POTPOURRI

Kampung Adat Cireundeu ‘Pengkuh’ Tidak Makan Nasi

Teu boga sawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat.

Jernih.co – Kampung Adat Cireundeu adalah salah satu dari tiga belas kelompok adat suku sunda yang masih memegang teguh nilai-nilai budaya lokal dan keyakinan Sunda Wiwitan.

Secara geografis, Kampung Adat Cireundeu terletak di wilayah administrasi Cimahi Selatan Kecamatan Desa Leuwigajah, Jawa Barat.

warga Kampung Cireundeu menganut keyakinan Sunda Wiwitan, yang pertama kali dibawa oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan pada tahun 1918

Sebagai kampung adat, warga Cireundeu pengkuh melestarikan tradisi budaya leluhurnya, Seperti melestarikan aksara cacarakan, musik tradisi sunda seperti angklung, karinding, kecapi suling, calung, serta tradisi ritual adat yang menyiratkan kearifan lokal.

Demikian pula dalam pelestarian alam,  kawasan hutan di kawasan Desa Cireundeu dibagi menjadi tiga area yang diselaraskan fungsinya sesuai dengan tradisi di sunda yaitu leuweung larangan (hutan lindung), leuweung tutupan (hutan penyangga), dan leuweung baladahan (hutan produksi).

Prisnsip hidup warga Cireundeu adalah ngindung ka waktu, mibapa ka jaman. Prinsip ‘Ngindung ka waktu’ diinternalisasi sampai sekarang, salah satunya dalam bentuk Upacara adat untuk mengakhiri tahun yang menggunakan sistem kalender tahun Sura.

Selain keberhasilan menjaga nilai-nilai budaya, Kampung Adat Cireundeu juga mendapat apresiasi dari pemerintah lokal hingga pemerintah pusat karena telah melestarikan tradisi kuliner lokal dan adaptasi lingkungan lahan pertanian, dengan mengolah singkong menjadi sumber utama pangan pengganti nasi.

Tradisi ini sudah dilestarikan selama satu abad sebagai wujud dari ‘ngindung ka waktu’. Bermula dari nenek moyang atau para pendahulu Kampung Adat Cireundeu yang memutuskan tidak memakan nasi secara total, dan menyebutnya sebagai ‘pamali’.

Alasan warga Cireundeu menjadikan singkong atau ubi kayu sebagai pengganti nasi dilatarbelakangi terjadinya krisis beras Tahun 1918. Saat itu warga Cireundeu mengalami gagal panen dan .pemerintah kolonial Belanda memonopoli beras.

Karena warga kampung tidak mau bergantung pada desa lain, maka salah seorang warga bernama Omah Asnamah, putri Haji Ali mengembangkan makanan pokok non beras. Upayanya itu diikuti oleh saudara-saudaranya sampai akhirnya warga kampung Cireundeu tidak lagi bergantung kepada beras.

Masa transisi dari tahun 1918 sampai 1924 merupakan waktu yang sulit dan tidak mudah untuk dilewati. Selama enam tahun, masyarakat mencari dan akhirnya menemukan teknologi tradisional untuk mengolah singkong menjadi nasi singkong.

Dalam teknologi modern sistem itu disebut beras analog dengan menggunakan metode granulasi dan ekstrusi. Teknologi tersebut dapat mengolah singkong sedemikian rupa sehingga memiliki ciri khas seperti nasi dengan memiliki sifat fisik biji-bijian, dan tekstur menyerupai beras.

Teknologi itu akhirnya mengantarkan Omah Asnamah mendapatkan penghargaan sebagai pahlawan makanan pada tahun 1964 sekaligus mengangkat masyarakat Kampung Adat Cireundeu sebagai masyarakat yang tahan pangan.

Lepasnya ketergantungan terhadap nasi tercermin dari filosofi Kampung Adat Cirendeu yang berbunyi “Teu boga sawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat”

Bila diterjemahkan bunyinya : tidak punya sawah asal punya padi, tidak punya padi asal punya beras, tidak punya beras asal bisa memasak nasi, tidak bisa menanak nasi asal bisa makan, tidak bisa makan asal kuat”.

Dengan filosofis tersebut, warga Cireundeu tidak takut untuk tidak dapat makan nasi. Karena istilah makan tidak hanya untuk memenuhi isi perut saja tetapi sebagai sumber kekuatan, sekalipun hanya dengan sebutir biji jagung.

Kini budidaya makanan lokal berbasis umbi singkong menjadi salah satu ciri khas masyarakat Kampung Adat Cirendeu yang telah ditanamkan oleh leluhur mereka dan seiring waktu terbukti menjadi keuntungan Cireundeu dalam mendukung ketahanan pangan.

Hal tersebut sejalan dengan program pemerintah mengenai solusi masalah pangan nasional. Budaya makanan lokal Kampung Cirendeu menjadi inspirasi bagi lahirnya kebijakan pemerintah Gubernur Jawa Barat Peraturan No. 60 tahun 2010 tentang percepatan makanan diversifikasi berbasis sumber makanan lokal.

Aplikasi dari peraturan tersebut dicontohkan oleh kota lainnya di Jawa Barat, seperti Pemerintah Kota Depok yang sejak 2012 menerapkan program diversifikasi pangan dengan istilah populer “Satu Hari Tanpa Nasi”.

Budaya makanan lokal ini telah membuat Kampung Adat Cirendeu dikenal masyarakat di luar Kampung Adat Cirendeu dan pemerintah telah menetapkannya sebagai desa mandiri pangan pada tahun 2007.

Sedangkan prinsip ‘mibapa ka jaman’ menyiratkan bahwa masyarakat tidak akan menentang perubahan zaman. Prinsip ini diinternalisasi dan dilakukan sampai sekarang dalam bentuk penggunaan ateknologi modern untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Dalam prakteknya, prinsip mibapa ka jaman disampaikan melalui sistem pengajaran penguatan nilai budaya lokal dalam bentuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan para orang tua atau sesepuh. Forum ini disebut surasa.

Surasa ini dilakukan di Bale adat Kampung Adat Cirendeu untuk membahas berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat, baik antar pribadi maupun masalah dengan lembaga adat.

Dengan adanya forum surasa maka arus globalisasi modern yang merupakan sebuah keniscayaan dapat diterima. Tidak seperti di Kampung adat Kanekes (Baduy) yang memungkinkan untuk memilih menolak modernisasi seperti penerangan listrik dan pembangunan jalan demi terpeliharanya adat tradisi secara utuh.

Maka di Cireundeu energi listrik yang disediakan oleh PLN, akhirnya dimanfaatkan sebagai sarana  alat elektronik rumah tangga seperti mesin mencuci, penanak nasi, mesin pendingin, dan lainnya.

Demikian pula kebutuhan pendidikan bagi orang-orang di luar Kampung Adat Lingkungan Cirendeu dipenuhi. Masyarakat Cireundeu yang juga diperbolehkan menikah dengan orang lain di luar penganut nilai-nilai budaya dan ajaran yang diadopsi oleh Kampung Adat Cirendeu. Hal tersebut sebagai wujud pelaksanaan prinsip ‘mibapa ka jaman’.

Walau terkesan longgar dalam interaksi sosial budaya dan keyakinanan, namun di lingkungan Kampung Adat Cirendeu selalu ada upaya untuk menginternalisasi nilai – nilai budaya lokal, terutama kepada generasi mudanya untuk memiliki dasar yang kuat dalam menyikapi kehidupan modern di lingkungannya.

Back to top button