubungan intim. Karena efek tersebut maka Tanduran Gagang diceraikan oleh suami-suaminnya.
Model yang sama juga muncul dari kisah Putroe Neng dari Aceh dalam versi cerita tutur. Putroe Neng adalah seorang jendra perempuan dari Tiongkok yang aslinya bernama Nian Nio Lian Khie.
Karena kalah perang melawan pasukan Panglima Kerajaan Indra Purba bernama Meurah Johan, Nian Nio Lian Khie akhirnya masuk Islam dan menjadi istri Meurah Johan. Setelah Penguasa Indra Purba yaitu Maharaja Indra Sakti wafat,Meurah Johan kemudian menjadi raja Indra Purba.
Dikisahkan Meurah Johan meninggal setelah berhubungan intim dengan Putroe Neng. Bahkan kisah selanjutnya Putroe Neng menikah dengan 99 laki-laki dan semuanya meninggal setelah melewati malam pertama. Rahasia kematian itu terungkap oleh suaminya yang ke 100. Ternyata di kemaluan Putroe Neng terdapat racun yang di tanamkan neneknya untuk melindungi Putroe Neng dari perkosaan.
Dua kisah di atas tentu sulit dikonfirmasi kebenarannya, terutama kisah Tanduran Gagang. Namun dari konteks ceritanya dapat disumsikan bahwa bahwa kemaluan Tanduran Gagang mengandung zat semacam racun. Asumsi tersebut setidaknya menjadi salah satu pendekatan yang paling masuk akal, ketimbang percaya bahwa dari kemaluannya betul-betul keluar api.
Sedangkan kisah Putroe Neng muncul dalam cerita tutur yang lemah sanadnya namun begitu populer di masyarakat. Ali Hasimy penulis buku Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah tidak menuliskan bahwa Putroe Neng seorang wanita beracun, demikian pula sejarawan dan budayawan Aceh lainnya seperti Syamsuddin Jalil dan Ali Akbar menolak cerita itu dan menempatkannya sebagai legenda.
Tahun 1994 muncul kasus Gloria Ramirez yang dikenal dengan julukan Toxic Lady atau the Toxic Woman. Gloria Ramirez dilarikan ke Unit Gawat Darurat Riverside General Hospital in Riverside, di California setelah mengalami sesak nafas dan ganguan jantung.
Sebelum meninggal dari pori-pori kulit tubuh Gloria Ramirez keluar semacam minyak yang mengeluarkan bau seperti bawang putih dan amoniak. Tak lama kemudian beberapa perawat pingsan setelah memeriksanya. Peritiwa itu mencuatkan rumor Gloria Ramirez sebagai wanita beracun karena kematiannya
Kisah wanita atau gadis beracun juga dikenal di beberapa negara. Di India ada istilah Visha Kanyas yang memiliki arti ‘gadis beracun’ yang pertama kali dimuat dalam kitab ketatanegaraan Arthashastra. Kitab tersebut ditulis oleh Chanakya, seorang penasihat dan perdana menteri untuk Kaisar Maurya pertama Chandragupta (340–293 SM).
Visha Kanyas atau Poison Damsel dianggap sebagai wanita muda beracun yang beroperasi sebagai algojo di India kuno. Setiap kontak dengan wanita beracun ini akan berarti kematian. Bahkan sentuhan bisa membunuh. Gadis beracun ini sengaja diciptakan untuk dijadikan alat pembunuh.
Raja India kuno melalui para ahlinya melatih para gadis sejak usia dini secara bertahap memberi makan berbagai jenis racun dan penawarnya untuk membentuk sistem kekebalan racun. Dalam pelatihan banyak yang mati karena tubuhnya tidak tahan. Namun mereka yang berhasil maka cairan tubuhnya akan menjadi racun bagi orang lain.
Efek mematikan itu akan muncul pada saat mereka mencapai pubertas. Gadis-gadis perawan yang sudah benar-benar beracun akan digunakan sebagai senjata yang mematikan untuk membunuh musuh yang kuat melalui tipu daya. Kontak apapun, terutama kontak seksual akan berakibat fatal bagi lelaki yang bercinta dengan gadis beracun.
Menurut Kaushik Roy dalam India’s Historic Battles: From Alexander the Great to Kargil, Visha Kanyas biasanya akan mendekati target dengan rayuan dan akhirnya memberi alkohol beracun. Untuk mendapatkan kepercayaan dari korban, seorang visha Kanyas akan minum dari cangkir racun yang sama sehingga korban tidak curiga hingga turut menelan dosis dua kali lipat, dari cangkir dan dari tubuh visha kanya.
Dalam pristiwa lainnya, Aristoteles pernah memperingatkan muridnya, Raja Makedonia Alexander Agung tentang bahayanya ‘gadis-gadis berbisa.’ Hal itu sebelum AlexanderAgung melakukan eksvansi militer ke India tahun 326 SM. Bahkan legenda menyatakan bahwa Alexander Agung wafat tahun 323 SM karena memeluk Visha Kanya yang diberikan kepadanya sebagai hadiah dari Raja Porus (Puru) penguasa Punjab yang dikalahkan.
Dalam kitab Rajavalikatha karya Jain dikisahkan guru dan penasihat Raja Chandragupta penguasa Maurya (321–298 SM) yang bernama Chanakya biasa memberi makan kaisar dengan racun dalam dosis kecil untuk membangun kekebalan tubuhnya sebagai perlindungan dari upaya diracun musuh. Yang dilakukan oleh gurunya itu ternyata tidak diketahui oleh Chandragupta sampai dewasa.
Suatu hari, Chandragupta berbagi makanan dengan Ratu Durdhara, istrinya yang sedang hamil tua. Sang ratu yang tidak kebal terhadap racun itu mati dalam beberapa menit. Chanakya memasuki ruangan tepat ratu terkulai. Dia segera segera memotong perut ratu yang sudah mati dan berhasil menyelamatkan anak yang kelak bernama Bindusara.
Kisah tentang Gadis Beracun juga memiliki kaitan dengan praktek Mithridatism yang berlangsung sesudahnya. Praktek ini merupakan cara melindungi diri terhadap racun dengan cara mengkonsumsi racun secara bertahap dalam jumlah yang tidak mematikan.
Mithridatism berasal dari praktek yang dilakukan Mithridates VI (120–63 SM) penguasa kerajaan Pontus dari era Hellenistik yang begitu takut diracuni sehingga ia secara teratur menelan dosis kecil racun untuk mengembangkan kekebalan tubuhnya.
Rutinitas minum racun Mithridates menjadi bagian dalam ritual agama yang diawasi oleh Agari yaitu sekelompok dukun Scythian berasal dari Aghoris India yang selalu menyertainya. Dan kemungkinan Mithridates mendapat gagasan prakteknya itu dari kisah Visha Kanyas di India.
Namun praktek mithridatism tidak efektif terhadap semua jenis racun karena kekebalan tubuh umumnya hanya mungkin terbangun oleh proses biologis kompleks yang dapat ditanggapi oleh sistem kekebalan tubuh. Metode mithridatism tidak bekerja untuk racun non biologis.
Paparan zat beracun seperti asam hidrofluorik dan logam berat bisa mematikan dan tidak dapat digunakan. Namun arsenik dapat digunakan karena beberapa orang memiliki adaptasi genetik yang memberi mereka resistensi lebih tinggi dalam praktek mithridatism.
Hasil dari praktek itu tergantung metabolisme dari kemampuan tubuh dalam memproses masing-masing racun sehingga senyawa toksik dapat dikeluarkan dari tubuh. Selain itu, racun kimia yang menyusup pada sistem kekebalan tubuh umumnya tidak dapat ditangani. Namun beberapa jenis racun kimia dengan dosis kecil dapat diadaptasi oleh tubuh.
Contohnya adalah sianida, yang menyusup pada sistem kekebalan tubuh, tetapi dapat dimetabolisme oleh hati. Enzim rhodanese mengubah sianida menjadi tiosianat yang kadar racunnya jauh berkurang. Proses ini memungkinkan manusia untuk mengonsumsi sejumlah kecil sianida dalam makanan seperti biji apel dan bertahan hidup dalam gas sianida yang terkandung dalam api dan asap rokok.
Praktek mithridatism memiliki resiko tinggi dan sedikit sekali sumber rujukannya. Namun dalam hal yang agak umum dapat dilihat pada pawang ular berbisa bernama Bill Haast yang membangun Serpentarium dan menggunakan metode ini setelah 172 kali digigit ular beracun.
Bill Haast malah menyuntik dirinya sendiri dengan jumlah racun yang ditingkatkan dosisnya secara bertahap. Racun tersebut diekstrak dari ular-ularnya. Bahkan darah Bill Haast dapat digunakan untuk merawat korban gigitan ular disaat anti racun ular yang cocok tidak tersedia
Demikian pula dengan pawang ular di Burma yang mentato diri mereka sendiri dengan racun ular untuk alasan yang sama. ()
Baca juga :
- Makam Terkaya di Dunia dari Abad 5 SM
- Riwayat Kekejian Vlad III, Bangsawan yang Menjadi Dracula
- Yung Lo, Kaisar Dinasti Ming yang Memenggal 2.800 Selirnya
- Locusta, Pembunuh Berantai Paling Beracun Zaman Romawi Kuno
- Ternyata Mumi WanitaTua Itu adalah Ratu Tiye yang Cantik Jelita
- Terungkap Bukti Kekejaman Wu Zetian, Kaisar Wanita Pertama di Tiongkok.
- Kisah Kasih Sayang 3000 Selir untuk Sang Kaisar