‘Nangkuban’ Ternyata Bantu Selamatkan Nyawa Pasien Covid 19
Tengkurap ternyata tidak sekedar posisi tidur biasa, namun saat ini memiliki fungsi yang penting bagi penderita Covid-19. Tengkurap merupakan bagian dari pengobatan karena bermanfaat bagi pasien yang menderita gangguan pernapasan.
Dalam dunia medis tekhnik tengkurap disebut proning, yang berasal dari bahasa latin pronus yang artinya condong ke depan. Dalam bahasa sunda disebut nangkuban. Dengan tengkurap maka jumlah oksigen yang masuk ke paru-paru semakin banyak.
BBC mengabarkan bahwa posisi demikian harus dilakukan selama beberapa jam untuk memindahkan cairan yang mungkin terkumpul di paru-paru pasien sehingga mengganggu pernapasan mereka. Dalam menangani pasien Covid 19 yang membutuhkan perawatan intensif tekhnik ini semakin sering digunakan.
“Banyak pasien Covid-19 tidak mendapat cukup oksigen di paru-paru mereka dan itu menyebabkan kerusakan,” kata Panagis Galiatsatos, seorang dokter paru-paru dan pakar perawatan kritis sekaligus asisten profesor di Universitas Johns Hopkins, AS.
Galiatsatos menambahkan bahwa pemberian oksigen kepada pasien kadang-kadang tidak cukup. Maka agar paru-paru mengembang pasien harus ditelungkupkan.Karena jika terlentang alias nangkarak maka bagian terberat paru-paru yang berada dipunggung akan sulit mendapatkan udara
“Ini bisa membuat perubahan yang nyata, kami telah melihat keampuhannya pada banyak pasien,” kata dokter Galiatsatos.
American Thoracic Society, komunitas pakar kesehatan yang melakukan studi menyebutkan bahwa pasien yang tidak ditengkurapkan, kemampuan paru-parunya tidak maksimal sehingga kondisinya lebih buruk.
Studi tersebut berdasarkan 12 pasien ARDS parah akibat Covid-19 yang dirawat di rumah sakit Jinyintan di Wuhan, China pada bulan Februari.
“Saat pasien tengkurap, beban [fisik] di paru-paru mereka terdistribusikan lebih merata,” Prof. Gattinoni menjelaskan.
Sebuah studi yang dilakukan di Prancis pada 2000 menemukan bahwa pasien [yang tengkurap] tidak hanya mengalami peningkatan oksigenasi, mereka juga memiliki peluang lebih baik untuk bertahan hidup”.
Manfaat proning pertama kali diamati pada pertengahan 1970-an. Tetapi baru pada tahun 1986 proning menjadi praktik umum di rumah sakit di seluruh dunia. Dr. Luciano Gattinoni adalah salah satu dokter pertama yang memimpin studi awal tentang teknik ini – dan berhasil mencobanya pada pasien.
Kepada BBC Gattinoni mengatakan bahwa awalnya tekhnik proning kurang diterima oleh komunitas medis yang masih sangat konservatif . “Tapi sekarang sudah banyak digunakan,” ujar Gattinoni.
Tekhnik proning kemudian direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk digunakan dalam jangka waktu 12 hingga 16 jam sehari untuk pasien Covid-19 dewasa yang mengalami sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS)
WHO juga menyatakan bahwa proning juga dapat dipertimbangkan untuk anak-anak. tetapi akan membutuhkan orang-orang yang terlatih dan keahlian tambahan untuk melakukannya dengan aman.
Menurut Galiatsatos, meskipun tampak sederhana dan mudah namun tekhnik proning tetap memiliki resiko. Terutama bagi pasien yang menderita obesitas dan pasien yang telah dipasang tabung ventilasi atau tabung kateter.
Teknik ini juga dikaitkan dengan peningkatan risiko serangan jantung dan kadang-kadang dapat menyebabkan penyumbatan saluran udara.
Selain itu tekhnik ini membutuhkan tenaga medis profesional yang berpengalaman karena memerlukan waktu dan tidak sembarangan menengkurapkan pasien. Menurut Galiatsatos untuk melakukan secara efektif membutuhkan empat atau 5 orang tenaga medis.
Hal itu akan sulit dilakukan bila rumah sakit yang menangani pasien covid-19 kekurangan staf karena menangani jumlah pasien yang banyak.
Menurut Dr Galiatsatos Rumah sakit Johns Hopkins telah membentuk tim spesialis yang akan melakukan proning, sebagai respon terhadap peningkatan jumlah pasien virus corona untuk membantu staf rumah sakit yang tidak terbiasa melakukan proning.
Ketika virus corona belum ada obatnya maka menurut Galiatsatos terapi proning hal terbaik yang bisa kita lakukan saat ini